Di Tengah Pandemi, Pilkada Bukan Prioritas
Publik cenderung menginginkan pilkada tak digelar tahun ini karena penambahan kasus positif harian Covid-19 masih tergolong tinggi. Masyarakat melihat aspek keselamatan dan kesehatan harus menjadi prioritas.
Tiga kali jajak pendapat Kompas mengindikasikan pelaksanaan pilkada bukan prioritas bagi sebagian masyarakat, apalagi di tengah masih tingginya penambahan jumlah kasus positif Covid-19. Sikap publik cenderung memilih agar pilkada tidak digelar saat pandemi.
Setidaknya kesimpulan itu didapat dari rangkaian jajak pendapat Kompas selama tiga periode, yakni 24-25 Maret 2020, 22-24 April 2020, dan 4-5 Juni 2020. Ketiga jajak pendapat menegaskan opini publik yang cenderung menginginkan pelaksanaan pilkada dihindari pada tahun ini. Pendapat publik ini wajar karena merujuk pada kondisi lapangan dan lingkungan kota domisili responden, yakni situasi pandemi Covid-19 masih mengkhawatirkan. Upaya memaksakan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi sama saja mempertaruhkan keselamatan dan kesehatan.
Pada jajak pendapat Kompas akhir Maret 2020, misalnya, dukungan terhadap penundaan seluruh tahapan pemilihan kepala daerah diungkapkan oleh 91,8 persen responden. Perihal pelaksanaan pemungutan suara, sebanyak 73,7 persen responden berharap agar waktu dan tanggal pemungutan suara ditunda di seluruh daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020.
Penundaan bukan berarti menganggap pilkada tidak penting. Antusiasme publik untuk mengikuti hajatan lima tahunan ini tetap relatif masih tinggi. Mereka tetap sangat antusias untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pilkada. Sebanyak 88 persen responden menyatakan bersedia untuk mengikuti pilkada meski waktu penyelenggaraannya ditunda. Hal ini menjadi modal sosial bagi penyelenggaraan pilkada yang berkualitas, khususnya dari sisi partisipasi pemilih.
Penundaan Pilkada
Kesepakatan penundaan Pilkada 2020 semula dicapai dalam rapat dengar pendapat (RDP) di antara Komisi II DPR, perwakilan pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 30 Maret 2020. Terdapat tiga opsi yang diajukan KPU terkait pemungutan suara dalam pilkada. Opsi pertama ialah pemungutan suara dilakukan pada 9 Desember 2020. Opsi kedua, pemungutan suara dilaksanakan 17 Maret 2021, sementara opsi ketiga, pemungutan suara berlangsung pada 29 September 2021.
Jajak pendapat Kompas berikutnya, periode 22–24 April 2020, mengungkapkan, sebanyak 69,2 persen responden memilih pilkada dilaksanakan pada 2021. Dari angka persentase tersebut, sebanyak 32,3 persen memilih pilkada diselenggarakan pada 17 Maret 2021, dan 36,9 persen dilaksanakan pada 29 September 2021. Hanya 16,9 yang memilih agar pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020.
Kecenderungan pilihan responden jajak pendapat Kompas tersebut boleh jadi tak terlepas dari kecemasan yang masih menghinggapi warga. Sejumlah analisis menyebutkan, wabah bisa berlangsung sampai enam bulan, akhir tahun, bahkan hingga setahun ke depan belum bisa dipastikan penyebaran virus korona di Indonesia akan terkendali.
Sebanyak 69,2 persen responden memilih pilkada dilaksanakan pada 2021.
Periode jajak pendapat pada akhir Maret dan April tersebut dilaksanakan sebelum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 terkait pilkada serentak 2020 ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2020. Setelah Perppu itu terbit, Kompas kembali melakukan jajak pendapat pada 4-5 Juni 2020. Hasilnya, 66 persen responden berharap pilkada digelar tahun depan. Sebaliknya, 29,8 persen menyatakan pilkada bisa dilangsungkan tahun ini.
Tanggapan dan reaksi yang muncul bukannya tanpa sebab. Publik khawatir, jika pilkada tetap dilaksanakan, hal itu akan berdampak pada semakin banyaknya kasus positif Covid-19. Apalagi, jumlah kasus positif Covid-19 masih terus bertambah.
Kasus Covid-19
Pada 9 Juni 2020, terjadi penambahan 1.043 kasus positif Covid-19. Provinsi DKI Jakarta kembali mengalami penambahan kasus terbanyak, yakni 232 kasus baru. Sebelumnya, dalam beberapa hari terakhir, Provinsi Jawa Timur mengalami lonjakan kasus baru. Pada 9 Juni, ada 220 kasus baru di Jatim. Jika pilkada dilaksanakan di tengah situasi pandemi yang tak menentu, pelaksanaannya di Jawa Timur sangat riskan.
Di Jawa Timur, ada 16 pilkada bupati dan wakil bupati meliputi Kabupaten Ngawi, Jember, Lamongan, Ponorogo, Blitar, Situbondo, Kediri, Sumenep, Gresik, Malang, Mojokerto, Pacitan, Trenggalek, Sidoarjo, Tuban, dan Banyuwangi. Pilkada di Jawa Timur juga akan menggelar pemilihan wali kota dan wakil wali kota di Kota Surabaya, Blitar, serta Pasuruan.
Sementara itu, kondisi pandemi Covid-19 di Surabaya masih mengkhawatirkan. Sampai dengan 9 Juni 2020, tercatat 3.360 kasus kumulatif positif atau naik 7,6 persen dibandingkan dengan hari sebelumnya. Di kota ini, tercatat pula 296 pasien meninggal akibat Covid-19 atau naik 1 persen ketimbang hari sebelumnya. Jumlah kasus meninggal di Surabaya ini setara dengan 57,6 persen dari seluruh kasus meninggal di Jawa Timur, yakni 514 kasus meninggal.
Kalimantan Selatan yang akan melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur dengan jumlah pemilih yang tersebar di semua kabupaten dan kota memiliki problem yang hampir sama. Jumlah kasus Covid-19 cenderung bertambah. Hingga 9 Juni 2020, terdapat akumulasi 1.438 kasus positif Covid-19 dengan 104 pasien di antaranya meninggal.
Hal serupa terjadi di Sulawesi Selatan. Per 9 Juni 2020, terdapat 180 kasus baru sehingga total ada 2.194 kasus positif dengan 97 pasien meninggal. Sulsel akan melaksanakan 11 pilkada di Kabupaten Barru, Gowa, Maros, Soppeng, Luwu Timur, Pangkajene Kepulauan, Luwu Utara, Bulukumba, Tana Toraja, Kepulauan Selayar, dan Toraja Utara. Selain itu, ada pemilihan wali kota dan wakil wali kota di Kota Makassar.
Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat juga akan melaksanakan pilkada. Sejak awal pandemi, dua provinsi mencatat kasus yang tergolong tinggi. Di Jabar, misalnya, meskipun ada kecenderungan penurunan jumlah kasus, kedekatan wilayah itu dengan Jakarta (episenter kasus Covid-19) tetap harus diwaspadai. Adapun Jateng, sebagai perlintasan perjalanan darat dari Jatim ke arah Jakarta dan Jabar atau sebaliknya, juga harus siap siaga.
Di Jabar dan Jateng, ada penambahan kasus sebanyak 25 dan 32 kasus pada 9 Juni. Akumulasi kasus di Jabar sebanyak 2.448 kasus, sementara Jateng 1.674 kasus. Jumlah kematian di Jabar 161 kasus, sedangkan Jateng 103 kasus.
Jateng akan melaksanakan pilkada di 17 kabupaten, meliputi Pekalongan, Semarang, Kebumen, Rembang, Purbalingga, Boyolali, Blora, Kendal, Sukoharjo, Wonosobo, Wonogiri, Purworejo, Sragen, Klaten, Pemalang, Grobogan, dan Demak. Ada pula pilkada wali kota di Pekalongan, Semarang, Magelang, dan Surakarta.
Adapun Jawa Barat akan menyelenggarakan pilkada di tujuh kabupaten, yaitu Sukabumi, Bandung, Indramayu, Cianjur, Tasikmalaya, Karawang, dan Pangandaran. Ditambah pemilihan wali kota di Kota Depok.
Pilkada serentak gubernur dan wakil gubernur akan diselenggarakan di 9 provinsi, sementara pilkada kabupaten diselenggarakan di 224 kabupaten, dan pilkada wali kota di 37 kota. Kesembilan provinsi yang menggelar pilkada adalah Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, termasuk wilayah yang terdampak Covid-19. Pilkada tersebut akan menggelar TPS di semua kabupaten dan kota di provinsi setempat.
Kekhawatiran
Jajak pendapat Kompas awal Juni mengungkapkan kekhawatiran yang tak hanya berkaitan dengan kesehatan penyelenggara, petugas, dan calon pemilih, tetapi juga dari sisi kualitas pilkada yang dihasilkan. Sebanyak 66,7 persen responden khawatir jika penyelenggaraan pilkada dilakukan di tengah pandemi Covid-19 dengan alasan takut tertular Covid-19 saat ikut dalam tahapan pilkada. Sebagian besar responden (77,3 persen) menilai pilkada di tengah pandemi akan berdampak pada kualitas yang dihasilkan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengingatkan bahwa pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 tidak rasional. Komnas HAM menegaskan, pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 sangat berisiko, baik dari aspek kualitas pilkada maupun keselamatan masyarakat.
Mereka meminta pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu agar pilkada di 270 daerah dilaksanakan tahun depan. Saat ini kondisi psikologis dan ekonomi masyarakat sedang tidak dalam situasi normal. Akibatnya, kampanye dari peserta pilkada tak dilihat secara rasional. Komnas HAM mengkhawatirkan fenomena jatuhnya korban jiwa seperti pada Pemilu 2019 akan terulang. Alasannya, sejumlah tahapan akan melibatkan interaksi banyak orang (Kompas, 16 Mei 2020).
Penyelenggara pilkada harus belajar dari kasus Pemilu 2019 yang merenggut nyawa 894 petugas dan 11.239 petugas mengalami sakit.
Kini, bola berada di tangan pemerintah, KPU, dan Bawaslu. (Litbang Kompas)