Lomba Strategi Memerangi Covid-19
Meskipun menerapkan strategi yang hampir sama dalam menangani pandemi Covid-19, derajat penerapan dan situasi khas tiap negara menentukan hasil yang berbeda-beda.
Strategi menurunkan tingkat penularan virus SARS-CoV-2 dapat digolongkan dalam strategi tes, pelacakan, serta penutupan dan pelarangan. Walaupun menerapkan strategi yang hampir sama, derajat penerapan dan situasi khas tiap negara menentukan hasil yang berbeda-beda.
Apabila strategi tiap negara untuk menghadapi pandemi dilombakan, negara manakah yang akan keluar sebagai pemenang? Lebih khusus lagi, sistem politik manakah yang paling ampuh dalam mendukung kemenangan negara tersebut?
Demikianlah salah satu pertanyaan yang sedang dijawab para teoretisi sosial-politik selama pandemi. Mereka yang disebut para teoretisi ilmu sosial politik ini meliputi para ilmuwan di bidang sosial, politik, dan para filosof.
Salah satu pemicu munculnya diskursus tersebut adalah pernyataan dari menteri luar negeri China Wang Yi pada pertengahan Februari 2020. Ia menyatakan bahwa strategi yang diambil China di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping mampu secara efektif menghentikan penyebaran virus di masa pandemi.
Pernyataan tersebut memancing respons dari berbagai pembela demokrasi mengingat China dianggap sebagai salah satu negara yang kurang menghargai kebebasan warganya. Bahkan, dalam indeks kebebasan pers dunia 2020, China berada di urutan ke-177 dari 180 negara dan dimasukkan dalam kelompok negara-negara yang sangat serius membungkam kebebasan pers bersama 23 negara lain.
Selain itu, dalam kumpulan data pelanggaran kebebasan pers ”Tracker 19” yang dibuat oleh Reporters Without Borders (RSF), China mendapat perhatian khusus dengan 12 kumpulan kasus dari 40 negara yang dilaporkan per 28 April 2020. Padahal, negara yang lain yang dilaporkan melanggar kebebasan pers selama pandemi ini paling banyak hanya dilaporkan karena tiga kasus.
Dengan demikian, pendapat yang disampaikan oleh menteri luar negeri China tersebut dapat dianggap sebagai provokasi yang menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang digunakan di China merupakan bentuk pemerintahan yang paling siap menghadapi pandemi Covid-19 dibandingkan bentuk pemerintahan negara lain, seperti demokrasi misalnya.
Timur dan Barat
Selain China, beberapa negara Asia lain juga mendapatkan pujian atas keberhasilannya mengontrol pandemi, antara lain Korea Selatan dan Taiwan. Bedanya, kedua negara demokrasi tersebut lebih dianggap memberikan kebebasan bagi warganya. Dalam Indeks Kebebasan Pers 2020, Korea Selatan menempati urutan ke-42 dan Taiwan berada di urutan ke-43 dari 180 negara.
Kedua negara tersebut dianggap bertindak dengan transparan dalam membatasi perjalanan, melakukan tes secara agresif, dan memberlakukan karantina secara ketat.
Oleh karena itu, lantas pertanyaannya bukan lagi merujuk pada sistem pemerintahan mana yang paling unggul dalam menghadapi pandemi, tetapi strategi macam apa yang diterapkan sehingga dianggap berhasil mengatasi pandemi.
Dengan demikian, untuk keperluan analisis, dapat dibuat polarisasi wilayah di dunia secara umum, wilayah Barat dan Timur. Wilayah Timur, yakni daerah Asia, diwakili China, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, serta Singapura. Di wilayah Barat, yakni Eropa dan Amerika, diwakili oleh Amerika Serikat, Italia, Inggris, Jerman, Spanyol, dan Perancis.
Dalam tulisan ini, akan dibandingkan strategi yang diambil oleh tiap negara dalam menghadapi pandemi Covid-19 di masing-masing wilayah.
Strategi dan evaluasi
Strategi berbagai negara dalam menghadapi Covid-19 dapat dikelompokkan sesuai pedoman WHO dalam dua bagian besar sesuai dengan tujuannya. Pertama, strategi untuk menurunkan penyebaran virus dan kedua strategi untuk mengurangi kematian.
Dalam upaya menurunkan penyebaran virus, berbagai strategi yang dapat ditempuh dapat dirangkum dalam lima kata kunci, yakni temukan, tes, isolasi kasus, karantina kontak, dan pembatasan sosial.
Sedangkan untuk mengurangi kematian, strategi yang dapat digunakan adalah memperluas layanan kesehatan, menambah sarana kesehatan penting/vital, dan memperkuat tenaga medis.
Berbagai strategi tersebut dapat dilihat secara real time melalui proyek garapan Blavatnik Scool of Governement University of Oxford yang disebut Oxford Covid-19 Government Response Tracker (OxCGRT).
OxCGRT mengumpulkan berbagai strategi yang diterapkan oleh berbagai negara di dunia dalam menghadapi Covid-19. Para peneliti di OxCGRT menggunakan 18 indikator kebijakan sebagai alat analisis yang dapat dikelompokkan ke dalam empat hal.
Pertama, berhubungan dengan penutupan dan pelarangan. Kedua, berhubungan dengan respons di bidang ekonomi. Ketiga, sistem pelayanan kesehatan. Keempat, lain-lain.
Tim yang beranggotakan 109 orang tersebut lantas mengolah data yang dikumpulkan menjadi indeks keketatan (stringency index) dengan skala 0 sampai 100.
Hingga 30 April 2020, indeks tersebut disusun dengan menggunakan basis sembilan indikator, yakni delapan indikator di bidang penutupan dan pelarangan dan satu indikator di bidang kesehatan (kampanye informasi publik). Indikator yang lain, termasuk strategi tes Covid-19 dan pelacakan kontak, dilaporkan sebagai data terpisah.
Indeks keketatan
Berdasarkan indeks keketatan yang diolah, dapat dilihat keketatan strategi suatu negara dalam melakukan penutupan dan pelarangan selama pandemi sekaligus kampanye terhadap informasi publik tentang strategi yang sedang dijalankan pemerintah.
Di antara negara Barat yang dianalisis, yakni AS, Inggris, Italia, Jerman, Perancis, dan Spanyol, didapatkan bahwa Italia merupakan negara yang paling ketat dalam menerapkan penutupan dan pelarangan selama pandemi. Per 30 April 2020, strategi penutupan dan pelarangan di Italia mendapatkan skor 94,3.
Di peringkat kedua terdapat Perancis dengan indeks keketatan 92,4 pada tanggal yang sama. Skor indeks keketatan selanjutnya adalah Spanyol (88,8), Inggris (80,9), Jerman (70,9), dan AS (70).
Apabila dirata-rata sejak pertama kali menerapkan kebijakan, Italia tetap menjadi negara yang paling ketat menerapkan kebijakan penutupan dan pelarangan. Sejak 23 Januari hingga 30 April 2020, Italia mendapatkan skor rata-rata indeks keketatan 64,2.
Skor tersebut diikuti Spanyol dengan rata-rata 54,9 sejak mulai menerapkan kebijakan pada 31 Januari 2020. Rata-rata indeks keketatan negara-negara Barat yang lain per 30 April 2020 adalah Perancis 53,9 (sejak 23 januari 2020), Jerman 45,9 (sejak 24 Januari 2020), Inggris 44,6 (sejak 2 Februari 2020), dan AS 41,9 (sejak 2 Februari 2020).
Di wilayah lain, yakni negara-negara Timur, skor indeks keketatan terlihat lebih rendah. Per 30 April 2020, Singapura mendapatkan skor indeks keketatan paling tinggi, yakni 86,7. Skor tersebut diikuti oleh Vietnam (85,2), China (61,7), Korea Selatan (57,4), Jepang (56,2), dan Taiwan (35,2).
Skor tersebut menjadi lebih rendah lagi apabila dirata-rata sejak pertama kali kebijakan penutupan dan pelarangan dilaksanakan di tiap negara. Per 30 April 2020, Vietnam menjadi negara di wilayah Timur yang menerapkan kebijakan paling ketat dalam penutupan dan pelarangan dengan skor rata-rata indeks keketatan 62,8 sejak 25 Januari 2020.
Selanjutnya, terdapat China dengan rata-rata indeks keketatan 62,4 sejak 20 Januari 2020. Rata-rata indeks keketatan negara-negara Timur yang lain per 30 April 2020 adalah Korea Selatan 59,9 (sejak 31 Januari 2020), Singapura 39,7 (sejak 2 Januari 2020), Jepang 34,7 (sejak 7 Januari 2020), dan Taiwan 29,1 (sejak 2 Januari 2020).
Tes dan pelacakan kontak
Selain indeks keketatan (Stringency Index), OxCGRT juga mengumpulkan data kebijakan tes dan pelacakan kontak yang dilakukan oleh berbagai negara dalam menghadapi Covid-19.
Dalam mengalisis strategi tes Covid-19, tim tersebut membagi dalam empat kriteria dengan kode 0, 1, 2, dan 3. Kode 0 berarti bahwa tak ada kebijakan tes Covid-19 secara nasional. Kode 1 berarti bahwa strategi tes dilakukan terhadap mereka yang memiliki gejala sekaligus masuk dalam kriteria tertentu, misalkan pekerja garis depan maupun tenaga medis.
Kode 2 berarti bahwa strategi tes dikenakan pada mereka yang memiliki gejala Covid-19. Sedangkan kode 3 berarti bahwa tes dilakukan terbuka terhadap semua masyarakat.
Dengan empat kriteria tersebut, per 30 April 2020, di wilayah Timur, tidak ada negara yang masuk dalam kriteria pertama dan kedua. Singapura dan Taiwan masuk dalam kriteria ketiga (kode 2), yakni negara yang menerapkan tes terhadap mereka yang memiliki gejala Covid-19.
Sedangkan China, Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam masuk dalam kriteria keempat (kode 3). Keempat negara tersebut menerapkan tes Covid-19 secara publik, terbuka bagi seluruh masyarakat.
Di wilayah Barat, per 30 April 2020, tak ada negara yang masuk dalam kriteria pertama (kode 0). Inggris, Jerman, Perancis, dan Spanyol masuk dalam kriteria kedua (kode 1), yakni menerapkan strategi tes Covid-19 terhadap mereka yang memiliki gejala sekaligus masuk dalam kriteria tertentu, seperti pekerja garis depan maupun petugas kesehatan. Italia masuk dalam kriteria ketiga (kode 2) dan AS masuk dalam kriteria keempat (kode 3).
Strategi lain, yakni pelacakan kontak, dianalisis dengan menggunakan tiga kriteria dengan tiga kode. Kode 0 berarti tak ada strategi pelacakan kontak. Kode 1 berarti strategi pelacakan kontak dilakukan secara terbatas, tidak untuk semua kasus. Sedangkan kode 2 berarti bahwa strategi pelacakan kontak dilakukan secara menyeluruh, kepada hampir semua kasus.
Di antara negara-negara Timur yang dianalisis, tak ada negara yang berada dalam kriteria pertama (kode 0). Jepang masuk dalam kriteria kedua (kode 1), yakni negara yang menerapkan strategi pelacakan kontak secara terbatas.
Adapun lima negara yang lain, yakni China, Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan Vietnam masuk dalam kriteria ketiga (kode 2), yakni menerapkan strategi pelacakan kontak menyeluruh, kepada hampir semua kasus.
Dengan tiga kriteria strategi pelacakan kontak tersebut, Inggris menjadi satu-satunya negara Barat yang dimasukkan dalam kriteria pertama (kode 0), yakni tidak ada strategi pelacakan kontak. AS, Jerman, Perancis, dan Spanyol masuk dalam kriteria kedua (kode 1), yakni strategi pelacakan kontak dilakukan secara terbatas. Sedangkan Italia masuk dalam kriteria ketiga (kode 2).
Berdasarkan indeks keketatan serta berbagai kriteria terhadap strategi tes dan pelacakan kontak, dapat dilihat kedalaman intervensi negara-negara wilayah Timur maupun Barat terhadap warga negaranya dalam upaya memerangi Covid-19.
Timur dan Barat
Berdasarkan paparan Indeks Keketatan serta strategi tes dan pelacakan kontak, dapat dilihat secara umum kecenderungan strategi yang dipilih oleh negara-negara di kawasan Timur maupun Barat.
Negara-negara di wilayah Barat cenderung menerapkan strategi yang lebih ketat dalam hal penutupan dan pelarangan. Hal tersebut tampak dalam indeks keketatatan rata-rata wilayah Barat pada 30 April 2020 di angka 82,90 dibandingkan rata-rata di wilayah Timur di angka 63,73.
Italia merupakan negara yang paling ketat dalam menerapkan penutupan dan pelarangan selama pandemi.
Strategi selanjutnya, yakni tes nasional, di kawasan Timur diterapkan lebih luas daripada di kawasan Barat. Negara-negara Timur yang dianalisis cenderung menerapkan kebijakan tes secara nasional bukan hanya bagi mereka yang memiliki gejala, tetapi juga terbuka bagi masyarakat umum.
Sementara negara-negara di kawasan Barat cenderung hanya melakukan tes Covid-19 bagi mereka yang memiliki gejala dan masuk dalam kriteria tertentu. Bahkan, per 30 Mei, Inggris dianggap tidak menerapkan kebijakan tes secara nasional.
Baca juga: Infodemik Tidak Kalah Bahaya dari Covid-19
Selain itu, per 30 April 2020, negara-negara di kawasan Timur cenderung menerapkan strategi pelacakan kontak secara menyeluruh, kepada hampir semua kasus yang temukan. Sebaliknya, negara-negara di kawasan Barat cenderung menerapkan strategi pelacakan kontak secara terbatas, tak kepada semua kasus.
Dengan demikian, hingga 30 April 2020, negara-negara wilayah Timur yang dianalisis lebih cenderung menggunakan strategi tes nasional dan pelacakan kontak untuk mengontrol penyebaran Covid-19.
Adapun negara-negara Barat lebih cenderung menggunakan strategi penutupan dan pelarangan. Dengan pemetaan umum tersebut, strategi manakah yang dapat dianggap lebih efektif dalam mengurangi penyebaran virus SARS-CoV-2? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?