Pancasila dan Tugas Sejarah Kita
Pancasila tidak sekadar sebagai fundamen politik, namun juga fundamen moral yang memberi tuntunan dalam menjaga nilai-nilai luhur bangsa.
Para pendiri bangsa tak hanya merumuskan Pancasila sebagai fundamen politik, melainkan juga sebagai fundamen moral yang memberi tuntunan dalam menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Sebuah nilai yang perlu diwarisi dalam tatanan kehidupan pada segala masa.
Jumat, 1 Juni 1945. Indonesia belum merdeka. Walakin, semangat kemerdekaan telah bergelora di Gedung Tyuuoo Sangi-In (kini Gedung Pancasila di lingkungan Kementerian Luar Negeri) yang dipenuhi para tokoh bangsa dalam sidang BPUPKI.
Pada momen inilah, tepat tiga perempat abad silam, Soekarno dengan semangat berapi-api melontarkan gagasan tentang philosophische grondslag atau dasar filsafat negara. Selama sekitar satu jam, para tokoh bangsa yang hadir menyimak dengan seksama berbagai gagasan dalam alam pikiran Soekarno yang saat itu disampaikan secara utuh.
Dalam suasana prakemerdekaan, pembahasan dasar negara tentu melahirkan semangat tersendiri bagi para tokoh bangsa. Suasana kebatinan inilah yang mengiringi pidato Soekarno saat menjelaskan dengan rinci tentang gagasan dasar negara.
Makna kata merdeka, gagasan sejumlah tokoh dunia, hingga sejarah bangsa-bangsa di berbagai negara menjadi materi yang tak luput disampaikan. Riuh tepuk tangan turut mengiringi beberapa bagian pidato, beberapa bagian lainnya diiringi oleh riuh jawaban saat Soekarno mencoba membangkitkan semangat para tokoh bangsa lainnya dengan lontaran pertanyaan.
Dalam pidato itu, Soekarno mengemukakan lima prinsip dasar negara yang kemudian disebut sebagai Pancasila, yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Dalam wawancara dengan Cindy Adams, seorang wartawan dari Amerika Serikat, Soekarno menjelaskan bahwa prinsip dasar negara Indonesia sama sekali tidak dapat disamakan dengan negara lain. Oleh sebab itu, gagasan tentang dasar negara ini telah menjadi pergulatan dalam alam pikiran Soekarno selama hampir dua dekade lamanya.
“Di Pulau Flores yang sepi, di mana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila,” ungkap Soekarno kepada Cindy Adams saat mengenang pengasingan dirinya di Ende sepanjang 1934-1938. Dari sinilah ide tentang Pancasila lahir.
Menurut Mohammad Hatta, Pancasila yang disampaikan oleh Soekarno memiliki dua lapis fundamen, yakni fundamen politik dan fundamen moral. Urutan fundamen ini kemudian berubah saat pembahasan dalam Panitia Sembilan yang diketuai oleh Soekarno dan didampingi oleh Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua.
Fundamen moral, yakni prinsip Ketuhanan yang sebelumnya berada di bawah sila lainnya, kemudian berubah posisi dan berada di atas fundamen politik seperti Pancasila yang dikenal saat ini.
“Dengan urutan dan rumusan baru itu, dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk melaksanakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat,” kata Hatta dalam pidato pengukuhan saat menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia pada 30 Agustus 1975.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan sintesis dari nilai moral yang dapat menjadi pegangan dalam kehidupan berbangsa. Menurut Soekarno, prinsip Ketuhanan berkaitan dengan sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain. “Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme-agama,” kata Soekarno.
Sementara bagi Hatta, sila ini tidak hanya bermakna tentang sikap saling menghormati antarumat beragama, melainkan menjadi dasar yang dapat memimpin bangsa menuju jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan.
Baca juga: Bangsa Bernilai
Harmoni
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa tentu tidak menyangkut tentang agama, ras, atau golongan tertentu, melainkan segenap masyarakat Indonesia. Sebuah prinsip yang menjadi landasan keberagaman. Ini menegaskan bahwa gagasan yang ditetapkan oleh para tokoh bangsa bermuara pada sebuah imaji tentang persatuan bangsa.
Menurut Hatta, penerapan sila pertama adalah akar dari peradaban kehidupan berbangsa. Pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa dapat mengajak masyarakat untuk memupuk persahabatan dan melaksanakan harmoni dalam alam Indonesia.
Selain bertindak atas nilai kebenaran, keadilan, serta kejujuran, penerapan sila pertama juga harus diiringi dengan tindakan untuk menentang setiap sikap yang melenceng jauh dari Pancasila. Memperbaiki kesalahan, membasmi kecurangan, dan menentang segala kebohongan adalah hal yang tak boleh abai dalam tindakan.
“Sebab apa artinya pengakuan akan berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila kita tidak bersedia berbuat dalam praktik hidup menurut sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti kasih dan sayang, serta adil?,” tanya Hatta saat menyampaikan perenungan tentang penerapan Pancasila pada suatu kesempatan.
Sila pertama, sebagai landasan dalam membentuk moral bangsa memiliki arti penting untuk diterapkan dalam setiap lini kehidupan. Penerapan inilah yang menjadi dasar moral sebelum bertindak lebih jauh untuk menerapkan sila-sila berikutnya.
Baca juga: Memudakan Tafsir Pancasila
Warisan luhur
Kini, hampir tiga perempat abad usia kemerdekaan Indonesia, penerapan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh pendiri bangsa menjadi tugas sejarah yang mesti dijalankan. Nilai-nilai keberagaman, kejujuran, hingga keadilan adalah hal yang mutlak harus diterapkan.
Pada satu sisi, nilai-nilai itu telah berjalan sesuai koridor yang semestinya. Tengok saja pada indikator modal sosial yang dicapai oleh Indonesia dalam Legatum Prosperity Index pada 2019. Indonesia menduduki peringkat kelima dari 167 negara.
Indikator ini diukur dari beberapa aspek seperti hubungan sosial hingga partisipasi masyarakat sipil dalam memberikan bantuan. Ini tentu menjadi wujud dari welas asih dan penerapan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan.
Namun, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah dalam penerapan nilai-nilai Pancasila pada setiap sendi kehidupan. Berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas pada Mei 2019 lalu, sebanyak 38,7 persen responden menganggap bahwa nilai-nilai Pancasila sudah mulai ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisi ini tentu tidak terlepas dari sejumlah kondisi dalam kehidupan berbangsa yang tak selaras dengan semangat para pendiri bangsa. Korupsi, segregasi sosial, hingga tindakan banal seperti keributan di ruang maya maupun nyata menjadi hal yang perlu dituntaskan dengan kesadaran bersama.
Dunia pendidikan yang semestinya menjadi gerbang pemahaman nilai-nilai Pancasila pun justru masih bergelut dengan abainya nilai-nilai kemanusiaan dalam pergaulan.
Kondisi ini terekam dalam asesmen yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2018 silam. Dalam penilaian itu, sebanyak 41,1 persen pelajar di Indonesia pernah mengalami perundungan beberapa kali dalam satu bulan.
Sebagaimana ungkapan Perancis, l’histoire se repete, sejarah akan berulang. Maka tugas kita adalah mengambil pelajaran dari kondisi di masa kini, agar siap mengantisipasi pengulangan peristiwa bersejarah di masa yang akan datang. Seluruh persoalan yang kini hadir dan bertolak belakang dengan nilai-nilai Pancasila tentu perlu segera dibenahi.
Persis seperti pesan Mohammad Hatta, bahwa penerapan sila pertama bukan hanya tentang membela keadilan, berbuat baik, ataupun bersikap jujur, melainkan juga tentang tindakan untuk menentang segala yang dusta, mencegah kezaliman, hingga memperbaiki yang salah.
Jika diterapkan, Pancasila semestinya dapat memberi bentang toleransi dalam setiap sendi kehidupan. Karena bagaimanapun, Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa tidak dibentuk dalam semangat kosmopolitisme, melainkan sebagai sebuah negara kesatuan dengan nilai-nilai penghargaan dan persatuan yang luhur. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Sistem Demokrasi Pancasila Persatukan Kemajemukan