Ondel-ondel, Penjaga Ingatan Kesenian Betawi
Ondel-ondel menjadi kesenian Betawi yang paling membekas di benak masyarakat. Hal ini tidak lepas dari kelumrahannya hadir di ruang-ruang publik. Eksistensinya tetap perlu dipertahankan.
Ondel-ondel menjadi kesenian Betawi yang paling membekas di benak masyarakat. Hal ini tidak lepas dari kelumrahannya hadir di ruang-ruang publik. Tidak terkecuali melalui pengamen ondel-ondel yang setiap harinya bisa ditemukan di jalanan ibu kota. Sayangnya, ondel-ondel yang dibawakan merakyat ini justru menuai sinisme.
Litbang Kompas pada 16-18 Juni 2020 lalu menyelenggarakan jajak pendapat pada 530 responden di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) untuk mengetahui pendapat masyarakat terhadap kebudayaan Betawi. Temuan yang menggelitik salah satunya adalah respon publik pada citra ondel-ondel saat ini.
Ondel-ondel menjadi top of mind sebagian besar responden ketika ditanya mengenai kesenian Betawi. Kelompok responden terbesar (39,6 persen) menyebut ondel-ondel dan topeng Blantek sebagai produk seni Betawi yang pertama kali terlintas di kepala mereka. Dalam persentase yang sama (39,6 persen), ondel-ondel dan topeng Blantek juga menjadi kesenian yang paling sering ditonton.
Familiaritas dan tingginya frekuensi publik melihat ondel-ondel tidak bisa dilepaskan dari seringnya ikon Jakarta ini hadir di ruang publik. Dari hiasan penyambut tamu di gedung pemerintahan dan perkantoran, atraksi di acara festival dan seremonial, hingga kehadirannya sebagai boneka yang dibawa pengamen di jalan dan lorong-lorong gang perkampungan di wilayah Jabodetabek.
Pengamen menjadikan ondel-ondel hadir dalam sela-sela kegiatan warga perkotaan, baik saat berkendara di jalan, makan di warung, hingga saat bersantai di rumah. Hal ini salah satunya terbukti dari 97,4 persen responden yang mengatakan pernah melihat ondel-ondel yang dibawakan oleh pengamen jalanan.
Meski demikian, kehadiran Ondel-ondel yang dibawa oleh pengamen ini mendapatkan respon sinis dari publik. Sebanyak 71,5 persen publik tidak setuju jika ondel-ondel digunakan untuk mengamen.
Sikap publik ini setali tiga uang dengan respon pemerintah dalam memandang pengamen yang menggunakan ondel-ondel untuk mencari uang. Sejak Februari 2020 lalu, pemerintah dan kalangan yang merasa punya tanggung jawab dalam menjaga kebudayaan Betawi sepakat untuk melarang pengamen ondel-ondel hadir di ruang publik.
Pelarangan Pengamen Ondel-Ondel
Melacak arsip foto Kompas, fenomena ondel-ondel turun ke jalan marak sejak tahun 2012. Dalam foto bertanggal 29 Juli 2012, terpotret pengamen ondel-ondel yang sedang menghibur warga di depan ruko-ruko di Jalan Pondok Kelapa Raya. Fotografer Agus Susanto menyebut pertunjukan seni rakyat Betawi ondel-ondel yang dulu sering ditampilkan dalam pesta kini mulai banyak ditemui di jalanan.
Foto-foto terkait pengamen ondel-ondel dipotret dalam bingkai positif. Arsip foto Kompas bertanggal 20 April 2014 menangkap citra kegembiraan warga yang berfoto bersama ondel-ondel yang mengamen di acara hari bebas kendaraan bermotor di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.
Namun, kini keadaan tak lagi sama. Pengamen ondel-ondel dianggap mendegradasi keadiluhungan dan kemegahan ondel-ondel sebagai ikon budaya Betawi dan Jakarta. Pendapat ini muncul sejak Februari 2020. Pada 7 Februari 2020, laman resmi DPRD DKI Jakarta menurunkan rilis berjudul “Sesalkan Eksploitasi Ondel-ondel, Komisi E Usul Perda Pelestarian Betawi Direvisi.”
Dalam rilis tersebut, Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Iman Satria mengatakan perlunya revisi untuk melarang ondel-ondel dibawa ke jalan untuk mengemis. Sebabnya adalah ondel-ondel merupakan ikon megah yang biasa ditaruh di ruang rapat paripurna. Ikon ini tidak patut berada di jalanan.
Gayung bersambut, rencana revisi Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta nomor 4 tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi tersebut ditanggapi baik oleh jajaran pemerintahan dan ormas Betawi.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta berencana membuat naskah akademis yang bertujuan untuk melarang penggunaan ondel-ondel sebagai alat mengamen.
Satuan Pamong Praja (Satpol) PP, Dinas Kebudayaan, Kesbangpol, dan sejumlah ormas Betawi seperti FORKABI, FBR, Sanggar Utan Panjang, dan lainnya juga sepakat melarang ondel-ondel dijadikan sarana mengamen.
Dalam rapat koordinasi pada 13 Februari 2020, peserta rapat menyepakati keputusan melarang ondel-ondel untuk mengamen dengan pertimbangan mengamen dengan ondel-ondel berpotensi mengganggu ketertiban umum.
Dalam rilis yang dimuat Lembaga Kebudayaan Betawi pada Februari 2020, Ketua Umum H. Beky Mardani turut mendukung rencana Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan penertiban terhadap pengamen ondel-ondel.
Ia menunjukkan rasa prihatin pada ikon Betawi yang dieksploitasi sekadar untuk kepentingan pribadi. Ia juga menambahkan, eksploitasi budaya lewat aktivitas mengamen ondel-ondel perlu dilarang lebih lagi karena dilakukan bukan oleh sanggar-sanggar Betawi atau penggiat pelestarian budaya Betawi.
Memeriksa lebih ke belakang, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat juga sempat menyebut aktivitas mengamen dengan atribut ondel-ondel itu sebagai eksploitasi budaya. (Kompas, 2 Oktober 2015).
Padahal, di luar tuduhan eksploitasi budaya tersebut, keinginan melestarian budaya Betawi juga tertanam dalam benak anak-anak muda Betawi yang menjadi pengamen ondel-ondel. Dalam wawancara Kompas dengan empat pengamen ondel-ondel, mereka berkeinginan untuk terus menjaga budaya Betawi agar tetap ada masyarakat.
Salah satunya adalah Tatan (23) yang ditemui sedang mengamen di Cipayung, Jakarta Timur. Ia yang telah mengamen sejak 2014 menceritakan, selain karena desakan ekonomi, mengamen dengan ondel-ondel juga caranya melestarikan budaya Betawi. “Orang Betawi sudah tersisih dari kampungnya, kami tidak ingin ondel-ondel juga tersisih” (Kompas, 14 Februari 2020).
Langkah pemerintah untuk melokalisasi promosi ondel-ondel dalam acara seremonial, yang mungkin hanya terjadi satu bulan sekali, perlu dikaji ulang. Merawat semangat para pegiat budaya Betawi, yang karena kondisi ekonomi harus turun ke jalan, justru perlu diprioritaskan.
Ahli Sejarah J.J Rizal yang punya minat besar pada sejarah kebudayaan Betawi bahkan menyebut ondel-ondel sudah sedari dulu digunakan untuk mengamen di kampung-kampung. Arakan ondel-ondel dibayar secara sukarela sebagai tanda terima kasih karena sudah menjaga kampung dari hal-hal jahat.
Kesempatan untuk melestarikan budaya perlu dibuka untuk siapa saja. Misalnya, Emma Amalia Agus Bisrie yang menghidupkan ondel-ondel dengan memodifikasi pakaian boneka ondel-onde agar dapat dikenakan oleh orang. Untuk upayanya, Ia bahkan menerima penghargaan Makara Utama dari Universitas Indonesia. (Kompas, 24 Maret 2012)
Ada pula sosok putri Betawi seperti Aryani Dwi Agustina Sitio yang mengembangkan batik dengan corak-corak Betawi. Ide yang diawali desakan ekonomi demi mempertahankan rumahnya dari penggusuran akhirnya menjadi bisnis yang potensial. (Kompas, 12 September 2019)
Ondel-ondel akhirnya hanya sebatas ikon jika artikulasi pelestariannya dibatasi. Hal ini sudah nampak dari respon publik di Jabodetabek ketika ditanya mengenai urgensi untuk merawat kesenian Betawi.
Meski paling melekat dan paling sering disaksikan, Ondel-Ondel justru dianggap tidak perlu lagi diprioritaskan untuk dikembangkan. Hanya 11,5 persen yang menganggap ondel-ondel perlu untuk dikembangkan. Kelompok publik tersebut hanya seperempat dari kelompok publik yang menekankan perlunya pengembangan untuk seni teater Betawi, Lenong (47,2 persen). (LITBANG KOMPAS)