Menyoal Kampanye Politik di Media Sosial
Wacana mengenai pentingnya mengatur kampanye daring, terutama di media sosial, menguat saat menjelang pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Keputusan pemerintah bersama DPR, KPU, dan Bawaslu untuk tetap melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020 membuka wacana pentingnya mengatur kampanye daring, terutama di media sosial.
Pandemi Covid-19 mau tak mau menjadikan model kampanye akan lebih sering dilakukan dengan menghindari tatap muka langsung dan kerumunan massa. Dengan kata lain, kampanye akan lebih banyak dilakukan lewat media sosial. Undang-undang terkait pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sudah menyinggung soal media sosial ini, tetapi isinya belum cermat dan lengkap mengatur batasan kampanye.
Media sosial masih ditempatkan selayaknya media massa elektronik. Salah satu indikasinya ialah aturan mengenai batasan waktu dan durasi kampanye. Batasan ini bisa diterapkan di media massa elektronik, seperti televisi serta radio, tetapi di media sosial hal itu sulit untuk dilakukan.
Pandemi Covid-19 mau tak mau menjadikan model kampanye akan lebih sering dilakukan dengan menghindari tatap muka langsung dan kerumunan massa.
Potensi pelanggaran kampanye di media massa elektronik saja mudah terjadi, apalagi di media sosial yang belum memiliki regulasi komprehensif. Inilah tantangan bagi upaya penegakan hukum pemilu di ranah digital.
Salah satu bentuk tantangan itu adalah bagaimana mengenali sekaligus mengategorikan sebuah akun media sosial sebagai pelaksana kampanye ataupun peserta kampanye. Tak jarang, sebuah akun menggunakan identitas palsu dalam mengampanyekan atau menyerang lawan politik peserta kampanye.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, salah satu subyek yang diatur adalah pelaksana dan peserta kampanye. Namun, batasannya masih terlalu luas. Undang-undang ini belum mengatur pihak-pihak yang tak ditunjuk oleh peserta pemilu, tetapi ia mendukung peserta pemilu. Mereka, antara lain, sukarelawan, simpatisan, dan buzzer.
Padahal, UU Pemilu mensyaratkan, semua pelaksana kampanye harus didaftarkan ke KPU. Pendek kata, siapa pun yang tak terdaftar sebagai pelaksana kampanye dapat diklasifikasikan sebagai peserta kampanye, termasuk simpatisan ataupun buzzer politik.
Media sosial dalam regulasi tersebut juga cenderung ditempatkan memiliki karakter sama dengan media massa daring (online) yang diikat aturan terkait penjadwalan iklan kampanye, penentuan tarif iklan kampanye pemilu komersial, dan penetapan serta penyiaran iklan kampanye pemilu untuk masyarakat yang diproduksi oleh pihak lain. Padahal, keduanya memiliki karakteristik berbeda.
Media sosial lebih menekankan pada konten yang dibuat oleh pengguna. Tentu, ketentuan yang diterapkan pada media massa daring tak tepat dikenakan pada media sosial.
Undang-undang ini belum mengatur pihak-pihak yang tak ditunjuk oleh peserta pemilu, tetapi ia mendukung peserta pemilu.
Isu terkait pengaturan spot iklan, blocking segment dan/atau blocking time, misalnya. Bagaimana menghitung dan mengawasinya jika media sosial aktif 24 jam tanpa kontrol dan semua akun bebas untuk membuat konten. Masalah pelik muncul jika akun tersebut bukan pelaksana kampanye, tetapi kontennya mendukung salah satu kontestan.
Dalam UU Pemilu, tidak ada ketentuan yang mengatur waktu pelaksanaan kampanye pemilu (Pasal 276) meski aturan ini dilengkapi lewat Peraturan KPU. Di UU Pemilu juga tidak ditemukan ketentuan sanksi yang dikenakan terhadap platform media sosial ataupun media daring meskipun Pasal 287 Ayat (4) UU Pemilu menyatakan media sosial maupun media daring harus mematuhi larangan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 UU Pemilu.
Kampanye pilkada
Hal yang sama terjadi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota masih sangat umum. Berbeda dengan UU Pemilu, di undang-undang pilkada ini, tak disebutkan media sosial maupun media elektronik lainnya. Kampanye melalui media sosial dikategorikan dalam ”kegiatan lain”.
Sebagian besar pengawasan kampanye pilkada telah mengikuti ketentuan mengenai kampanye di media sosial, media elektronik, dan media dalam jaringan lainnya, yang diatur dalam Peraturan KPU tentang Kampanye Pemilu. Dalam ketentuan ini, tak ada sanksi yang dikenakan terhadap platform atau akun media sosial.
Penindakan atas sebagian besar platform media massa elektronik dan media daring dilakukan oleh KPI atau Dewan Pers sesuai dengan kewenangannya. Namun, KPI dan Dewan Pers memiliki keterbatasan untuk mengakomodasi penindakan platform media sosial yang memiliki karakteristik tersendiri tersebut.
Hasil kajian Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada bersama Facebook mengusulkan agar penindakan atas media sosial melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika. CfDS juga menghasilkan rekomendasi tentang perlunya dibuat alur yang lebih jelas mengenai penindakan yang dilakukan oleh instansi terkait, seperti KPI, Dewan Pers, dan instansi lainnya dalam rangka penyelenggaraan pilkada.
Kajian CfDS ini menyebutkan empat isu utama yang perlu diperhatikan agar keberadaan media sosial dalam kampanye politik bisa dikelola. Pertama, soal akun media sosial pelaksana dan peserta kampanye. Ketentuan jumlah akun yang harus didaftarkan ke KPU semestinya dihapus karena selain akun yang didaftarkan tersebut, tetap terbuka kemungkinan bagi akun lain untuk ikut berkampanye.
Ketentuan jumlah akun yang harus didaftarkan ke KPU semestinya dihapus.
Pada masa mendatang, perlu pula diwajibkan akun media sosial pelaksana kampanye untuk menghapus unggahan/konten yang bermuatan kampanye, terutama yang diunggah saat kampanye dilarang, seperti masa tenang. Jangan lupa akun-akun buzzer diawasi.
Kedua, soal iklan dan kampanye politik di media sosial. Salah satu rekomendasinya adalah menghapus peraturan mengenai durasi spot iklan di media sosial selama 30 detik, tetapi memberikan opsi skip atau lewati pada iklan politik. Lebih masuk akal untuk membatasi akses iklan daripada mengatur durasi. Dengan fasilitas melewati iklan kampanye politik, netizen memiliki peluang untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumi iklan itu.
Ketiga, soal alur penanganan pelanggaran kampanye politik di media sosial. Salah satu problemnya selama ini adalah masih terjadi tumpang tindih terkait lembaga atau institusi yang berhak menangani kasus pelanggaran kampanye politik di media sosial. Karena itu, pada masa mendatang perlu digabung Gugus Tugas Pengawasan dan Pemantauan Iklan Kampanye dengan Sentra Gakkumdu. Selain itu, CfDS dan Facebook mengusulkan untuk menambahkan institusi yang juga relevan ke dalam gugus tersebut guna menangani problem sosial.
Keempat, soal sanksi terhadap pelanggaran kampanye politik di media sosial. Selama ini ada perbedaan persepsi di antara lembaga-lembaga dalam gugus tugas penindakan pelanggaran kampanye politik di media sosial. Hal ini dapat memengaruhi model penindakan yang dipilih terhadap sebuah kasus pelanggaran. CfDS merekomendasikan, penegakan sanksi perlu ditingkatkan terhadap pelaksana dan peserta kampanye yang melanggar peraturan KPU serta Bawaslu.
Ujian kampanye
Pada akhirnya, upaya untuk mengatur media sosial dalam kampanye politik bertujuan menciptakan kontestasi berimbang di antara peserta pemilu ataupun kontestan di pilkada. Hal ini dinyatakan oleh peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, dalam diskusi daring Rekomendasi Kebijakan mengenai Regulasi Pemilu dan Pilkada di Indonesia terkait Kampanye Politik di Media Sosial, 18 Juni 2020. ”Rekomendasi ini penting guna menciptakan kesetaraan bagi setiap peserta pemilu,” katanya.
Tentu, agenda pilkada pada Desember akan menjadi ujian sekaligus acuan apakah penyelenggara pemilu dan pelaksana kampanye bisa mengendalikan kampanye di media sosial. Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi menjadikan kampanye daring di media sosial berpotensi lebih banyak dilakukan.
Langkah Bawaslu membentuk patroli siber di setiap kabupaten/kota guna mendukung pengawasan kampanye di media sosial layak diapresiasi. Kiranya apa yang terjadi di pilkada akhir tahun ini bisa menjadi masukan sekaligus rujukan, termasuk yang direkomendasikan oleh CfDS-Facebook, bagi Komisi II DPR untuk menghasilkan undang-undang pemilu yang lebih jelas mengatur kampanye di media sosial. (LITBANG KOMPAS)