Alarm Perlambatan Ekonomi di Normal Baru
Indonesia memasuki tahapan normal baru dengan kondisi ekonomi yang sulit. Ekonomi dapat kembali tertekan jika muncul kluster-kluster baru penularan Covid-19.
Penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia memasuki tahapan normal baru yang ditandai dengan pelonggaran pembatasan sosial. Situasi ekonomi yang masih sulit dapat kembali tertekan dengan munculnya kluster-kluster baru penularan.
Indonesia memasuki tahapan normal baru dengan kondisi ekonomi yang sulit. Tantangan berat yang dihadapi perekonomian ini dapat dilihat dari tekanan terhadap APBN dan perlambatan pertumbuhan. Postur APBN 2020 mencatat beban selama pandemi Covid-19 yang terindikasi dari pendapatan negara yang melambat.
Realisasi pendapatan negara per Mei 2020 ialah Rp 664,3 triliun. Adapun penerimaan pajak per Mei 2020 sebesar Rp 444,6 triliun. Penerimaan tersebut tumbuh minus 10,8 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Saat penerimaan negara menurun, pengeluaran negara justru membengkak akibat kebutuhan dana penanganan Covid-19.
Penerimaan tersebut tumbuh minus 10,8 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020. Belanja dialokasikan meningkat menjadi Rp 2.738,4 triliun dari sebelumnya Rp 2.613,8 triliun. Peningkatan belanja mencakup program-program pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19. Khusus bagi penanganan Covid-19, dialokasikan dana menjadi Rp 677,2 triliun. Alokasi ini terdiri dari belanja bidang kesehatan Rp 87,55 triliun dan pemulihan ekonomi yang mencapai Rp 589,65 triliun.
Beratnya beban ekonomi negara juga terlihat dari koreksi pendapatan negara dan peningkatan defisit anggaran negara. Perpres tersebut mengoreksi ulang penurunan pendapatan negara dari Rp 1.760,9 triliun menjadi Rp 1.669,1 triliun.
Penurunan dipicu berkurangnya penerimaan pajak dari Rp 1.462,6 triliun menjadi Rp 1.404,5 triliun. Demikian pula dengan defisit anggaran 2020 yang naik dari 5,07 persen menjadi 6,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan Rp 1.039 triliun.
Melambat
Situasi perekonomian yang sulit juga terlihat dari capaian pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat ekonomi nasional triwulan I-2020 terhadap triwulan I-2019 masih tumbuh 2,97 persen. Namun, mencermati trennya, kinerja ekonomi tersebut melambat dibandingkan dengan capaian triwulan I-2019 yang sebesar 5,07 persen.
Kondisi perekonomian pada triwulan II-2020 hampir dipastikan bakal lebih rendah dengan sejumlah angka perkiraan pertumbuhan ekonomi di sekitar nol persen, bahkan minus. Hal ini terjadi karena berbagai aktivitas ekonomi terhenti secara masif pada triwulan II-2020, termasuk pemutusan hubungan kerja jutaan buruh yang pada gilirannya mengurangi kemampuan konsumsi masyarakat.
Pandemi Covid-19 yang terus bereskalasi akan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kementerian Keuangan memprediksi pertumbuhan ekonomi 2020 berisiko turun menjadi 2,3 persen pada skenario berat dan minus 0,4 persen pada skenario sangat berat.
Kondisi normal baru menjadi harapan untuk menggerakkan roda perekonomian. Kementerian Keuangan memperkirakan ekonomi mulai pulih ketika memasuki 2021.
Namun, pembukaan aktivitas ekonomi secara terbatas dengan disertai protokol kesehatan ini tak berarti perekonomian segera naik. Pelonggaran tanpa disertai kedisiplinan masyarakat akan berpotensi melahirkan kluster-kluster baru. Hal itu dapat menurunkan kepercayaan konsumen, terlebih bagi kelas menengah atas yang menguasai 45,36 persen pengeluaran nasional.
Kementerian Keuangan memperkirakan ekonomi mulai pulih ketika memasuki 2021.
Konsumen di kelompok itu akan lebih berhati-hati dalam beraktivitas karena lebih peduli pada keselamatan serta biaya kesehatan. Risiko kemunculan kluster baru membuat masyarakat khawatir untuk berbelanja sehingga omzet penjualan tidak maksimal. Di sisi lain, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah kesulitan beradaptasi dengan normal baru karena beban biaya operasional protokol kesehatan berupa penyediaan hand sanitizer, masker, dan jaga jarak.
Saat ini, pembukaan pusat perbelanjaan hanya akan mendorong konsumsi secara terbatas. Akibatnya, konsumsi tidak optimal, sementara di sisi lain risiko penularan Covid-19 meningkat. Kondisi itu akan mengancam pemulihan ekonomi. Jika kondisi memburuk, bukan tak mungkin proyeksi target pemulihan kian bergeser.
Risiko ekonomi dan kesehatan
Ekonomi dan kesehatan menjadi pertaruhan dalam pola normal baru. Pelonggaran pembatasan sosial dapat memperparah kondisi. Terjadinya gelombang penularan kedua akan membuat tanggungan beban ekonomi kian berat.
Kebijakan pemerintah, seperti perubahan pola hidup pada situasi Covid-19, dinilai belum berjalan efektif. Pola normal baru dapat efektif jika jumlah kasus menurun dan masyarakat memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga kesehatan.
Namun, pemerintah agaknya juga menghadapi dilema saat masyarakat belum sepenuhnya memiliki kesadaran tinggi akan pandemi Covid-19, sedangkan perekonomian nasional harus segera diselamatkan. Lemahnya kesadaran masyarakat akan pelaksanaan protokol kesehatan terlihat pada berbagai kasus di pasar tradisional, pusat perbelanjaan (mal), dan kawasan wisata yang baru dibuka.
Pada gilirannya, pengusaha juga yang harus menanggung biaya dari risiko kesehatan dan ekonomi. Data Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) per 20 Juni 2020 menunjukkan sebanyak 138 pedagang positif tertular Covid-19 di 19 pasar tradisional Jakarta.
Kluster baru pada kegiatan ekonomi pada akhirnya juga akan membuat beban yang ditanggung pemerintah semakin berat. Pemerintah harus semakin lama menanggung kompensasi dan stimulus yang diberikan kepada masyarakat. Hal itu berdampak semakin tergerusnya sumber penerimaan negara untuk menangani dampak Covid-19.
Berlangsung lama
Defisit APBN 2020 diperkirakan meningkat menjadi 6,34 persen terhadap PDB. Pelebaran defisit di tengah penurunan pendapatan ini memerlukan sumber pembiayaan lain. Salah satunya berasal dari utang dengan menarik pinjaman luar negeri dan penerbitan surat berharga negara. Kebutuhan utang untuk membiayai defisit anggaran telah meningkat dari Rp 213,9 triliun menjadi Rp 1.220,3 triliun.
Rasio utang terhadap PDB diperkirakan meningkat menjadi 37 persen pada 2020. Peningkatan utang, khususnya utang valas, saat situasi pandemi meningkatkan risiko kemampuan membayar utang (debt to service ratio/DSR). DSR meningkat menjadi 27,6 persen pada kuartal I-2020.
Defisit APBN 2020 diperkirakan meningkat menjadi 6,34 persen terhadap PDB.
Kondisi ini membuat pemburukan ekonomi dapat berlangsung lama dan bahkan lebih dalam. Angka ketimpangan ekonomi dan kemiskinan semakin melebar disebabkan adanya penurunan daya beli masyarakat, terutama pada tingkat rumah tangga.
Penerapan normal baru tidak akan mengembalikan aktivitas ekonomi ke tingkat normal dalam waktu dekat. Bahkan, hal itu dapat membuat upaya pemulihan ekonomi berjalan lebih lambat daripada perkiraan. Kecepatan pemulihan ekonomi akan bergantung pada disiplin masyarakat, peningkatan fasilitas publik, serta stimulus ekonomi dalam menjaga daya beli dan mendukung dunia usaha.
(LITBANG KOMPAS)