“Arah Bisnis Energi” dan Ketahanan Energi Masa Depan
Teropong bauran energi pada 2025 dan 2050 yang diulas buku ini mengingatkan perlunya kerja sama untuk memastikan ketersediaan energi di masa depan, terutama energi baru dan terbarukan.
Ketersediaan energi sangat penting untuk mendukung putaran roda perekonomian dan aktivitas masyarakat dunia. Memastikan ketersediaannya di masa depan akan menjamin terpenuhinya kebutuhan negara bangsa dan kesejahteraan penduduknya.
Ketersediaan energi listrik menjadi gagasan awal yang diangkat dalam buku Arah Bisnis Energi, publikasi yang ditulis oleh Ibrahim Hasyim, praktisi bidang energi dan pernah menjadi Komisioner Badan Pengatur Hilir Migas. Jaminan ketersediaan energi bukan hanya di bidang kelistrikan semata, melainkan juga sumber energi.
Listrik adalah energi yang tidak bisa diproduksi apabila tidak ada sumber energi primer dan sekunder. Jadi, kecukupan energi juga menyentuh keseluruhan bentuk energi primer di hulu, energi sekunder berbentuk bahan bakar minyak, ataupun energi listrik.
Dalam pandangan Ibrahim Hasyim, sejumlah energi primer di hulu juga menghadapi tantangan ketersediaan yang harus diantipasi. Posisi cadangan minyak bumi Indonesia sekitar 8 miliar barel dengan perkiraan habis dalam waktu 16 tahun.
Kebutuhan minyak bumi berdampak pada meningkatnya impor minyak dan gas bumi. Dampaknya sudah terlihat pada neraca perdagangan Januari-Mei 2019, sudah terjadi defisit 2,14 milliar dollar AS.
Demikian pula dengan cadangan gas bumi. Total cadangan gas Indonesia hingga 2018 sebesar 135,55 TSCF. Namun, dengan mencermati tren stoknya, volume cadangan gas tersebut menurun dari tahun sebelumnya.
Pada Januari 2017, masih ada 142,72 TSCF atau berkurang 7 TSCF dalam dua tahun. Sementara rata-rata pemanfaatannya sepanjang 2012-2017 sebesar 2,9 TSCF per tahun. Mengacu pada data ini, jika tidak ada penambahan sumber gas baru, cadangan gas diperkirakan akan habis dalam 49 tahun.
Problem lain di balik menurunnya cadangan energi adalah pengembangan sumber-sumber baru energi. Tidak dimungkiri, pengembangan sumber energi juga melibatkan peran investasi swasta, baik asing maupun dalam negeri. Karenanya, kepastian regulasi bagi investor migas menjadi salah satu hal yang juga diangkat dalam uraian ini.
Kepastian regulasi bagi investor migas perlu diberikan pemerintah bagi investor yang hendak melakukan eksplorasi. Perizinan indonesia seharusnya berada dalam satu payung kelembagaan yang mengatur dari pusat dan daerah. Dicontohkan, masih ada investor pembangkit mikrohidro yang harus melalui 42 proses izin untuk bisa sampai melalukan transaksi penjualan listrik di Indonesia.
Kapasitas
Pembangunan energi selama satu windu terakhir di Indonesia menunjukkan capaian peningkatan. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah ketersediaan listrik untuk menunjang aktivitas ekonomi di suatu negara.
Konsumsi listrik di Indonesia pada 2012 sebesar 790 kWh/kapita naik menjadi 1.064 kWh/kapita pada 2018. Target pada 2019 mencapai 1.200 kWh/kapita. Sepanjang 2011-2019, rata-rata kenaikan sekitar 9 persen per tahun.
Ketersediaan listrik ditunjang peningkatan kapasitas pembangkit. Jika pada 2012 kapasitas pembangkit listrik sebesar 45,3 gigawatt (GW), jumlahnya meningkat menjadi 62,6 GW pada 2018. Kapasitas diharapkan terus meningkat menjadi 66,5 GW pada 2019.
Meningkatnya kapasitas pembangkit membuat rasio elektrifikasi dan produksi listrik juga terdongkrak naik. Produksi listrik naik dari 198.074 TWh pada 2012 menjadi 220.817 TWh pada 2018. Demikian pula rasio elektrifikasi yang meningkat dari 76,56 persen pada 2012 menjadi 98,30 persen pada 2018.
Namun, di balik geliat pembangunan energi, masih terdapat sejumlah masalah penyediaan energi. Konsumsi listrik masih didominasi pemakaian rumah tangga. Konsumsi listrik belum dominan digunakan untuk industri. Selain menyedot anggaran negara untuk memberikan subsidi harga listrik, masih minimnya listrik untuk industri menjadi gambaran hambatan bagi investasi di Indonesia.
Problem kelistrikkan juga masih menyisakan ketimpangan rasio elektrifikasi, terutama di luar Pulau Jawa. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik, hingga Juni 2019 masih ada 813.872 rumah tangga yang belum menikmati aliran listrik. Di Nusa Tenggara Timur, rasio elektrifikasi baru mencapai 62 persen. Ini artinya satu dari tiga rumah tangga di NTT masih belum berlistrik.
Masih tersimpan
Selain energi fosil, Indonesia menyimpan potensi besar dari energi baru dan terbarukan atau EBT. Energi yang dihasilkan berasal dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi. Khusus panas bumi atau geotermal, Indonesia memiliki potensi hingga 29 gigawatt.
Demikian juga dengan energi biomassa. Potensi biomassa Indonesia mencapai 50 GW. Namun, potensi energi baru dan terbarukan belum dimanfaatkan maksimal.
Jika melihat data lain, pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia masih di bawah Vietnam. Di ASEAN, Vietnam merupakan negara dengan kapasitas EBT terpasang paling besar. Pada 2018, total kapasitas terpasang EBT Vietnam berdasarkan data International Renewable Energy Agency (Irena) sebesar 18.523 megawatt.
Pembangkit listrik tenaga air menjadi pemasok listrik jenis EBT di Vietnam yang paling besar dengan kapasitas terpasang 17.989 megawatt pada 2018. Sisanya disumbang oleh PLT angin, PLT surya, dan PLT bioenergi.
Di Indonesia, pengembangan EBT, seperti pembangkit panas bumi, yang terpasang baru mencapai 1.948 megawatt (MW). Pembangkit listrik tenaga surya dan mikro hidro pada 2018 mencapai 331,8 MW. Juga dengan pemanfaatan energi air yang kurang dari 8 persen dan biomassa yang baru dimanfaatkan sekitar 5 persen.
Bauran energi Indonesia pada 2012 mencatat, kontribusi energi baru dan terbarukan dalam energi primer baru mencapai 4,6 persen. Bauran ini masih di bawah energi minyak bumi (47,6 persen), batubara (27,4 persen), dan gas bumi (20,6 persen).
Pada 2014, kontribusi EBT dalam energi primer mencapai 6,4 persen, meningkat menjadi 7,7 persen pada 2016. Target pada 2025, pengembangan energi baru dan terbarukan dapat mencapai 23 persen. Dengan memperhatikan potensi sumber daya yang cukup variatif, EBT menjadi modal untuk meningkatkan ketahanan energi.
Membangun energi
Ketersediaan energi digambarkan Ibrahim Hasyim sebagai bahan pokok. Artinya, menjadi kebutuhan utama masyarakat saat ini. Melihat manfaat strategis energi, Pemerintah Indonesia memberikan perhatian besar untuk membangun energi.
Melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 yang dirumuskan bersama DPR, dibentuk Dewan Energi Nasional yang dipimpin presiden. Dewan Energi ini mengelompokkan energi primer yang terdiri dari minyak bumi, gas bumi, energi baru dan terbarukan, serta batubara, sekaligus menghitung target ketersediaannya sebagai bauran energi pada 2025 dan 2050.
Untuk mencapai targetnya, pemerintah kemudian menetapkan arah kebijakan energi nasional melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan ini disusun sebagai pedoman ketersediaan energi, prioritas pengembangannya, pemanfaatan sumber daya energi nasional, dan cadangan energi nasional. Intinya, bertujuan untuk mewujudkan kemandirian energi nasional.
Langkah-langkah untuk mencapai tujuan Kebijakan Energi Nasional dijabarkan dalam Rencana Umum Energi Nasional yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017. Sejumlah program dilakukan pemerintah, seperti proyek listrik 35.000 MW dan tol listrik Sumatera.
Melalui program 35.000 MW, perusahaan listrik negara PT PLN menargetkan membangun 167 unit pembangkit, sedangkan pengembang listrik swasta atau IPP akan membangun 193 unit pembangkit. Infrastruktur lain yang sedang dikerjakan PLN adalah proyek tol listrik Sumatera.
Proyek ini berupa saluran udara tegangan ekstra tinggi 275 kilovolt (kV) yang membentang dari Sumatera Selatan hingga Sumatera Utara. Dalam tahap berikutnya akan dilanjutkan jalur Lampung ke Sumatera Selatan dan Sumatera Utara ke Aceh.
Harapannya, pembangunan pembangkit dan tol listrik itu bisa memenuhi target Dewan Energi Nasional yang menetapkan kapasitas pembangkit listrik sebesar 135,4 GW pada 2025 dan 444,5 GW pada 2050 nanti.
Namun, upaya pemerintah membangun dan menyediakan energi belum berjalan mulus. Melihat data Kementerian ESDM per Juni 2019, pembangkit yang sudah beroperasi secara komersial dalam proyek 35.000 MW baru 3.768 MW atau setara 11 persen. Faktor kesiapan sumber bahan bakar yang dipakai, perizinan, pembebasan lahan, serta proses kerja sama dengan swasta (IPP) menjadi kendala proyek tersebut.
Ini artinya, selain menjalankan program yang sudah dirancang, penyediaan energi di masa depan harus membuka ruang reformasi dalam penggunaan teknologi ketenagalistrikan serta pengalihan penggunaan energi ke energi baru terbarukan.
Melihat kondisi yang ada, penyediaan energi di masa depan menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia. Ketersediaan energi perlu diperkuat dalam pembangunan infrastruktur nasional.
Dukungan infrastruktur energi turut mengakselerasi perkembangan ekonomi negara. Berdasarkan kajian elastisitas, untuk mencapai kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen dibutuhkan pertumbuhan energi sebesar 1,62 persen.
Data-data yang ditunjukkan dalam buku ini bisa jadi harus disesuaikan dengan capaian terbaru dan dinamika pembangunan energi yang terus berkembang hingga saat ini.
Sebagaimana Indonesia, negara-negara di dunia saat ini sedang berupaya keras meningkatkan bauran energi baru terbarukan. Laporan ”Global Energy Transformation: a Roadmap to 2050” memberikan simulasi peningkatan bauran EBT pada 2050 diharapkan menyumbang 86 persen energi dunia.
Berdasarkan Kesepakatan Paris untuk mencegah krisis iklim, emisi global harus ditekan 7,6 persen per tahun. Ini dilakukan untuk membatasi suhu global agar tidak naik lebih dari 1,5 derajat celsius. Polusi udara dari emisi pembakaran bahan bakar fosil perlu ditekan untuk mengupayakan hal ini.
Teropong bauran energi yang diulas buku ini pada 2025 dan 2050 mengingatkan perlunya kerja sama untuk memastikan ketersediaan energi di masa depan, terutama energi baru dan terbarukan. Memastikan ketersediannya nanti, sekaligus menjamin berkembangnya perekonomian nasional dan kedaulatan bangsa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?