Pemenuhan standar normal baru di Indonesia masih menghadapi tantangan. Pengawasan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat di tengah pandemi saat ini harus diterapkan secara ketat agar tidak menjadi problem baru pandemi.
Oleh
Yoesep Budianto
·5 menit baca
Sejak 30 Mei 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengakselerasi tahapan Indonesia produktif dan aman Covid-19. Dalam praktiknya, terdapat tiga tantangan mewujudkan tahapan itu, yaitu penambahan jumlah kasus baru, jangkauan tes massal, serta masyarakat yang kurang siap menjalani fase normal baru.
Setelah sekitar tiga bulan Indonesia menghadapi pandemi Covid-19, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memutuskan untuk memulai tahapan Indonesia produktif dan aman Covid-19. Tahapan itu tak lain adalah langkah masuk ke era normal baru yang diawali dengan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Dalam menentukan suatu daerah dapat kembali melaksanakan aktivitas ekonomi yang produktif dan aman, gugus tugas menggunakan 11 indikator epidemiologi, surveilans kesehatan masyarakat, dan pelayanan kesehatan sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Salah satu syarat suatu daerah dapat kembali melaksanakan aktivitas ekonomi yang produktif dan aman adalah penurunan jumlah kasus selama dua minggu sejak puncak terakhirnya. Target penurunannya lebih dari 50 persen untuk setiap wilayah.
Tak berselang lama setelah muncul wacana normal baru, Indonesia dihadapkan pada kenaikan drastis kasus positif Covid-19.
Penerapan tahapan Indonesia produktif dan aman Covid-19 dalam praktiknya mendapat ujian dari tiga aspek. Ketiga aspek itu adalah penambahan jumlah kasus baru, jangkauan tes massal, serta kurang siapnya masyarakat menjalani fase normal baru.
Pertama adalah penambahan kasus baru Covid-19. Pelonggaran PSBB berimplikasi besar pada intensitas aktivitas masyarakat yang berasosiasi terhadap risiko infeksi yang makin tinggi. Tak berselang lama setelah muncul wacana normal baru, Indonesia dihadapkan pada kenaikan drastis kasus positif Covid-19, yaitu lebih dari 1.000 kasus dalam satu hari di awal Juni 2020.
Padahal, salah satu syarat dalam perencanaan kebijakan di tengah pandemi adalah penentuan risiko kesehatan masyarakat. Syarat yang jadi bagian dari aspek epidemiologi itu terdiri atas 10 parameter, mulai dari penurunan jumlah kasus positif selama dua minggu terakhir hingga angka kematian per 100.000 penduduk.
Sebagai tambahan, Indonesia menggunakan syarat nilai Rt atau angka reproduksi efektif kurang dari 1. Nilai Rt kurang dari 1 menunjukkan, laju infeksi seorang individu yang terbatas hanya bisa menginfeksi satu orang.
Penambahan kasus masih terus terjadi tanpa ada tanda-tanda penurunan infeksi. Bahkan, setelah sejumlah daerah menerapkan PSBB, penambahan kasus baru terus terjadi hingga mencapai 1.240 kasus per hari pada 10 Juni 2020.
Hingga 15 Juni 2020, telah ada 39.294 kasus positif Covid-19 dengan 2.198 kematian. Sementara pasien yang sembuh sebanyak 15.123 orang. Empat provinsi dengan penambahan kasus positif terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Di bawah standar
Urgensi kedua terkait jangkauan tes massal. Khusus di wilayah Jawa, standar tes 1 per 1.000 populasi per minggu seperti yang menjadi standar WHO hanya tercapai di DKI Jakarta. Sementara laju penambahan angka positif seluruh wilayah masih melebihi standar WHO yang besarnya maksimal 5 persen.
Dari enam provinsi di Pulau Jawa, kondisi paling mengkhawatirkan terjadi di Jawa Timur. Dengan jumlah tes hanya mencakup 6.755 spesimen pada 25 Mei hingga 7 Juni 2020, angka positif menunjukkan laju hingga 30,9 persen.
Selain kasus positif yang masih naik, Indonesia juga menghadapi permasalahan durasi tes dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR). WHO mensyaratkan durasi 24-48 jam untuk hasil tes PCR. Sementara Indonesia masih harus menunggu hingga satu minggu. Kondisi ini dikhawatirkan membuat kasus baru Covid-19 makin sulit dilacak.
Indonesia masih menghadapi kendala ketersediaan ruang perawatan dan ventilator.
Dalam penggunaan istilah, Indonesia memiliki tiga kategori utama, yaitu orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan positif. Sebagai tambahan, ada istilah orang tanpa gejala (OTG). WHO menetapkan, setidaknya 80 persen orang yang kontak dengan pasien positif harus dilacak dan segera dikarantina selama 14 hari.
Selain itu, pelacakan kasus juga menjadi evaluasi layanan kesehatan bagi pasien positif Covid-19. Indonesia masih menghadapi kendala ketersediaan ruang perawatan dan ventilator.
Selain penambahan kasus baru dan minimnya tes massal, tantangan ketiga dalam penerapan tahapan Indonesia produktif dan aman Covid-19 adalah kesiapan masyarakat menjalani ketentuan normal baru. Kesiapan ini, antara lain, dapat dilihat dari tingkat pemahaman warga terkait Covid-19.
Untuk melihat tingkat pemahaman warga, kelompok Laporcovid19 dan Social Resilience Laboratorium Nanyang Technological University, Singapura, melakukan survei persepsi risiko Covid-19 di kalangan warga DKI Jakarta. Tujuannya, untuk mengetahui tingkat pemahaman, pengetahuan, serta perilaku masyarakat terkait Covid-19.
Survei ini mencakup aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi masyarakat Ibu Kota. Indeks ini terdiri atas lima tingkat, yaitu level 1 (bahaya), level 2 (tidak siap), level 3 (kurang siap), level 4 (agak siap), dan level 5 (siap). Survei dilakukan terhadap 3.079 responden di seluruh DKI Jakarta dengan metode pengumpulan data quota sampling dan variabel penduduk per kelurahan.
Dari data skor Risk Perception Index (RP) atau kesiapan menuju tahapan normal baru, warga DKI Jakarta dinilai sudah merasa cukup memiliki informasi dan pengetahuan tentang bahaya Covid-19. Namun, untuk memasuki fase normal baru, hasil riset menemukan, warga belum terlalu siap.
Indeks persepsi risiko warga Ibu Kota yang berada di angka 3,46 hingga termasuk dalam kategori antara kurang siap dan agak siap untuk memasuki fase normal baru. Dari empat temuan utama dalam riset ini, hanya satu poin yang menjadi modal sosial warga DKI Jakarta memasuki fase normal baru. Modal itu terlihat dari aspek masyarakat yang memiliki kecenderungan kuat untuk melindungi diri.
Namun, modal tersebut kurang didukung aspek lain, yaitu penguatan informasi serta kondisi ekonomi dan sosial warga. Pada aspek pengetahuan terlihat, meskipun tingkat pengetahuan responden tentang wabah cukup baik, masyarakat masih membutuhkan penguatan informasi dari sumber tepercaya.
Faktor berikutnya adalah lemahnya kondisi sosial dan ekonomi akibat pandemi yang turut memengaruhi rendahnya persepsi risiko terhadap Covid-19. Terakhir, terkait kesiapan, warga DKI Jakarta masih jauh dari siap sehingga jaminan keselamatan masih harus terus ditingkatkan.
Temuan tersebut tergambar dari nilai indeks tiap variabel. Dari enam variabel, tiga di antaranya termasuk kategori rendah atau tidak siap hingga kurang siap, yaitu ekonomi (2,93), persepsi risiko (3,01), dan modal sosial (3,34).
Berdasarkan semua temuan di atas, masyarakat DKI Jakarta yang dinilai memiliki pengetahuan dan wawasan cukup serta kecenderungan kuat untuk berhati-hati ternyata belum siap memasuki fase normal baru.
Melihat fenomena yang ada saat ini, pemenuhan standar normal baru di Indonesia masih menghadapi tantangan. Pengawasan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat di tengah pandemi saat ini harus diterapkan secara ketat agar tidak menjadi problem baru pandemi. (LITBANG KOMPAS)