Gesekan Opini Sosial Di Masa Covid -19
Berbeda dengan silang pendapat terhadap isu banjir dan Covid-19, silang pendapat opini publik soal perekonomian nasional terpantau cenderung lebih terfokus.
Dampak wabah Covid-19 yang juga melanda Indonesia, menerpa semua segi hidup bermasyarakat. Perilaku hidup sehat, komunikasi sosial, perekonomian keluarga, hingga pandangan politik terpengaruh wabah virus korona baru. Bagusnya, keterbelahan antarkelompok masyarakat sejenak bisa teredam gara-gara kesamaan kondisi ekonomi.
Memasuki awal tahun di Januari 2020 mood perhatian publik tertuju pada penanganan musibah banjir besar khususnya yang melanda Jakarta dan sekitarnya. Alih-alih berfokus pada penanganan korban, sebagian kelompok masyarakat saling mencari kesalahan. Sisa-sisa pertentangan pilihan politik pada ajang pemilu 2019 masih mengendap dalam benak publik yang muaranya bermunculan khususnya di media sosial.
Musibah banjir agaknya tak menyurutkan keterbelahan publik, meski kadarnya sudah jauh berkurang dari tahun sebelumnya. Perilaku gesekan sosial seperti saling sindir, saling ejek, saling tuding, dan saling tuduh, dilakukan dari kedua "kubu" sehingga menggerogoti soliditas ikatan sosial masyarakat.
Kondisi ini diperparah dengan penyebaran kabar bohong alias hoaks yang mengambil setting berbagai isu utama yang sedang dihadapi masyarakat, termasuk wabah Covid-19. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 10 Mei 2020 mencatat 673 informasi hoaks terkait Covid-19 yang beredar melalui media sosial, aplikasi percakapan Whatsapp, dan tautan pada situs internet.
Diantaranya pada Januari, tercatat 40 kasus hoaks, Februari 98 kasus hoaks, dan Maret melonjak naik menjadi 266 kasus hoaks. Demikian juga sebaran hoaks di masyarakat diperkirakan juga meluas, seiring bertambahnya kasus Covid-19 di Tanah Air. (Kompas, 31/3/2020)
Namun ada pula blessing in disguise bahwa sejak wabah corona resmi menulari dua warga di Depok, Jawa Barat 2 Maret 2020 dan di akhir bulan Maret kemudian berlaku ketentuan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) perhatian publik beralih. Kasus hoak pun terpantau menurun di bulan April dan Mei 2020. Publik yang semula saling sindir dan saling ejek di media sosial (dan sebagian media arus utama) mulai berkurang intensitasnya seiring beralihnya topik pemberitaan baik di media sosial maupun media arus utama (mis. koran, televisi).
Sorotan publik terhadap isu banjir ibukota segera menghilang digantikan kabar dua warga negara Indonesia yang terpapar virus korona baru di Depok. Hasil monitoring pada pemberitaan halaman pertama enam surat kabar nasional, yaitu Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Koran Sindo, Republika, dan Indopos menunjukkan tren naik yang signifikan pada jumlah pemberitaan Covid-19.
Catatan analisis isi atas berita utama (headline) 6 surat kabar nasional yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan, terjadi perubahan isu utama yang diangkat. Tidak ada lagi pemberitaan tentang banjir di halaman pertama keenam surat kabar nasional. Sebaliknya sebanyak 64 pemberitaan seputar Covid-19 memenuhi halaman pertama keenam surat kabar hanya dalam waktu sepekan (2-7 Maret 2020).
Pemberitaan tentang wabah yang menyerang secara global ini bahkan sebenarnya sudah mulai menghiasi halaman pertama sejak awal Januari 2020. Namun pilihan tema ini belum tentu selalu menjadi headline. Tercatat, 227 pemberitaan tentang virus korona baru atau peliputan tentang Wuhan diberitakan di halaman pertama dari 1 Januari hingga 7 Maret 2020.
Kini, sejak Maret hingga tulisan ini dibuat, nyaris tak ada hari tanpa isu Covid sebagai berita utama. Berbagai aspek penanganan dan penularan wabah Covid-19 diulas hingga nyaris memenuhi seluruh ruang publik yang ada. Mayoritas surat kabar menjadikan isu wabah corona dengan berbagai segi informasi sebagai berita utama.
Media massa utama cenderung bersikap kritis penyediaan sarana alat pelindung diri (APD), longgarnya pelaksanaan PSBB, hingga perlindungan bagi para tenaga kesehatan. Sebaliknya, media massa juga memberikan apresiasi upaya gotong royong yang banyak tumbuh dari masyarakat secara mandiri, termasuk saling bantu dalam bertahan hidup di masa krisis, dan berbagai upaya pengumpulan bantuan.
Apapun bentuk narasi headline yang diangkat media di periode ini kian menegaskan jika Indonesia telah memasuki masa penularan pandemi Covid-19 yang kian serius implikasinya. Hal ini memberikan pesan yang makin jelas kepada masyarakat untuk bersatu dan mendahulukan kepentingan bersama yang lebih mendasar yakni mengatasi wabah Covid-19.
Hoak Covid
Dihantam musibah wabah virus korona baru, negara Indonesia memang tampak gamang di awal. Seruan peringatan sejumlah pihak agar pemerintah segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi penyebaran virus korona baru, tak segera direspon. Tak sedikit publik yang hingga kini menganggap keliru langkah awal pemerintah tak segera tak menjalankan kebijakan “lockdown” alias penguncian wilayah (karantina wilayah) sejak awal.
Perdebatan tentang perlu atau tidaknya karantina wilayah sempat menjadi isu hangat di berbagai ruang publik, baik di media mainstream (suratkabar dan televisi) maupun media sosial. Ada kecenderungan, pendapat pemihakan atas perlu atau tidaknya karantina juga “dibebani” oleh bias pandangan politik terhadap pemerintah.
Meski demikian, keinginan untuk lockdown atau tak lockdown sebenarnya cukup dilematis. Dari jajak pendapat Kompas di Maret 2020 beberapa minggu setelah diumumkannya kasus pertama Covid-19, terekam tingkat kekhawatiran mayoritas publik yang cukup tinggi atas risiko penularan covid-19. Namun tidak juga tampak sikap ketegasan publik atas pilihan langkah yang sebaiknya diambil pemerintah. Publik sendiri tampak gamang dan relatif terbelah antara perlu atau tidaknya karantina.
Padahal, jika menilik kondisi pertengahan Maret saat itu, kenaikan kasus harian masih relatif sedikit dengan angka reproduksi penularan (Rt) yang masih terus naik. Sementara itu proporsi pasien yang sembuh belum melampaui pasien meninggal, sehingga belum memberi keyakinan publik akan tingkat kesembuhan dari pasien yang terinfeksi korona. Tak ayal, pendapat publik semakin menghangat dengan tarik menarik sikap antara setuju dan tak setuju terhadap langkah pemerintah.
Informasi yang beredar di masyarakat juga bergeser dari waktu ke waktu. Jika pada awalnya hoaks membicarakan kasak-kusuk terkait ada atau tidaknya pasien masuk sebuah rumah sakit di suatu kota atau kabupaten, konten hoaks berikutnya yang beredar menyasar sejumlah pejabat, tokoh, dan publik figur yang dikabarkan terkena serangan virus ini. Lebih luas lagi, hoaks juga menyoal kebijakan karantina wilayah atau yang umumnya disebut lockdown. (Kompas, 30 April 2020)
Dinamika opini sosial di ruang publik kemudian terpantau menurun saat memasuki bulan Ramadhan di minggu terakhir April. Mayoritas publik tampaknya beralih perhatiannya kepada menjalankan ritual puasa Ramadhan di tengah masa PSBB hingga jelang Lebaran di 24 Mei 2020. Namun menjelang lebaran, pro kontra pun kembali muncul terkait pelaksanaan sholat ied.
Yang diperdebatkan adalah ketentuan pemerintah maupun MUI yang mendorong melarang orang shalat Idul Fitri di masjid. Isu yang muncul adalah kontradiksi orang pergi ke mall versus sembahyang ke masjid. Isu ini akhirnya diselesaikan Menko Polhukam Mahfud MD yang menjelaskan duduk perkara ketentuan sholat Ied.
Sulit mengingkari bahwa pro kontra tentang penanganan Covid-19 berkembang melampaui isu penyakit itu sendiri. Namun agak berbeda dengan kondisi pro kontra isu banjir awal tahun yang dilatarbelakangi oleh perspektif pandangan politik berbasis identitas sosial dan tokoh politik, dalam kasus Covid-19 pro kontra dilatarbelakangi motivasi survival ekonomi.
Tak dimungkiri, kekhawatiran atas dua hal itu memang sama-sama mendasar yakni segi keselamatan/kesehatan dari paparan virus korona baru, dan segi keberlangsungan hidup ekonomi keluarga. Keterbelahan itu terus berlangsung hingga akhir Mei 2020 saat tulisan ini dibuat, dimana proporsi responden yang setuju pelonggaran PSBB maupun tak setuju pelonggaran, proporsinya relatif sama.
Ekonomi lemah
Memasuki akhir bulan Mei ini, kondisi wabah Covid-19 belum juga mereda dan bahkan kurva korban yang positif tertular korona cenderung meningkat. Namun tak hanya korban terpapar virus korona, korban PHK dan kehilangan penghasilan juga makin besar jumlahnya. Ancaman wabah kesehatan itu pada gilirannya menggulung bidang perekonomian.
Makin banyak perusahaan merumahkan atau memecat pekerjanya karena kesulitan keuangan. Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan, hingga 12 Mei 2020 jumlah tenaga kerja yang dirumahkan maupun terkena Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK) mencapai 1.722.958 orang. Sedangkan menurut Kamar dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ada 6 juta pekerja yang sudah dirumahkan maupun kena PHK.
Produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa memang terjerembab di titik terendah sejak krisis ekonomi 2008. Pelemahan ekonomi nasional itu sudah terpantau di triwulan pertama 2020 (Januari-Maret) yang mencatat anjloknya pertumbuhan ekonomi dibanding tahun sebelumnya sehingga hanya tumbuh 2,97 persen.
Kondisi dunia usaha yang sudah lesu pada tahun 2019 berlanjut di 2020. Di awal 2020, sejumlah perusahaan sudah rontok dihajar kelesuan ekonomi. Pada bulan Februari 2020 terekam sejumlah puluhan ribu tenaga kerja di berbagai sektor, termasuk start up, media, hingga perusahaan BUMN melakukan pemutusan hubungan kerja.
Artinya, di mata publik tergambar bayangan ekonomi ke depan yang makin tak menentu, dengan daya beli masyarakat yang kian terpuruk karena menurunnya pendapatan. Triwulan II 2020 (April-Juni) diperkirakan dampak PHK dan kehilangan pendapatan mencapai puncak. Ini tercermin dari Bank Indonesia yang merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi hanya 0,4 persen saja.
Berbeda dengan silang pendapat terhadap isu banjir dan Covid-19, silang pendapat opini publik soal perekonomian nasional terpantau cenderung lebih terfokus. Problem riil penurunan kemampuan pendapatan dialami oleh hampir semua warga di kota-kota besar Indonesia sebagaimana juga dialami semua warga dunia. Alhasil pemberitaan media pun cenderung melihat problem ekonomi secara teknokratik, tanpa terlalu membingkainya dalam sebuah perdebatan politik kebijakan.
Berbagai gerakan sosial bermunculan di masyarakat untuk memberikan bantuan pangan, sembako, maupun berbagai bantuan kemanusiaan lainnya. Aksi-aksi sosial kian menjamur bergerak di kelompok sosial terkecil masyarakat, tingkat RT/RW dan bersifat spontan.
Di berbagai platform pemberitaan, terpantau bermacam upaya warga untuk bahu membahu mencegah terjadinya kasus warga kelaparan di wilayah mereka. Penggalangan dana juga terpantau dilakukan berbagai kalangan mulai dari artis, pejabat, hingga kelompok-kelompok sosial dan keagamaan.
Yang menarik, adalah mengamati komentar-komentar masyarakat dalam menanggapi setiap opini di media sosial yang bersifat menggiring pada suasana bias pemihakan sebagaimana pada kasus isu banjir atau covid-19. Terhadap upaya yang bias pemihakan itu, segera direspon dengan bertubi-tubi opini yang "menetralkan".
Kini, di minggu terakhir Mei 2020 pemerintah menurunkan aparat TNI dan Polri untuk mengawal dan mengawasi pelaksanaan rencana pelonggaran bertahap Pembatasan Sosial Berskala Besar menuju tatanan Normal Baru. Kita lihat, dinamika opini seperti apa lagi yang akan muncul di berbagai ranah komunikasi sosial masyarakat. (LITBANG KOMPAS)