Pamor Benyamin ”Kagak Ada Matinye”
Karisma dan pamor sang legenda Benyamin Suaeb hingga kini tidak pernah pudar alias ”kagak ada matinye”. Sosoknya menjadi legenda, tidak saja bagi masyarakat Betawi, tetapi juga masyarakat Indonesia.
”Abang, none, encang, encing, enyak, babe…. Nah, baeklah sebelum saya lemparkan baca surat-surat yang masuk, baeklah kita denger aja dulu sebuah lagu supaya suasana jadi gembira, ceria, nyok nyok nyok nyok...!”
Itulah sapaan penyiar Bens Radio kepada pendengar. Bens Radio adalah sebuah stasiun radio di Jakarta yang hingga hari ini masih mengudara dengan hampir semua progam siarannya bertema Betawi.
Dengan tagline ”Betawi Punye Gaye Selera Siape Aje” yang diusung oleh Bens Radio ini, terdapat kandungan makna mendalam. Sebuah keinginan yang mendalam dari sang maestro Benyamin Suaeb sebagai pendiri radio untuk tetap melestarikan warisan budaya Betawi dari masa lalu hingga kini.
Karisma serta pamor sang legenda Benyamin hingga kini tidak pernah pudar alias ”kagak ada matinye”. Hal tersebut diperkuat dengan temuan jajak pendapat Kompas periode 16-18 Juni 2020 yang mewawancarai 530 responden yang tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi. Dari hasil jajak pendapat tersebut, Benyamin Suaeb merupakan sosok seniman Betawi yang paling dikenal. Hal ini diungkap oleh separuh lebih responden (61,7 persen).
Tingginya popularitas Benyamin dibandingkan dengan seniman Betawi lainnya dinilai sangat wajar karena ia dikenal sebagai seniman lintas generasi. Benyamin dikenal dengan segudang mahakarya, mulai dari musik, film, komedi, hingga sinetron.
Pamornya di mata responden mengalahkan sejumlah seniman Betawi lainnya, seperti Mandra, H Bolot, Bokir, Rano Karno, Jaja Miharja, Malih, Pak Tile, dan Adi Bing Slamet.
Benyamin dilahirkan di Kampung Utan Panjang, Kemayoran Utara, Jakarta, pada 5 Maret 1939. Sosok Benyamin merupakan salah satu dari generasi Betawi asli penghuni Kemayoran yang memesona dalam peta perkembangan sandiwara, film, radio, dan musik.
Keluarga yang melahirkan Benyamin adalah keluarga khas Betawi yang sejak awal abad ke-20 menunjukkan penyesuaian diri pada perkembangan modernitas seni.
Sang ibu, Siti Aisyah, adalah putri seorang jagoan Betawi terkemuka dan kaya, yakni Rodiun atau dikenal sebagai Haji Ung. Sementara sang ayah adalah Sueb alias Sukirman merupakan keturunan dari Kromojoyo, seorang serdadu Belanda asal Purworejo.
Bakat seniman
Dalam buku Kompor Mbleduk Benyamin S (2007) disebutkan, Ben, sapaan Benyamin, lahir dengan delapan saudara, yakni Rohani, Mohamad Noer, Otto Soeprapto, Siti Rohayah, Moenadji, Roeslan, Saidi, dan terakhir Benyamin. Pada 1943, saat usianya baru menginjak 4 tahun, Benyamin diajak kakak-kakaknya membentuk grup musik.
Moenadji, kakaknya, memegang rebab terbuat dari kaleng bekas yang tengahnya ditusuk bambu dan diberi senar kawat telepon. Roeslan memainkan gendang dari tong bekas minyak, Saidi dengan instrumen kaleng, sementara Ben beraksi dengan kaleng bekas bensin. Lagu yang sering didendangkan di antaranya ”Bajang-bajang Bertali Sutra”, ”Jali-jali”, ”Pengantin Baru”, dan ”Goyang Kangkung”.
Memasuki usia 7 tahun, kebiasaan yang ditanamkan di keluarganya, Ben harus mencari sekolah yang diinginkan. ”Ibarat ban, digelindingan aje, nggak ada yang mengarahkan, lu mau ngejeglok di mana kek,” kata sang ibu kala itu.
Sekolah yang dimasukinya adalah Perguruan Tamansiswa di Jalan Garuda No 66, Jakarta Pusat. Pendidikan SMP ditempuh di SMP Perguruan Sosial Indonesia di Cikini, selanjutnya meneruskan di SMA Perguruan Tamansiswa Kemayoran, Jakarta.
Menjelang lulus SMA akhir dekade 1950-an, Ben bertemu musisi Kemayoran, seperti Rachmat Kartolo, A Rahman, dan Yahya. Pengalaman bermain gitar dan bongo secara otodidak serta bakat menyanyi menonjol menjadikan Ben semakin diterima di kalangan musisi kala itu.
Meski demikian, cita-cita menjadi penerbang masih kuat yang dibuktikan dengan mendaftarkan diri ke Angkatan Udara. Namun, ibunya tidak setuju: ”Entar lu jatoh!” Tak kesampaian jadi penerbang, Ben mendaftar kuliah di Akademi Manajemen Sawerigading, tetapi hanya dijalani selama dua semester.
Musik dan film
Ben mengawali karier bermusik sejak akhir 1950-an dengan bergabung bersama Melody Boys, yang dirintis Rachmat Kartolo, A Rahman, dan Yahya. Kelompok ini sering tampil di Yacht Club Sindang Laut di Tanjung Priok, Night Club Nusantara di Harmoni, dan Hotel Des Indes (pertokoan Duta Merlin) dengan bayaran hanya Rp 5.
Lagu yang dibawakan biasanya lagu Barat, seperti ”When I Fall in Love”, ”Blue Moon”, dan ”Unchained Melody”. Memasuki dunia rekaman, album pertama berisi lagu di antaranya ”Kisah Cinta” (ciptaan A Rahman), ”Panon Hideung” (ciptaan Benyamin), ”Nonton Bioskop” (Bing Slamet), dan ”Si Neneng” (ciptaan Benyamin).
Sepanjang kariernya di dunia musik, Benyamin telah memproduksi lebih dari 75 album. Selama di industri musik, perjalanan kariernya sejak 1958 hingga 1990, ia masih aktif menciptakan album solo, duet, lawak, dan kompilasi.
Selain itu, Ben juga sukses menjadi seorang bintang film dan sutradara. Benyamin menghasilkan 53 judul film. Bahkan, pada Festival Film Indonesia (FFI) 1973, film Intan Berduri yang dibintanginya bersama Rima Melati berhasil menyabet Piala Citra untuk kategori Pemeran Utama Pria dan Wanita Terbaik. Di dunia televisi, sinetron Si Doel Anak Sekolahan, yang disutradarai Rano Karno dan diputar di RCTI, sangat booming beberapa tahun sejak 1994 hingga 2002.
Bens Radio
Setelah Benyamin Suaeb meninggal pada 5 September 1995, masyarakat seni Indonesia merasa kehilangan sosok yang sanggup mengangkat Betawi dari seni lokal ke kancah global.
Warisan lagu-lagunya masih kerap diputar di stasiun radio yang didirikan Benyamin, yakni Bens Radio, yang mengudara di frekuensi 106,2 FM di Jakarta. Namun, radio ini juga bisa disimak secara streaming untuk menggaungkan warisan budaya Betawi hingga ke mancanegara.
Benyamin menginginkan, sebagai salah satu warisan yang masih bertahan di era modern, radio ini memiliki nilai-nilai humor khas Betawi, serius tapi santai, religius, dan memberi peluang bagi masyarakat Betawi untuk berkembang lebih jauh.
Hingga saat ini konsep Bens Radio belum berubah, yaitu menanamkan pelestarian budaya Betawi melalui pendekatan media. Cita-cita yang diusung almarhum Benyamin Suaeb membawa ”Budaya Lokal yang Berwibawa Global” tidak sulit diraih asalkan masyarakat tetap mencintai produk seni dalam negeri.
”Kepiting mencapit kerang…. Kerang dicapit ke lubang batu…. Pasang kuping biar terang… dengerin Bens Radio yang paling jitu...,” demikian kutipan pantun ciptaan Benyamin Suaeb. Jika diterjemahkan, mendengarkan radio adalah cara paling mudah untuk menghargai produk seni lokal Betawi yang harus bersaing dengan masuknya kultur budaya luar.
Selain itu, di era sekarang ini, menyempatkan waktu menyaksikan pentas seni budaya lokal Betawi rasanya hanya akan dilakukan segelintir orang. Di tengah derasnya arus gemerlap video dan foto di media sosial, hanya kesadaran masyarakat untuk mau menghargai seni dalam negeri yang akan sanggup menumbuhkan budaya lokal. (LITBANG KOMPAS)