Dilarang Sakit, Kecuali Covid-19
Pandemi Covid-19 membuat energi pemerintah terfokus untuk menangani penanggulangan penyebaran wabah ini.
Pandemi Covid-19 membuat energi pemerintah terfokus untuk menangani penanggulangan penyebaran wabah ini. Mulai dari anggaran, pelayanan kesehatan, hingga fasilitas laboratorium kini terarah pada upaya penanggulangan wabah virus korona jenis baru.
Untuk menanggulangi pandemi Covid-19 di Indonesia, pemerintah mengeluarkan kebijakan dukungan anggaran negara. Dari sisi fiskal, pemerintah meluncurkan kebijakan berupa tambahan belanja dan pembiayaan APBN untuk penanganan dampak Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun.
Dari tambahan belanja dan pembiayaan tersebut, sebesar Rp 75 triliun digunakan untuk bidang kesehatan. Lainnya sebanyak Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, sebesar Rp 70,1 triliun untuk dukungan industri serta Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional.
Baca juga : Keselamatan Tenaga Kesehatan Sangat Krusial
Khusus di sektor kesehatan, jurus fiskal yang dikeluarkan mulai dari belanja kesehatan, insentif tenaga medis, hingga relaksasi ketentuan impor alat kesehatan.
Untuk aspek belanja penanganan kesehatan dialokasikan senilai Rp 65,8 triliun. Anggaran ini digunakan untuk pengadaan alat kesehatan, sarana kesehatan, dan dukungan sumber daya manusia.
Pengadaan alat kesehatan meliputi pembelian alat pelindung diri (APD), test kit, reagen, ventilator, dan hand sanitizer. Adapun di aspek sarana dan prasarana kesehatan, anggaran tersebut digunakan antara lain untuk perbaikan 132 rumah sakit rujukan bagi penanganan pasien Covid-19, termasuk rumah sakit darurat Wisma Atlet di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Kebijakan kedua adalah insentif tenaga medis sebesar Rp 5,9 triliun rupiah. Insentif bagi tenaga medis diberikan untuk tenaga medis di rumah sakit pusat, termasuk yang bertugas di RS Wisma Atlet. Anggaran untuk insentif akan ditanggung bersama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Rinciannya meliputi insentif bagi dokter spesialis sebesar Rp 15 juta per bulan, dokter umum sebanyak Rp 10 juta per bulan, insentif bagi perawat sebesar Rp 7,5 juta per bulan, serta bagi tenaga kesehatan lainnya sebanyak Rp 5 juta per bulan.
Insentif untuk garda terdepan penanganan Covid-19 tersebut diberikan selama 6 bulan. Selain insentif, pemerintah juga mengalokasikan anggaran Rp 300 miliar untuk santunan kematian bagi tenaga kesehatan. Besarnya Rp 300 juta per orang.
Baca juga : Tenaga Kesehatan di Surabaya Masih Belum Terlindungi dari Penularan Covid-19
Hingga 8 Mei 2020, Kementerian Keuangan mencatat beberapa alokasi yang telah dikucurkan, seperti perawatan pasien dan dana siap pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Realisasi biaya penggantian atau klaim perawatan pasien Covid-19 mencapai Rp 27,57 miliar sebagai uang muka kepada 114 rumah sakit.
Realisasi lain adalah dana siap pakai BNPB yang telah digunakan Rp 1,95 triliun untuk pengadaan alat pelindung diri serta alat kesehatan di Rumah Sakit Galang, Kepulauan Riau.
Layanan kesehatan terbatas
Dukungan fiskal kesehatan tersebut diperlukan untuk menekan maraknya wabah virus korona tipe baru. Hingga 22 Mei 2020 terdapat 20.796 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Dari keseluruhan kasus positif tersebut terdapat 14.413 kasus aktif. Kasus aktif merujuk pada penderita korona yang sedang ditangani.
Jumlah kasus aktif di Indonesia masih menunjukkan tren perkembangan. Pada 20 April, jumlah kasus aktif baru mencapai 5.423. Artinya, dalam waktu hanya sebulan, terdapat kenaikan kasus lebih dari dua kali lipat. Meningkatnya jumlah kasus aktif juga menuntut peningkatan kebutuhan fasilitas penanganan, seperti dukungan rumah sakit dan kapabilitas perawatan.
Bahaya penularan virus korona juga membutuhkan mitigasi penanganan dari sisi fasilitas kesehatan. Untuk itu, pada 10 Maret 2020, pemerintah menetapkan 132 rumah sakit rujukan di 34 provinsi di Indonesia.
Menyikapi kebutuhan penanganan pasien Covid-19, pada 16 April 2020 Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan mengeluarkan imbauan penyesuaian layanan kesehatan. Imbauan ditujukan langsung kepada seluruh kepala dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota, dan direktur rumah sakit seluruh Indonesia.
Baca juga : Jiwa Raga Sehat, Covid-19 Lenyap
Isinya, rumah sakit diminta menunda pelayanan elektif, dengan tetap memberikan pelayanan yang bersifat gawat darurat dan membutuhkan perawatan segera untuk penyakit-penyakit selain Covid-19.
Selain itu, rumah sakit dapat mengembangkan pelayanan jarak jauh atau telemedicine atau aplikasi online lainnya dalam memberikan pelayanan kepada pasien dan keluarga pasien yang memerlukan.
Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain yang berusia di atas 60 tahun dan memiliki penyakit penyerta dianjurkan untuk bekerja di rumah dengan memanfaatkan fasilitas teknologi informasi atau telemedicine.
Tidak berhenti pada prioritas penanganan rumah sakit, pemerintah juga menyediakan daya dukung pemeriksaan tes cepat korona. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyediakan layanan 89 laboratorium yang tersebar di seluruh Indonesia untuk melakukan tes Covid-19.
Rinciannya, sebanyak 48 laboratorium berada di rumah sakit di seluruh Indonesia, 15 laboratorium milik perguruan tinggi di seluruh Indonesia, 18 laboratorium di bawah Kementerian Kesehatan, 5 laboratorium kesehatan di daerah, serta 3 laboratorium direktorat peternakan.
Baca juga : Dua Laboratorium Bergerak Pemeriksaan Covid-19 Dikirim ke Jawa Timur
Pasien lain
Berbagai langkah tersebut menggambarkan upaya keras pemerintah menangani pandemi Covid-9. Porsi besar diberikan pemerintah untuk menekan penularan virus korona dan memulihkan pasien yang terjangkit. Namun, di luar pasien korona, sebagian masyarakat Indonesia juga masih bergelut dengan ragam penyakit lain yang membutuhkan dukungan dana dan pelayanan rumah sakit.
Pelayanan rujuk balik oleh BPJS Kesehatan mencatat keberadaan warga yang masih berjuang mendapatkan pelayanan kesehatan. Pelayanan program rujuk balik adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan jangka panjang.
Terhadap pasien rujuk balik dengan pengobatan jangka panjang tersebut, kontrol dan pengambilan obat bisa dilakukan tak lagi harus ke rumah sakit, namun bisa dikembalikan ke puskesmas. Hal itu dilakukan supaya pasien tak perlu harus menempuh perjalanan ke rumah sakit yang biasanya lokasinya lebih jauh daripada puskesmas. Pengobatan tersebut dilaksanakan atas rekomendasi atau rujukan dari dokter spesialis yang merawat.
Masih banyak ragam warga yang juga menghadapi problem kesehatan lain, seperti penderita tuberkulosis dan kanker.
Sistem Monitoring Terpadu dari Dewan Jaminan Sosial Nasional mencatat, jumlah peserta program rujuk balik nasional pada Maret 2020 mencapai 1.551.288 orang. Mereka terdiri dari pasien beberapa penyakit, seperti hipertensi, diabetes melitus, jantung, asma, stroke, dan penyakit paru.
Di luar pasien rujuk balik tersebut, masih banyak ragam warga yang juga menghadapi problem kesehatan lain, seperti penderita tuberkulosis dan kanker. Pada 2018, di Indonesia terdapat 845.000 penderita tuberkulosis, sedangkan untuk penyakit kanker tercatat 348.809 kasus baru kanker.
Ada pula kaum lansia, sebagai salah satu kelompok rawan penularan Covid-19 karena rentan mengalami penurunan daya imun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, penduduk lansia Indonesia sebanyak 24,5 juta orang pada 2018.
Titik rawan populasi lansia adalah angka kesakitan lansia yang mencapai 25,99. Artinya, dari 100 lansia terdapat 25-26 lansia yang sakit. Keberadaan lansia, terutama yang sakit, perlu mendapat perhatian pemerintah agar terhindar tertular virus korona.
Keadilan sosial
Banyaknya pasien penyakit lain di luar Covid-19 menggambarkan masih adanya tantangan lain bagi pemerintah untuk menjaga kualitas layanan kesehatan masyarakat. Kemampuan pemerintah menyediakan dana penanganan korona dapat digunakan sebagai perencanaan program penanggulangan penyakit-penyakit lain di luar Covid-19.
Untuk menangani korona, pemerintah menghemat dari belanja negara sekitar Rp 190 triliun, baik dari anggaran kementerian/lembaga maupun transfer ke daerah. Ada juga pengalihan pos anggaran dinas yang nilainya Rp 43 triliun.
Pascapandemi, porsi keuangan negara tersebut bukan tidak mungkin digunakan untuk memperbaiki pelayanan fasilitas kesehatan di Indonesia. Program-program kesehatan masyarakat, seperti penanganan gizi buruk dan tengkes (stunting), dapat lebih dioptimalkan untuk kemajuan kualitas hidup warganya. (LITBANG KOMPAS)