Mengenali Karakter Hoaks Covid-19
Hoaks atau informasi bohong mudah dikenali dengan beberapa parameter. Jika masyarakat jeli, ada enam karakter hoaks yang bisa membantu untuk mengenali sekaligus menghindari dari paparan hoaks.
Hoaks atau informasi bohong mudah dikenali dengan beberapa parameter. Jika masyarakat jeli, karakter informasi yang diterima melalui media sosial apakah termasuk hoaks atau bukan bisa dilihat dari pilihan kata atau diksi, susunan kalimat, obyek foto atau video, sasaran, motif, dan lokasi.
Kasus isu hoaks Covid-19 mencapai puncaknya pada Maret-April 2020. Pada awal-awal pandemi virus korona bulan Maret tercatat 266 kasus hoaks bertebaran di berbagai platform media sosial. Sementara pada April tercatat 219 kasus hoaks. Memasuki Mei-Juni terjadi penurunan jumlah kasus isu hoaks.
Penurunan ini bisa jadi terkait dengan semakin banyaknya tersangka yang ditetapkan Kepolisian Negara RI. Melalui kegiatan patroli siber sejak 19 Maret-19 Mei 2020 telah dilakukan kegiatan patroli siber sebanyak 9.062 kegiatan, take down akun dan penindakan 105, dan dilakukan penetapan 107 orang sebagai tersangka (Kompas, 20/5/2020).
Hasil analisis isi Litbang Kompas terhadap 846 kasus isu hoaks yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 13 Juni 2020 menggambarkan pola dan karakter isu hoaks. Terdapat 16 pola tema isu hoaks yang diklasifikasikan oleh Litbang Kompas.
Pola tema ini konsisten muncul seiring perkembangan kasus dan penanganan Covid-19 serta kebijakan yang diambil pemerintah. Ke-16 tema itu ialah dampak Covid-19, penularan Covid-19, pejabat terkait Covid-19, penanganan Covid-19, sebaran Covid-19, pasien Covid-19, korban meninggal Covid-19, terkait isu agama serta Ramadhan, obat Covid-19, lockdown, PSBB-larangan mudik, tenaga medis, penyebab Covid-19, kepanikan masyarakat, bantuan sosial, dan kriminalitas terkait Covid-19.
Selama pandemi Covid-19, penggunaan media sosial di Indonesia semakin meningkat, terutama digunakan untuk mencari berbagai informasi terkait dengan penyakit yang disebabkan virus korona tersebut. Namun, saat bersamaan, masih banyak beredar berita bohong atau hoaks yang menyesatkan. Karena itu, diperlukan gerakan bersama untuk membangun media sosial yang sehat bagi publik.
Sesuai data Globalwebindex yang dipublikasikan pada Januari 2020, terdapat 160 juta pengguna aktif medsos di Indonesia. Mereka bagian dari 175,4 juta pengguna internet dari 272,1 juta penduduk di negeri ini. (Kompas, 11/6/2020)
Youtube merupakan media sosial yang paling banyak digunakan dengan 140,8 juta pengguna. Medsos yang digunakan terbanyak selanjutnya ialah Whatsapp (134,4 juta pengguna), Facebook (131,2 juta), Instagram (126,4 juta), Twitter (89,6 juta), Line (80 juta), Facebook Messenger (80 juta), Linkedin (56 juta), Pinterest (54,4 juta), dan Wechat (46,4 juta orang).
Penelitian Dewan Pers pada November 2019 menunjukkan, hampir 70 persen rakyat Indonesia mengandalkan informasi dari media sosial. Media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter, serta media percakapan warga, seperti Whatsapp dan Line, menjadi saluran penyebaran hoaks.
Karakter hoaks
Riset analisis isi Litbang Kompas menemukan sejumlah karakter hoaks atau informasi bohong. Pertama, pilihan diksi atau kata yang dimuat dalam informasi hoaks mengandung kata yang memancing kecemasan, permusuhan, dan kebencian pada masyarakat yang terpapar isu hoaks.
Kata yang diunggah dan dinarasikan akan memancing perdebatan. Dampaknya, orang yang terpapar hoaks atau disinformasi akan terbelah pendapatnya. Jika tidak dewasa menyikapi konten informasinya, bukan tidak mungkin akan memunculkan sikap saling benci dan dampaknya permusuhan.
Sebagai contoh, judul dan pengantarnya provokatif, memberikan penghakiman bahkan penghukuman, tetapi menyembunyikan fakta dan data. Kata yang sering dipakai misalnya ”Breaking News”.
Pilihan kata ini untuk menarik perhatian pembaca, tetapi sering kali sumber informasinya tidak jelas. Artinya, pembuat narasi hoaks ingin agar informasi ini segera disebarkan. Tujuannya pembaca terpancing judul tanpa membuka dan membaca isi berita secara keseluruhan.
Kata-kata kerja imperatif yang acap kali muncul misalnya ”share”, ”bagikan”, ”like”, ”sebarkan”, dan kata yang digunakan untuk menyatakan ”ketakjuban” seperti ”aneh”, ”heboh”, ”wow”, ”astaga” lazim digunakan pada narasi hoaks.
Selain itu, terdapat penggunaan kata-kata pedas untuk menyakiti orang lain. Cemooh atau ejekan kasar juga menjadi variasi ungkapan yang sering dimuat pada berita hoaks.
Bahasa-bahasa sarkasme atau yang lebih terkenal dengan hate speech biasanya diusung oleh partisan-partisan yang fanatik terhadap golongan tertentu. Tujuan pemberitaan hoaks model seperti ini harapannya dapat menjatuhkan pihak lawan, khususnya terkait isu Covid-19 dikaitkan dengan isu-isu politik.
Kedua, susunan kalimat cenderung tidak terstruktur dengan baik. Pembuat hoaks acap kali membuat kalimat yang hiperbola dan bombastis. Susunan kalimat atau bahasa bersifat sering kali sangat vulgar dan sarkastis.
Karena hoaks pada dasarnya bukan diproduksi oleh orang yang berkompetensi di bidang jurnalistik, bahasa yang digunakan pun jauh dari kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku. Bahasa yang digunakan pada umumnya menggunakan kata-kata yang tidak baku, percampuran huruf kapital dan huruf kecil pada beberapa kalimat, penyingkatan beberapa kata, serta susunan kalimat yang tidak gramatikal.
Sebagai contoh narasi hoaks dengan tata kalimat dan bahasa yang nirbaku beredar 3 Juni 2020 sebagai berikut. ”Perhatian perhatian. Sekarang malesiya makin darurat. Buat TKI/TKW yg ada di malesiya. TERMAKSUD... Org tua kalin, pacar, saudara, atau tetanganya. Harap berhati-hati. Sekarang malesiya sapu habis penduduk asing”.
Ketiga, penggunaan obyek foto atau video. Jika pembaca cermat, maka akan tampak ”keanehan” antara rentang waktu dan kondisi saat ini. Sebagai contoh: ”Vladimir Putin Menurunkan 800 Harimau dan Singa agar Warga Tinggal di Rumah” (hoaks yang beredar 22/3/2020). Setelah ditelusuri, foto tersebut adalah foto seekor singa yang berjalan di jalanan Braamfontein kota Johannesburg, Afrika Selatan, pada 11 April 2016.
Keempat, sasaran hoaks sangat beragam. Pejabat publik hingga hari ini masih menjadi sasaran hoaks terkait Covid-19. Sebagai contoh, pada 3 Juni 2020 beredar sebuah video yang memperlihatkan sejumlah mahasiswa melakukan unjuk rasa menuntut Presiden Joko Widodo mundur di tengah pandemi Covid-19.
Setelah ditelusuri, video tersebut merupakan peristiwa ketika gelombang demonstrasi mahasiswa di sejumlah wilayah di Indonesia pada September 2019 menjelang disahkannya RUU KPK menjadi UU KPK dan pelantikan anggota DPR periode 2019-2024.
Kelima, motif penyebaran hoaks adalah untuk menciptakan kecemasan di masyarakat. Beberapa tersangka pelaku penyebaran hoaks ketika diinterogasi polisi menyatakan hanya iseng atau untuk bercanda saja membuat narasi hoaks.
Namun, keisengan tersebut justru berbuntut panjang karena berpotensi dijerat dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE dan UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan hukuman hingga 2-10 tahun penjara.
Keenam, lokasi yang disebutkan pada informasi hoaks sangat beragam. Terkait dengan isu pandemi korona, lokasi yang disebutkan dalam narasi hoaks mulai dari rumah sakit, mal, pasar, pertokoan, perkantoran, ruas jalan raya, tempat wisata, perkampungan, kabupaten atau kota, hingga tempat ibadah. Intinya menciptakan kecemasan atau bahkan sebaliknya menyatakan tempat tersebut aman dari pandemi korona.
Hoaks terkait pandemi Covid-19 tampaknya masih saja akan berseliweran di kanal-kanal media sosial. Dibutuhkan literasi media digital sebagai salah satu agenda penting dalam pembangunan manusia.
Tujuannya agar masyarakat dapat lebih bijaksana dalam mengonsumsi dan memproduksi informasi di dunia digital. Ketika tingkat literasi meningkat, harapannya akan tercipta masyarakat yang lebih beradab, santun, dan bermanfaat. (LITBANG KOMPAS)