Memotret Pola Konsumsi Baru Sesudah Lebaran
Di tengah pandemi Covid-19, konsumsi masyarakat berubah. Hal ini perlu direspons secara tepat oleh dunia usaha.
Pasca-Lebaran, konsumsi masyarakat akan berlanjut dengan perubahan pola belanja dan tantangan finansial baru seiring pandemi Covid-19. Sejalan dengan tekanan finansial yang terjadi, masyarakat akan makin sensitif terhadap harga produk, dan mereka juga makin mencermati kualitasnya.
Berbagai bentuk pembatasan, baik aktivitas penduduk maupun kegiatan usaha di berbagai belahan dunia akibat pandemi Covid-19, mengubah drastis kondisi finansial masyarakat. Seluruh sendi kehidupan masyarakat di Tanah Air kini terdampak wabah Covid-19.
Tak hanya pekerjaan dan belajar yang dilakukan di rumah. Pembatasan sosial untuk menahan laju penyebaran virus korona juga mengubah lanskap bisnis.
Kondisi ini terlihat sejak sebelum Lebaran. Hingga 12 Mei 2020, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 375.165 pekerja formal mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Berikutnya, ada juga pekerja formal yang terpaksa dirumahkan dengan jumlah 1.032.960 orang. Sementara di sektor informal, data Kemenaker menunjukkan ada sekitar 316.000 orang terdampak pandemi Covid-19 (Kompas.id, 19/5/2020).
Data dari Posko Pengaduan Tunjangan Hari Raya sejak 11 Mei hingga 18 Mei 2020 juga menggambarkan terpuruknya dunia usaha akibat Covid-19 yang diikuti pengurangan hak pekerja. Tercatat ada 274 kasus aduan terkait ketidakmampuan perusahaan membayar tunjangn hari raya (THR), merujuk data posko pengaduan tersebut.
Sebanyak 61 persen dari total kasus itu masuk dalam kriteria aduan perusahaan yang tidak membayar THR, 29 persen lainnya adalah kasus pembayaran bertahap dan pemotongan THR, dan selebihnya kasus penundaan pembayaran THR.
Sektor bisnis terpukul lantaran lebih dari dua bulan ini aktivitas masyarakat dibatasi sehingga berimbas pada pasar. Pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan tempat wisata ditutup. Transportasi darat, laut, dan udara dibatasi. Kegiatan produksi di sejumlah sektor industri terbatas, bahkan ada yang ditutup untuk sementara waktu. Semua itu dilakukan untuk menekan penyebaran wabah.
Perubahan optimisme
Perubahan penghasilan masyarakat tak urung berimbas juga pada optimisme masyarakat terhadap kondisi finansial mereka. Optimisme mereka terekam dari survei McKinsey & Company berjudul ”Implications of Covid-19 for Retail & Consumer Goods in Indonesia” pada April 2020. Survei tersebut dilakukan tiga kali, yakni pada 3-6 April 2020, 10-12 April 2020, dan 25-26 April 2020. Dari ketiga periode survei itu diperoleh hasil rata-rata 49 persen responden optimistis melihat kondisi perekonomian di tengah pandemi Covid-19.
Mereka masih yakin bahwa perekonomian Indonesia akan pulih dua hingga tiga bulan ke depan. Kelompok responden ini percaya, kondisi akan kembali sama kuat, atau bahkan lebih kuat, jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi Covid-19.
Mereka masih yakin bahwa perekonomian Indonesia akan pulih dua hingga tiga bulan ke depan.
Hasil dari ketiga survei ini juga menunjukkan keraguan sebagian responden lainnya. Jika dirata-rata, ada 44,7 persen responden meragukan percepatan pemulihan ekonomi Indonesia, dari tiga survei McKinsey & Company tersebut. Kelompok responden ini cenderung melihat ekonomi RI akan terdampak antara enam enam bulan dan 12 bulan ke depan. Perekonomian Indonesia akan sangat mungkin mengalami stagnasi atau perlambatan pertumbuhan.
Responden selebihnya, walaupun dalam persentase kecil (berkisar 6-7 persen), bahkan melihat situasi perekonomian Indonesia ke depan akan jauh lebih buruk. Perekonomian nasional akan sangat mungkin bergerak menuju penurunan, yang dalam jangka panjang mengarah ke resesi.
Pola konsumsi
Masih merujuk survei McKinsey & Company, situasi kekhawatiran ekonomi dan kesehatan di hampir seluruh lapisan masyarakat agaknya juga membawa perubahan pada perilaku konsumsi.
Sebagian masyarakat kini lebih terbiasa meghindari kerumunan di pasar atau pusat perbelanjaan. Lebih dari 40 persen responden menyatakan akan mengurangi frekuensi belanja secara fisik, misalnya di pasar tradisional, toko kelontong, atau ritel.
Sebagian dari mereka (36 persen responden) kini cenderung memilih berbelanja kebutuhan sehari-hari lewat aplikasi. Sebanyak empat dari 10 responden itu juga lebih banyak memanfaatkan e-dagang selama pandemi Covid-19.
Saat pandemi ini, konsumen cenderung semakin mencermati harga dan nilai dari barang yang mereka beli. Dalam konteks ini, konsumen lebih mencari produk-produk berharga lebih murah, tetapi bermutu baik.
Dari segi barang yang dibeli, konsumen akan memiliki lebih banyak pertimbangan saat berbelanja. Ada sejumlah nilai produk yang menjadi pertimbangan, seperti tingkat kesegaran, kesehatan, dan lokalitasnya.
Pemanfaatan e-dagang yang semakin banyak sejalan juga dengan hasil survei iPrice tentang ”Perilaku Berbelanja Online di Indonesia Saat Ramadan 2020”. Survei yang digelar pada 13-14 Mei 2020 tersebut menunjukkan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di tengah pandemi turut mengubah perilaku konsumen berbelanja secara daring.
Berbelanja secara daring dijadikan solusi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah PSBB. Mulai dari membeli bahan makanan, kebutuhan berpuasa, hingga baju Lebaran.
Selama pandemi Covid-19, minat pembelian webcam meningkat hingga 1.572 persen. Hal itu tidak terlepas dari konsumen yang memerlukannya untuk mendukung efektivitas video call selama bekerja dan belajar dari rumah.
Produk mode masih paling diminati selama belanja Ramadhan 2020, yaitu 63 persen, diikuti produk elektronik 45 persen, kebutuhan rumah tangga dan toko grosir 41 persen, kosmetik 33 persen, dan produk kesehatan 30 persen.
Sementara di sisi ekspektasi, survei Konsumen Bank Indonesia April 2020 mengindikasikan konsumen masih optimistis terhadap perkiraan kondisi ekonomi enam bulan mendatang meski tidak sekuat prediksi bulan sebelumnya. Optimisme tersebut ditopang perkiraan penghasilan yang meningkat dan kegiatan usaha yang membaik lagi pada enam bulan mendatang seiring meredanya pandemi Covid-19 di Indonesia.
Dunia usaha
Hasil survei konsumen telah menunjukkan perubahan pola selama masa pandemi ini, sejalan dengan pandangan mereka terhadap situasi perekonomian ke depan.
Perubahan perilaku konsumen itu menjadi tantangan baru bagi dunia usaha agar kembali bangkit. Analisis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyimpulkan, akan ada perubahan dan model bisnis baru dalam kehidupan normal baru sehingga warga tetap bisa menjalankan usahanya karena harus mulai bisa hidup bersama Covid-19.
Perubahan perilaku konsumen itu menjadi tantangan baru bagi dunia usaha agar kembali bangkit.
Dalam kondisi itu, pelaku usaha perlu menciptakan model bisnis yang lebih fleksibel. Fleksibilitas memungkinkan perusahaan cepat merombak dan beradaptasi dengan tren yang berubah di industri masing-masing.
Dunia usaha juga perlu melakukan inovasi dan kreatif sekaligus menumbuhkan kepercayaan diri. Prinsip-prinsip tersebut rasanya relevan dengan penyataan yang pernah diungkapkan Hermawan Kartajaya, salah seorang pakar pemasaran senior Indonesia. Krisis, di mata seorang profesional, adalah sebuah bahaya. Sementara seorang wirausaha justru memandang krisis sebagai sebuah peluang.
(LITBANG KOMPAS)