Persoalan Pendidikan dari Masa ke Masa
Pendidikan, sarana aset bagi generasi muda bangsa, kini berhadapan dengan persoalan lama, yakni kurikulum dan ketertinggalan pendidikan, ditambah perubahan radikal akibat pandemi Covid-19.
Pendidikan formal yang telah berjalan jauh sebelum Indonesia merdeka terus berubah karena berbagai faktor yang melatarbelakanginya.
Pada awalnya, pendidikan formal di Tanah Air diperkenalkan bangsa Eropa pada abad ke-16. Tujuan utamanya yaitu menjadikan sekolah sebagai salah satu sarana pencapaian sasaran bangsa itu di bidang politik dan ekonomi.
Diawali dengan kedatangan bangsa Portugis. Di dalam buku Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan (Depdikbud, 1993) disebutkan, sasaran bangsa ini untuk menguasai daerah penghasil rempah-rempah di Maluku. Padahal, kala itu, kepulauan rempah-rempah yang asli sudah dikuasai oleh raja-raja Islam yang menetap di daerah Maluku Utara (Ternate, Tidore, dan Bacan).
Untuk mengimbanginya, mereka memperkuat kedudukan di daerah-daerah Maluku Selatan sebagai penghasil cengkeh yang baru. Kemudian juga disusul sejumlah daerah di NTT, seperti Timor Timur yang mayoritas penduduknya tidak memeluk agama Islam. Melalui sekolah-sekolah Yesuit yang didirikan, sasaran mereka banyak yang berhasil.
Tidak lama Portugis berkuasa, giliran bangsa Belanda yang datang ke Indonesia. Sasaran utama yang ingin diraih bangsa ini yaitu misi perdagangan. Belanda memulai basis kekuasaan pertama di Indonesia dengan mengambi alih Maluku Selatan dari bangsa Portugis.
Upaya Belanda memperkuat posisi di sana, antara lain, dilakukan dengan menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar dengan mendirikan sekolah-sekolah. Berbagai jenis sekolah kemudian tumbuh subur di wilayah Nusantara sejak abad ke-19. Dari sekolah untuk golongan Eropa, sekolah untuk golongan Bumiputera, sekolah kejuruan, hingga sekolah dokter.
Kehadiran sekolah-sekolah itu bukan tanpa alasan. Contohnya, sekolah untuk Bumiputera akan dihasilkan aset tenaga terdidik lokal dengan biaya murah sebagai pegawai administrasi pemerintah. Sebelumnya, pekerja ini didatangkan langsung dari Belanda dengan biaya yang besar. Begitu juga sekolah kejuruan pertukangan di Jakarta, Semarang, dan Surabaya yang diarahkan untuk keperluan perkebunan, militer, hingga kereta api.
Baca juga: Pendidikan Belum Menyeluruh
Kendala pendidikan
Sesudah Indonesia merdeka, sistem pendidikan di Indonesia terus mengalami perbaikan. Terlihat dari kurikulum demi kurikulum yang diperbarui. Sampai tahun ini tercatat telah ada 10 kurikulum yang pernah diterapkan di Indonesia. Mulai dari kurikulum Rentjana Pelajaran 1947 yang masih terpengaruh oleh sistem pendidikan Belanda dan Jepang hingga terakhir kurikulum tahun 2013.
Meski demikian, kondisi pendidikan Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara tetangga. Ini terlihat dari laporan pembangunan manusia tahunan United Nations Development Programme (UNDP). Dari 2016 hingga 2018, indeks pendidikan di Indonesia hanya naik dari 0,62 menjadi 0,63. Indeks ini diperoleh dari perbandingan rata-rata lama sekolah dan lama harapan sekolah.
Selama tiga tahun itu, Indonesia terus bertengger di peringkat ke-7 di antara negara ASEAN, di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Bahkan, jika ditarik lebih jauh lagi, posisi ini melorot dari peringkat ke-5 pada 1990 dan peringkat ke-6 pada 2010.
Turunnya peringkat Indonesia disebabkan oleh menurunnya rata-rata lama sekolah. Hingga 2019, BPS mencatat rata-rata penduduk usia di atas 15 tahun di Indonesia sekolah telah mencapai 8,75 tahun atau setara dengan lulusan SMP kelas III. Angka ini pun terpantau terus naik dari tahun ke tahun. Jika menengok data 2015, rata-ratanya baru 8,32 tahun.
Sementara itu, ditengok data setiap provinsi, rata-rata lama sekolah paling lama ada di DKI Jakarta. Di provinsi ini rata-rata mencapai 11,1 tahun, kemudian disusul Kepulauan Riau (10,1), Maluku (10,0), Papua Barat (9,9), dan Kalimantan Timur (9,9). Sementara provinsi dengan rata-rata terpendek ada di Papua (6,8), Kalimantan Barat (7,8), NTT (7,9), NTB (7,9), dan Jawa Tengah (8,0).
Meski terpantau semakin panjang rata-rata lama sekolahnya, hingga tahun lalu angkanya masih di bawah standar Program Wajib Pendidikan Dasar atau Wajar Pendidikan Dasar (Dikdas) 9 tahun. Apabila program yang ditetapkan pemerintah sejak 1994 ini belum terpenuhi, apalagi Program Pendidikan Menengah Universal (PMU) 12 tahun yang diimplementasikan pemerintah tahun 2013.
Di balik sejumlah persoalan pendidikan di Indonesia yang belum usai, tantangan baru muncul ketika Covid-19 merebak. Melalui Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020, sejumlah kebijakan pendidikan diberlakukan untuk mengantisipasi penyebaran virus di wilayah sekolah. Di antaranya pembatalan ujian nasional, proses belajar dari rumah, dan prosedur baru ujian sekolah.
Tidak semua kebijakan baru itu dapat diterapkan di semua sekolah. Misalnya, sejumlah kendala ketika melangsungkan proses belajar dari rumah. Tidak semua tempat tinggal siswa memiliki kualitas koneksi internet yang baik. Tidak sedikit juga guru yang masih gagap berhadapan dengan teknologi. Semua hal itu bermuara pada ketidaklancaran transfer pengetahuan di sejumlah daerah.
Hal ini sejatinya tidak hanya dialami Indonesia. UNESCO mencatat, lebih dari 91 persen populasi siswa dunia terpengaruh oleh kebijakan penutupan sekolah selama pandemi Covid-19. Kondisi pendidikan sangat mungkin akan terus memburuk jika persoalan-persoalan yang ada terus berlangsung semakin lama tanpa penanganan serius dari tiap-tiap negara.
Baca juga: Mimbar Historis Revolusi Pendidikan
Kendala pendidikan
Ada sejumlah faktor yang mengakibatkan banyak pelajar di Indonesia terkendala mencapai Wajar Dikdas 9 tahun. Di dalam tulisan Faktor yang Terkait Rendahnya Pencapaian Wajar Dikdas 9 Tahun (Nur Berlian, 2011) disebutkan ada lima faktor, yaitu kemiskinan penduduk, kapasitas fiskal pemerintah daerah, faktor geografis, ketersediaan layanan pendidikan, dan tingkat pendidikan penduduk.
Faktor ekonomi keluarga menyebabkan tidak sedikit anak putus sekolah. Sebuah foto di halaman depan harian Kompas, 6 Maret 2019, memperlihatkan kondisi belajar-mengajar di Indonesia timur. Tepatnya di SD YPPK St Agustinus di Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, Mimika, Papua. Masih banyak anak di Papua tidak mengenyam bangku pendidikan karena bekerja membantu orangtuanya.
Berikutnya yaitu kapasitas fiskal pemda yang juga erat hubungannya dengan kualitas layanan pendidikan. Diketahui, hingga 2019 dari total 1,75 juta kelas di Indonesia, 8,1 persen di antaranya dalam kondisi rusak berat dan rusak total. Sementara jika dibagi berdasarkan jenjang pendidikannya, kondisi ini paling banyak ditemukan di SD 9,56 persen atau setara dengan 196.680 kelas.
Sementara itu, alokasi anggaran perbaikan sarana prasarana sekolah tidak semuanya berada di bawah pemerintah pusat. Hal itu telah diatur di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di mana manajemen pendidikan dasar, pendidikan usia dini, dan nonformal berada di pemerintah kabupaten/kota. Pendidikan menengah dan pendidikan khusus di pemerintah provinsi. Sementara pemerintah pusat mengatur standar nasional dan pendidikan tinggi.
Di samping itu, faktor geografis medan ekstrem yang memisahkan sekolah dengan rumah pelajar juga masih banyak ditemukan di Indonesia. Contohnya, kisah 30 siswa SMP dan SMA di Pulau Seram, Maluku, yang setiap hari harus berjalan kaki 8 kilometer menuju ke sekolah. Dalam setiap perjalanan itu mereka harus melewati dua sungai besar yang kerap banjir ketika hujan tiba (Kompas, 11/1/2019).
Terakhir yaitu faktor tingkat pendidikan penduduk. Rendahnya motivasi anak terhadap pendidikan juga berangkat dari rendahnya tingkat pendidikan keluarga dan lingkungan sekitar. Sementara jika menengok kembali data BPS per provinsi tahun 2019, masih ada sejumlah provinsi dengan rata-rata lulusan pendidikan yang rendah. Misalnya, di Papua dan Kalimantan Barat.
Berbagai tantangan pendidikan yang belum tuntas terselesaikan kini menjadi semakin kompleks oleh pandemi Covid-19. Virus yang mudah menular sekaligus berpotensi mematikan ini mengubah sistem pembelajaran dari tatap muka menjadi jarak jauh.
Setidaknya ada tiga hal yang akan berpengaruh selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini. Ini tergambarkan dalam Simulating The Potential Impacts of COVID-19 School Clores on Schooling and Learning Outcomes: A Set of Global Estimates (Bank Dunia, 2020). Tiga hal itu yaitu berkurangnya lama harapan hidup, hilangnya keterampilan akademik, dan bertambahnya siswa di bawah ambang batas kemahiran minimum.
Tiga hal itu dapat diantisipasi oleh sejumlah variabel. Di antaranya durasi PJJ, di mana semakin lama PJJ akan berpengaruh buruk. Kecuali disokong oleh perbaikan di variabel lain, seperti kebijakan pemerintah, akses di daerah yang tidak terjangkau, dan efektifitas PJJ yang didukung oleh kualitas tenaga pengajar. Selain itu, variabel berkurangnya pendapatan di dalam keluarga juga turut berpengaruh.
Berbagai persoalan yang dihadapi pendidikan layak menjadi prioritas utama pemerintah. Sebab, sebagai aset jangka panjang, pendidikan kelak akan memengaruhi keberhasilan kemajuan sebuah negara. (LITBANG KOMPAS)