Aspek keselamatan dan kesehatan anak harus menjadi faktor paling utama dalam memutuskan kapan sekolah akan dibuka kembali. Seperti arahan Presiden Joko Widodo, pelonggaran bidang pendidikan harus dilakukan hati-hati.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·6 menit baca
Ketika fase ”new normal” atau normal baru akibat pandemi Covid-19 akan diberlakukan, wacana pembukaan sekolah tahun ajaran 2020/2021 pada pertengahan Juli menuai pro dan kontra berbagai pihak. Perlu pertimbangan matang untuk memutuskan kapan sekolah akan dibuka kembali. Keselamatan dan kesehatan anak adalah faktor yang utama.
Penentuan kapan waktu yang tepat untuk memulai kembali aktivitas pendidikan dengan tatap muka membutuhkan kehati-hatian dengan mempertimbangkan banyak hal. Sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo, untuk bidang pendidikan harus hati-hati dan cermat, tidak grusa-grusu (terburu-buru) dalam menerapkan normal baru. Sekolah memerlukan perlakuan khusus. Kondisinya berbeda dengan sektor lain karena menyangkut keselamatan dan kesehatan anak didik.
Menanggapi arahan Presiden, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan, tahun ajaran baru 2020/2021 akan tetap dimulai pada 13 Juli 2020. Namun, ini bukan berarti saat itu siswa harus belajar di sekolah. Keputusan belajar di sekolah akan terus dikaji berdasarkan rekomendasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Penegasan ini membuat lega sebagian besar orangtua murid yang masih waswas dan tidak rela jika anaknya kembali ke sekolah dalam waktu dekat. Kekhawatiran orangtua ini beralasan mengingat kurva kasus positif Covid-19 masih fluktuatif. Jika sekolah kembali dibuka, akan ada interaksi tatap muka secara langsung dan kemungkinan besar akan terjadi kerumunan anak-anak sehingga bisa memicu timbulnya kluster baru penularan virus korona dari sekolah. Meskipun protokol kesehatan dilakukan dengan ketat, pelaku normal baru adalah anak-anak yang aktivitas kesehariannya jauh dari kata mandiri.
”Apakah sekolah bisa menjamin anak-anak akan tertib mengikuti protokol kesehatan di sekolah?” ”Apakah sekolah sudah siap dengan sarana prasarana menghadapi normal baru?” ”Lebih baik anak saya ketinggalan pelajaran atau bahkan tidak naik kelas daripada keselamatannya terancam karena terpapar virus korona di sekolah.” Demikian sebagian alasan kekhawatiran orangtua yang muncul dalam percakapan di media sosial.
Survei PGRI
Suara orangtua yang masih begitu khawatir jika anak-anak kembali ke bangku sekolah ketika pandemi belum mereda tergambar dalam hasil survei Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia pada 28 Mei. Survei itu dilakukan dengan responden 61.913 orangtua, 19.296 guru, dan 64.386 peserta didik di 34 provinsi. Berdasarkan hasil survei itu, mayoritas orangtua siswa, yaitu 85,5 persen, khawatir jika sekolah dibuka kembali. Hanya 14,5 persen orangtua yang tidak khawatir jika putra/putrinya kembali ke sekolah.
Terbalik dengan orangtua, 57,4 persen anak-anak justru menginginkan segera kembali bersekolah. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sudah hampir tiga bulan anak-anak belajar di rumah se hingga kemungkinan telah muncul kejenuhan karena tidak ke mana-mana serta kerinduan untuk bertemu dan bermain dengan teman-temannya.
Sementara itu, suara guru terbelah. Sebanyak 53,5 persen menyatakan siap menghadapi normal baru di sekolah dan sisanya, 46,5 persen, menyatakan belum siap, tak yakin pembukaan sekolah akan menjamin keselamatan murid. Dilema antara tugas, tanggung jawab, dan kerinduan untuk mengajar dengan rasa waswas akan keselamatan dan kesehatan murid.
Pertimbangan epidemiologis
Keselamatan dan kesehatan siswa dan guru harus menjadi prioritas. Apalagi anak-anak termasuk kelompok rentan terhadap Covid-19. Menurut catatan Ikatan Dokter Anak Indonesia, angka kesakitan dan kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia cukup tinggi, bahkan tertinggi di Asia. Hingga 18 Mei, ada 3.324 anak yang masuk kategori pasien dalam pengawasan (PDP) dan 129 anak berstatus PDP meninggal. Sebanyak 584 anak terkonfirmasi positif Covid-19 dan 14 anak di antaranya meninggal karena Covid-19.
Dari data laman Covid19.go.id hingga 2 Juni, tercatat 7,8 persen anak usia 0–17 tahun terinfeksi positif Covid-19. Dari total pasien Covid-19 yang meninggal, 1,4 persennya adalah anak-anak. Semua provinsi melaporkan adanya kasus anak terpapar Covid-19. Meskipun proporsinya lebih rendah dibanding usia dewasa, data menunjukkan bahwa anak-anak tidak kebal paparan virus korona. Faktor yang memengaruhi antara lain imunitas pada anak-anak yang belum sempurna.
Keselamatan dan kesehatan siswa dan guru harus menjadi prioritas.
Menurut Panji Fortuna Hadisoemarto, epidemiolog dari Universitas Padjadjaran, dalam seminar daring bertajuk ”Anak dan Covid-19: Sekolah di Rumah sampai Kapan?” yang diselenggarakan LaporCovid-19 pada 4 Juni, ada empat komponen risiko terjadinya penularan dan risiko sakit atau kematian pada anak yang disebabkan Covid-19. Keempat risiko tersebut adalah frekuensi kontak, probabilitas kontak dengan penular, probabilitas terjadi penularan, dan probabilitas sakit atau meninggal.
Meski populasi anak usia sekolah adalah kelompok risiko rendah untuk tertular, sakit, atau meninggal karena Covid-19, intensitas kontak di sekolah menyebabkan jumlah anak yang terpapar virus korona relatif tinggi. Apalagi anak-anak juga berisiko karena kontak dengan kelompok umur lain. Di samping itu anak-anak adalah kelompok potensial pembawa virus korona tanpa gejala atau asimptomatik. John Williams, pakar penyakit menular anak di University of Pittsburgh Medical Center, mengatakan, 10-13 persen kasus infeksi pada anak adalah tanpa gejala.
Untuk itu perlu dipikirkan betul risiko dan manfaatnya ketika akan membuka sekolah di tengah masih belum berakhirnya pandemi Covid-19. Pertimbangan epidemiologis ini penting karena mengacu pada pengalaman di negara lain, seperti Finlandia, Perancis, dan Korea Selatan, gelombang penularan Covid-19 muncul kembali setelah sekolah dibuka meskipun dengan protokol kesehatan yang ketat. Sejumlah kasus terpaparnya siswa setelah sekolah dibuka di beberapa negara bisa menjadi pelajaran berharga.
Masa transisi
Menghitung risiko yang bisa timbul jika sekolah dibuka dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah untuk menentukan kapan waktu terbaik kegiatan belajar-mengajar dengan tatap muka diselenggarakan kembali. Sampai kini masih dikaji, apakah bisa diundur hingga akhir tahun atau awal tahun 2021. Ikut juga dikaji tentang wacana pembukaan sekolah di daerah-daerah zona hijau Covid-19 karena risiko terdampak masih memungkinkan. Yang penting hak anak didik untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya tetap terpenuhi.
Tahun ajaran baru ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah, pengelola sekolah, dan orangtua untuk membantu siswa beradaptasi memasuki era normal baru belajar di masa pandemi. Masa sebelum anak-anak benar-benar kembali ke sekolah ini menjadi masa transisi yang bisa dipersiapkan bersama menghadapi normal baru yang harus dijalani karena tatanan dan sistem pembelajaran yang konvensional tidak bisa diterapkan lagi selama virus korona masih ada.
Hak anak didik untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya tetap terpenuhi.
Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sudah dilakukan selama lebih kurang tiga bulan ini mau tidak mau tetap dilanjutkan meskipun hasil survei Ikatan Guru Indonesia menunjukkan 74 persen orangtua siswa menilai sistem PJJ atau belajar daring ini masih belum baik dan belum efektif.
Pemerintah diharapkan merancang kebijakan baru atau melakukan formulasi ulang terhadap kurikulum pada era pandemi dengan melakukan evaluasi untuk penyempurnaan sistem PJJ. Tujuannya agar lebih menyenangkan bagi anak dengan memperhatikan kondisi daerah agar tidak terjadi disparitas.
Di sisi lain, masa transisi dimanfaatkan penyelenggara sekolah untuk meningkatkan kualitas guru dan menyiapkan infrastruktur yang mendukung penerapan normal baru di sekolah. Harapannya, ketika sekolah dibuka kembali, baik lingkungan, guru, maupun siswa, benar-benar siap beradaptasi menjalankan protokol kesehatan dengan ketat dan disiplin.