Kesiapan Indonesia Jalani Normal Baru
Pemerintah seharusnya tak perlu terburu-buru mengambil langkah pelonggaran. Kalaupun pelonggaran ditempuh, harus diikuti dengan ketegasan menegakkan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19.
Penerapan normal baru sebagai bentuk berdamai dengan Covid-19 harus memenuhi berbagai persyaratan epidemiologi dan kesiapan yang matang. Pengurangan pembatasan sosial di sejumlah daerah dinilai telah dilakukan terburu-buru karena daerah belum layak untuk menerapkan normal baru.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, virus korona tidak akan hilang meskipun pandemi Covid-19 akan mereda yang ditandai penurunan kasus positif. WHO juga menyarankan negara-negara terpapar Covid-19 untuk memulai tatanan hidup baru atau new normal dengan tetap mempertimbangkan aspek epidemiologi dan protokol kesehatan.
Bersamaan dengan itu, WHO menekankan bahwa normal baru dapat diberlakukan dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Rambu-rambu itu diberikan oleh WHO agar negara terdampak Covid-19 yang menerapkan tatanan hidup baru dapat memperhitungkan keuntungan serta risiko sebelum melonggarkan karantina.
Setidaknya ada enam persyaratan yang ditekankan oleh WHO dalam penerapan normal baru. Syarat-syarat itu, antara lain, keberhasilan mengendalikan transmisi virus. Selain itu, ada kapasitas yang memadai untuk menangani Covid-19, mulai dari fasilitas kesehatan hingga kemampuan mendeteksi dan menguji Covid-19. Kemampuan meminimalkan risiko penyebaran di tempat-tempat berisiko tinggi juga harus diperhatikan.
Penerapan normal baru wajib memberlakukan protokol pencegahan Covid-19, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan di ruang-ruang publik. Selain itu, negara harus mampu mengelola dan mencegah terjadinya risiko kasus impor. Hal terakhir yang tak kalah penting ialah pelibatan masyarakat dalam penerapan tatanan baru.
Penerapan normal baru wajib memberlakukan protokol pencegahan Covid-19, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan di ruang-ruang publik.
Rekomendasi dari WHO tersebut disambut baik oleh negara-negara terdampak Covid-19, tak terkecuali Indonesia. Tidak berselang lama, Pemerintah Indonesia pun berencana menerapkan pengurangan pembatasan untuk menuju normal baru di sejumlah wilayah.
Pertengahan Mei lalu, melalui pernyataan resmi di Istana Negara, Presiden Joko Widodo mengatakan, masyarakat harus dapat hidup berdampingan dan berdamai dengan Covid-19. Pemerintah menilai hal tersebut penting dilakukan agar pukulan pandemi terhadap kehidupan sosial ekonomi tak memburuk.
Penerapan di daerah
Ketatnya persyaratan penerapan normal baru begitu penting untuk mengukur seberapa layak pelonggaran pembatasan sosial dapat dilakukan. Jika kalkulasi keputusan untuk melonggarkan pembatasan tak tepat, penerapan normal baru justru akan sangat berisiko memperluas penyebaran virus.
Kendati demikian, kurang dari dua minggu setelah mengumumkan perihal hidup damai berdampingan dengan Covid-19, pemerintah mendengungkan kesiapan sejumlah daerah untuk melaksanakan normal baru. Tanggal 26 Mei 2020, saat meninjau persiapan normal baru di sebuah mal di Bekasi, Presiden menyatakan, setidaknya ada 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota telah siap menerapkan normal baru.
Pemerintah menegaskan akan menurunkan personel TNI dan Polri untuk membantu masyarakat dalam penerapan tatanan baru tersebut. Menurut Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, tidak kurang dari 340.000 anggota TNI dan Polri akan disiagakan di wilayah-wilayah tersebut.
Keempat provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Gorontalo. Adapun 25 kabupaten/kota lainnya tersebar di beberapa wilayah. Tak lama berselang, pada akhir Mei, pemerintah mengumumkan terdapat setidaknya 102 kabupaten dan kota yang diijinkan menerapkan normal baru. Pemerintah menilai, keseluruhan daerah itu telah berada dalam kondisi cukup aman dengan peningkatan kasus yang cenderung turun.
Meskipun begitu, penilaian kesiapan daerah tersebut patut dipertanyakan. Penurunan kasus positif yang dimaksud belum sepenuhnya konsisten dan berada dalam jangka waktu setidaknya 14 hari. Selain itu, pembatasan di sejumlah wilayah yang masih mengalami peningkatan kasus cukup signifikan justru terkesan dipaksakan untuk dilonggarkan.
Meskipun begitu, penilaian kesiapan daerah tersebut patut dipertanyakan.
DKI Jakarta, misalnya, memilih untuk memperpanjang masa PSBB dengan pertimbangan tren penambahan kasus belum mereda. Namun, pemprov juga menekankan bahwa perpanjangan PSBB selama Juni menjadi masa transisi guna menghadapi normal baru.
Sejumlah pelonggaran pembatasan pun dilakukan dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Di sisi lain, sebagai upaya untuk tetap menekan penyebaran virus, diberlakukan pembatasan sosial berskala lokal, terutama di 66 RW yang masih tergolong zona merah.
Sebagian daerah di Jawa Timur, provinsi yang dalam beberapa waktu terakhir mengalami peningkatan kasus positif cukup tinggi, bahkan tak ragu melaksanakan normal baru. Daerah tersebut, antara lain, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Gresik.
Masa PSBB di Kota Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik disepakati berakhir 8 Juni. Keputusan tersebut diambil dalam rapat evaluasi PSBB yang dihadiri para kepala daerah terkait dan Gubernur Jawa Timur.
Dengan berakhirnya masa pembatasan sosial, ketiga wilayah memasuki masa transisi menuju normal baru. Aktivitas masyarakat mulai bergeliat. Di Surabaya, misalnya, aktivitas perdagangan mulai ramai dan sejumlah ruas jalanan kembali dipadati kendaraan. Sebelumnya, pada akhir Mei, tiga daerah di Malang Raya, yaitu Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu, juga memasuki masa transisi normal baru.
Kesiapan
Para ahli epidemiologi sebetulnya menyarankan pemerintah tak terlalu terburu-buru mengambil langkah pelonggaran. Pertimbangan berdasarkan kajian ilmiah yang matang harus menjadi dasar pengambilan keputusan menuju pemberlakuan kelaziman baru.
Sementara itu, peningkatan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 secara keseluruhan di Indonesia belum menunjukkan penurunan. Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tanggal 10 Juni 2020 memperlihatkan, peningkatan mencapai tidak kurang dari 1.241 kasus positif. Jawa Timur menjadi provinsi penyumbang terbesar dengan tambahan 273 kasus positif.
Gugus tugas menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi setelah dilakukan tracing yang lebih agresif terhadap pasien positif Covid-19. Kebanyakan penelusuran bahkan dilakukan dari berbagai kasus rujukan di puskesmas dan fasilitas kesehatan nonrumah sakit rujukan.
Melihat peningkatan kasus tersebut, secara umum, pengendalian transmisi Covid-19 sebagaimana yang disyaratkan oleh WHO sebetulnya belum terpenuhi. Salah satunya, sebuah daerah dapat dikategorikan aman jika penurunan kasus postiif Covid-19 terjadi secara konsisten minimal 14 hari atau bahkan satu bulan.
Dalam perhitungan epidemiologi, penurunan itu diartikan bahwa angka reproduksi virus, biasa dilambangkan dengan huruf R, kurang dari 1. Dengan kata lain, tak terdapat lagi penularan dari orang yang positif Covid-19.
Pengendalian transmisi Covid-19 sebagaimana yang disyaratkan oleh WHO sebetulnya belum terpenuhi.
Sebuah laman big data The Bonza melakukan analisis statistik dan membuat pemodelan angka reproduksi virus di setiap provinsi di Indonesia. Dari data tersebut, tercatat nilai reproduksi setelah intervensi pemerintah, atau biasa disimbolkan dengan Rt, di 21 provinsi masih berada di atas 1. Hal ini berarti risiko penyebaran virus masih sangat tinggi dan cepat.
Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan angka reproduksi tertinggi (1,59). Sementara itu, dari empat provinsi yang diizinkan untuk melakukan normal baru, hanya Jawa Barat yang memiliki kondisi nilai reproduksinya kurang dari 1, yaitu 0,95.
Hal lain yang juga tak kalah penting sebelum penerapan normal baru adalah upaya pemeriksaan secara masif. Saat ini pemeriksaan Covid-19 belum sepenuhnya dilakukan dengan masif dan merata di tiap-tiap daerah.
Perlengkapan medis tes Covid-19 yang belum memadai hingga persoalan pendistribusian masih menghambat pemberlakukan tes massal. Pekerjaan rumah untuk melakukan edukasi dan melibatkan masyarakat secara langsung juga tak kalah berat. Konsep normal baru dengan berbagai istilah turunannya, serta pelaksanaan berbagai kebijakan pelonggaran kerap membingungkan publik.
Pengurangan pembatasan dan peralihan ke masa normal baru di sejumlah daerah telah dimulai. Kebijakan tersebut tentu memerlukan sinergi antar-pemerintah dan ketegasan guna memastikan segala persyaratan dan prosedur terpenuhi sesuai ketentuan. Jika sudah begitu, daerah akan benar-benar siap untuk berdampingan dengan Covid-19. (LITBANG KOMPAS)