Upaya Daerah Tertinggal Mengejar yang Sulit Terkejar
Sebanyak 62 kabupaten telah ditetapkan pemerintah sebagai daerah tertinggal. Dari jumlah tersebut, ada sejumlah daerah dengan pencapaian pembangunan manusia paling rendah.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Sebanyak 62 kabupaten telah ditetapkan pemerintah sebagai daerah tertinggal. Dari jumlah tersebut, ada sejumlah daerah dengan pencapaian pembangunan manusia paling rendah. Selain itu, terdapat pula daerah yang paling lambat dalam percepatan perubahan. Tak heran, daerah-daerah tersebut perlu masa hingga setengah abad untuk mengatasi ketertinggalan.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020, baru saja Presiden Joko Widodo menetapkan 62 kabupaten di 11 provinsi sebagai daerah tertinggal. Dalam aturan itu, daerah disebut tertinggal jika wilayah dan warganya kurang berkembang daripada daerah lain dalam skala nasional. Kriterianya, antara lain, dari sisi kualitas sumber daya manusia, perekonomian masyarakat, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerahnya.
Penetapan daerah tertinggal ini berlaku untuk periode 2020-2024. Dengan demikian, setelah periode tersebut, status daerah tertinggal dapat saja berubah. Pada periode sebelumnya (2015-2020), misalnya, 122 wilayah dinyatakan pemerintah sebagai daerah tertinggal. Jumlah itu tersebar di 23 provinsi. Artinya, dalam kurun lima tahun, ada perbaikan pada hampir separuh jumlah kawasan tertinggal tersebut.
Apakah mungkin rentang ketertinggalan dengan capaian daerah lain dapat terpangkas?
Khusus terhadap jumlah daerah yang tersisa, masih perlu waktu hingga dinyatakan tidak lagi tertinggal. Mengacu pada masifnya pembangunan fisik di setiap daerah, terutama pada daerah-daerah yang dikenal sulit aksesibilitasnya, bisa jadi lima tahun mendatang jumlah daerah tertinggal akan berkurang lagi. Namun, persoalannya, dalam kurun waktu yang tergolong singkat tersebut, apakah mungkin rentang ketertinggalan dengan capaian daerah lain dapat terpangkas?
Menarik mencermati perubahan yang terjadi dan seberapa cepat perubahan tersebut mampu memperpendek jarak ketertinggalan. Jika menggunakan salah satu kriteria pengukuran, sebut saja sisi peningkatan kualitas sumber daya manusia, tampaknya terlalu sulit.
Hasil kajian terhadap indikator capaian kualitas pembangunan manusia menunjukkan, ke-62 kabupaten berada di bawah rata-rata capaian kualitas pembangunan manusia Indonesia, baik dari sisi pendidikan, kesehatan, maupun kondisi ekonomi. Dengan demikian, dalam skor indeks pembangunan manusia (IPM) 2019, seluruh daerah tersebut masih berada di bawah 71,92 (skor IPM nasional).
Jika dipilah, semakin tampak sisi yang mengkhawatirkan. Dari seluruh daerah tertinggal, setidaknya terdapat 22 kabupaten dengan skor IPM di bawah 60. Dapat dikatakan, inilah kelompok daerah yang paling tertinggal di negeri ini. Dari kelompok paling tertinggal ini, kecuali Kabupaten Sabu Raijua di NTT, semua berada di Papua dan Papua Barat (grafik 1).
Jarak ketertinggalan pada kelompok kabupaten paling tertinggal sangat senjang. Kabupaten Nduga, misalnya, kini memiliki skor IPM hanya 30,75 atau kurang dari separuh skor IPM nasional. Selain Nduga, menyusul Kabupaten Puncak, Pegunungan Bintang, Mamberamo Tengah, hingga Manokwari Selatan.
Di luar kelompok paling tertinggal, 40 kabupaten memiliki skor IPM di atas 60. Hanya jika mengacu pada skor IPM nasional, masih tetap berjarak cukup lebar. Meski demikian, pada daerah itu telah terjadi perubahan cukup mencolok daripada kelompok paling tertinggal.
Menyebar di 11 provinsi
Dalam kelompok ini, daerah tertinggal mulai menyebar di 11 provinsi. Di kawasan timur Indonesia, konsentrasi daerah tertinggal masih tetap yang tertinggi. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, kondisi setiap provinsi belum banyak beralih dari ketertinggalan.
Provinsi NTT, misalnya, menjadi wilayah selain Papua yang juga kantong daerah tertinggal. Masih ada 13 kabupaten yang tertinggal. Dibandingkan dengan periode lima tahun lalu, hanya terjadi pengurangan di empat kabupaten, yaitu Manggarai Barat, Ende, Ngagekeo, dan Timor Tengah Utara.
Selain NTT, sejumlah wilayah lain, seperti Provinsi Maluku, Maluku Utara, NTB, hingga beberapa provinsi di Sulawesi, kini tak banyak lagi kawasan tertinggal. Kurun lima tahun terakhir, kendati juga masih menyisakan beberapa wilayah tertinggal, perubahan signifikan terjadi.
Hingga ke arah kawasan barat Indonesia, konsentrasi wilayah tertinggal tampaknya semakin rendah. Di Sumatera, kawasan tertinggal terkonsentrasi di Sumatera Utara, khususnya di Pulau Nias. Seluruh kabupaten di Nias tertinggal.
Sebaliknya, di provinsi lain di Sumatera, wilayah tertinggal semakin susut. Di Sumatera Barat, kali ini hanya menyisakan Kepulauan Mentawai. Adapun Kabupaten Solok Selatan dan Pasaman Barat, yang dulunya tertinggal, kini tidak lagi. Begitu pula Sumatera Selatan, menyisakan Musi Rawas Utara. Lampung tersisa di Kabupaten Pesisir Barat. Aceh dan Bengkulu, yang sebelumnya terdapat kawasan tertinggal, terbebaskan.
Perubahan paling signifikan lain terjadi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Kalimantan. Menariknya, saat ini tidak satu pun daerah di kedua pulau tersebut tergolong tertinggal. Pada periode sebelumnya, Banten, khususnya di Pandeglang dan Lebak, masih tertinggal. Begitu juga di Jawa Timur, Kabupaten Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, dan Sampang sudah beralih.
Di Kalimantan, periode sebelumnya masih tercatat 12 kabupaten tertinggal. Delapan di antaranya di Kalimantan Barat, meliputi Kabupaten Sambas, Bengkayang, Landak, Ketapang, Sintang, Kapuas Hulu, Melawi, dan Kayong Utara. Sisanya, Kabupaten Seruyan di Kalimantan Tengah, Hulu Sungai Utara di Kalimantan Selatan, serta Kabupaten Nunukan dan Mahakam Ulu di Kalimantan Timur. Saat ini, semua kabupaten di Kalimantan telah bebas dari ketertinggalan.
Pada setiap provinsi dan kabupaten yang masih menyisakan daerah tertinggal, berbagai perubahan sebenarnya juga terjadi. Hasil pencermatan terhadap kualitas pembangunan manusia di 62 wilayah tertinggal tersebut juga menunjukkan adanya perkembangan.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, misalnya, terjadi peningkatan signifikan kualitas pembangunan manusianya. Bahkan, apabila dirata-rata, capaian laju peningkatan tahunannya relatif lebih tinggi dari rata-rata peningkatan nasional. Artinya, pada wilayah tertinggal tersebut terdapat upaya masif dalam memperbaiki kualitas hidupnya.
Hanya saja, jarak senjang yang terbangun selama ini tetap tak sebanding dengan kecepatan perubahan kualitas pembangunan manusianya. Itulah mengapa, jika dalam waktu singkat tergolong mustahil membalikkan kondisi ketertinggalan setiap wilayah.
Di balik penetapan wilayah tertinggal, persoalan paling mengkhawatirkan sebenarnya justru terjadi pada sebagian wilayah yang hingga kini tergolong lamban perkembangannya. Dikatakan lamban jika laju rata-rata perubahan masih di bawah capaian laju rata-rata nasional.
Dengan mencermati laju perubahan setiap daerah, setidaknya terdapat 12 kabupaten yang kecepatan pertumbuhannya justru di bawah laju rata-rata nasional (grafik 2). Paling lambat Kabupaten Pegunungan Arfak. Laju peningkatan IPM-nya rata-rata hanya 0,39.
Selain kondisi pembangunan manusia di kabupaten ini tergolong berkualitas rendah, dikatakan mencemaskan lantaran laju kecepatan peningkatannya pun rendah. Jika dikalkulasi secara sederhana, untuk mengejar kondisi rata-rata nasional, Pegunungan Arfak tertinggal hingga hampir 40 tahun.
Selain Pegunungan Arfak, Kabupaten Deiyai tak kurang mengkhawatirkan. Malahan, rentang jarak yang terbangun hampir 50 tahun. Dengan demikian, hanya mengandalkan perubahan yang terjadi di kabupaten ini, jelas masih sangat sulit mengatasi ketertinggalan.