Demokrasi Luhur dari Leluhur
Demokrasi di Indonesia memiliki sejarah tersendiri. Ia hadir dan melekat dalam sejarah bangsa dan sudah menjadi urat nadi.
Saat bangsa ini masih dikuasai raja-raja autokrat, ruh demokrasi telah menyelinap masuk ke dalam pikiran rakyat. Pepatah adat dan tradisi lokal menjadi anasir yang turut menyemainya. Inilah urat nadi demokrasi yang hingga kini tetap berupaya untuk berdenyut di tengah hiruk pikuk aktivitas politik.
Dalam alam autokrasi, demokrasi bukanlah mitologi politik. Di tengah eksistensi para raja dan sultan di Nusantara, riak demokrasi perlahan mulai terasa sejak berabad-abad silam, baik di tengah-tengah rakyat biasa maupun dari kalangan penguasa.
Semangat ini muncul bukannya tanpa sebab. Satu-dua lahir sebagai budaya kehidupan yang berurat-akar di tengah-tengah masyarakat. Sementara sisanya lahir sebagai kritik atau wujud ketidakpuasan terhadap raja yang berkuasa.
Riak demokrasi dari leluhur bangsa salah satunya diwarisi oleh Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera. Meski dikenal sebagai pusat pendidikan ajaran agama Buddha Mahayana, penganut agama lain tetap diberi ruang untuk mendalami ajaran agamanya masing-masing.
Tengok saja situs Candi Bumiayu di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan. Kompleks arkeologi dari masa Kerajaan Sriwijaya ini menyimpan jejak historis keberagaman yang amat demokratis.
Selain jejak peninggalan dari Buddha Mahayana, ditemukan juga arca Siwa yang menjadi penanda adanya aktivitas dari penganut agama Hindu di wilayah itu. Temuan arkeologis itu menggambarkan bahwa kawasan ini memiliki jejak keberagaman yang mengagumkan sejak berabad-abad silam.
Masih di tanah Sumatera, jejak demokrasi masa lampau juga terlihat di Tanah Rencong, Aceh. Pada abad ke-17 Aceh telah memiliki cukup banyak bangunan yang disebut meunasah yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan. Inilah sarana transfer ilmu pengetahuan dan diskusi secara terbuka masyarakat Aceh pada masa silam.
Di timur Indonesia, jejak demokrasi juga terekam di Tanah Buton, Sulawesi Tenggara. Pada abad ke-17, Buton telah memiliki sistem pemerintahan demokratis. Saat itu, Kesultanan Buton telah memiliki lembaga pengawasan serupa dengan lembaga legislatif saat ini yang disebut siolimbona.
Menurut Hasaruddin, akademisi Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau dalam tulisannya pada buku Negeri Seribu Benteng: Lima Abad Dinamika di Kota Baubau (2012), dengan adanya pengawasan ini maka sultan yang memerintah tidak dapat berlaku semena-mena. Jika melakukan kesalahan, maka badan pengawas inilah yang mengevaluasi kinerja sultan.
Andaikata sultan terbukti melakukan hal yang bertentangan dengan adat, maka jabatan yang dimiliki harus dilepas. Tak sampai di situ, hukuman pun menanti sebagai wujud pertanggungjawaban sultan terhadap kesalahan yang dilakukan. Bahkan, hukuman mati pernah diberikan kepada sultan yang gagal memerintah dan melakukan banyak kesalahan.
Baca juga: Tahun 2020, Perkuat Demokrasi Lokal
Tradisi
Semangat demokrasi dari leluhur bangsa juga terekam dalam pepatah adat pada berbagai suku bangsa di Indonesia. Di Minangkabau, misalnya, sangat banyak petuah dan pepatah tentang mufakat sebelum mengambil keputusan. Pepatah ini adalah warisan dari leluhur tentang nilai-nilai demokrasi yang mesti dianut. Beberapa di antaranya adalah:
Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat (Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat)
Nan bana kato saiyo, nan rajo kato mufakat (yang benar kata seiya, yang raja kata mufakat)
Ini adalah bagian dari pepatah Minang tentang pentingnya musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Sistem itulah yang digunakan dalam pemerintahan adat di Minangkabau sejak berabad-abad silam untuk mengambil sebuah keputusan.
Selain pepatah, juga terdapat tradisi adat lainnya yang menganut nilai-nilai demokrasi. Suku Mbojo di Pulau Sumbawa, NTB, misalnya, memiliki tradisi yang dikenal sebagai Mbolo Weki¸ yakni duduk bersama untuk membahas berbagai hal dan persiapan kegiatan. Tradisi ini mendidik masyarakat untuk terbiasa bermusyawarah.
Pada beberapa daerah di Kalimantan, musyawarah adat juga dilakukan oleh Suku Dayak. Kegiatan ini juga dimanfaatkan sebagai sarana menampung aspirasi masyarakat dan mencari jalan keluar dari setiap persoalan.
Baca juga: Merawat Marwah Demokrasi
Demokrasi desa
Nilai-nilai demokrasi yang bersifat kedaerahan inilah yang menjadi modal awal bagi bangsa Indonesia untuk menuju negara demokrasi. Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Indonesia menyebutnya sebagai demokrasi desa.
Setidaknya ada dua unsur lainnya yang turut membentuk semangat demokrasi tradisional di desa-desa. Pertama adalah adanya hak untuk melakukan protes terhadap peraturan raja yang tidak adil.
Di Pulau Jawa, hak ini diejawantahkan dalam tradisi pepe, yaitu berjemur di bawah matahari sebagai wujud protes kepada sang raja. Tradisi ini juga disebut sebagai demokrasi bisu karena dilakukan tanpa suara. Hingga pertengahan abad ke-20, aksi protes dengan cara ini masih dilakukan pada beberapa desa di Pulau Jawa (Luthfy, 2018).
Hingga kini, aksi serupa masih dilakukan sebagai wujud protes kepada para pemimpin. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh lima orang pedagang kaki lima di Yogyakarta pada 11 November 2019 lalu. Mereka meminta kepada Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X untuk menghentikan rencana penggusuran kios tempat usaha mereka. Aksi ini dikenal dengan sebutan Tapa Pepe.
Unsur pembentuk demokrasi desa kedua, kata Hatta, adalah adanya hak rakyat untuk menyingkir dari wilayah kerajaan jika tidak suka hidup pada lingkungan itu. Ini adalah cara lain untuk menghindari terjadinya konflik di wilayah kerajaan.
Baca juga: Monografi Demokrasi Desa
Eksistensi
Dalam sejarah modern, praktik demokrasi semakin terasa saat tokoh pendiri bangsa merumuskan dasar negara Indonesia. Ruh demokrasi amat dirasakan dalam diskusi antara Soekarno, Mohammad Hatta, Oto Iskandardinata, Iwa Koesoema Soemantri, Gerungan Samuel Saul Jacob Ratulangi, dan beberapa tokoh bangsa lainnya.
Semangatnya jelas, membawa bangsa ini ke arah negara demokrasi berbasis musyawarah untuk mufakat, serta demokrasi yang berujung pada keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Hari-hari ini, ruh demokrasi yang lahir terus dicoba untuk dirawat pada setiap daerah. Sayang, dalam praktiknya, perkembangan demokrasi mengalami ketimpangan antardaerah. Ini terlihat dari indeks demokrasi Indonesia yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 lalu.
Berdasarkan catatan BPS, masih terdapat gap yang cukup jauh antara daerah dengan indeks demokrasi tertinggi seperti Jakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Timur dengan daerah dengan indeks demokrasi terendah seperti Papua, Sumatera Utara, dan Jawa Barat.
Gap terbesar salah satunya terlihat dalam aspek kebebasan sipil antara DKI Jakarta (95,09) dengan Sumatera Barat (55,32). Kebebasan sipil dilihat dari beberapa aspek seperti kebebasan berpendapat, berkumpul, hingga kebebasan dari diskriminasi.
Sementara dari sisi lembaga demokrasi, juga terdapat gap yang cukup jauh antara Bali (89,55) dengan Jawa Barat (54,80). Indeks pada aspek lembaga demokrasi ini dilihat dari beberapa hal seperti peran partai politik, pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil, serta peran birokrasi pemerintah daerah.
Perbedaan yang cukup jauh ini tidak dipengaruhi langsung oleh kualitas pembangunan manusia pada setiap daerah. Ini terlihat pada daerah dengan indeks pembangunan manusia tinggi, namun menjadi bagian daerah dengan indeks demokrasi terendah di Indonesia.
Sebaliknya, pada daerah dengan indeks pembangunan manusia kategori sedang, justru menjadi bagian dari daerah dengan indeks demokrasi tertinggi di Indonesia. Bisa jadi, kendala yang dihadapi bukanlah pada kualitas sumber daya manusia, namun pada sistem demokrasi yang terbentuk pada suatu daerah.
Kondisi ini tentu menjadi lampu kuning dalam penerapan demokrasi di daerah. Bagaimanapun, semangat demokrasi lokal yang telah hadir sejak berabad-abad silam tetap perlu dirawat di tengah hiruk pikuk aktivitas politik di tanah air. Sebab, demokrasi lokallah yang turut menentukan masa depan penerapan demokrasi Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?