Meramu Herbal untuk Pengobatan Covid-19
Berbagai penelitian pengobatan dilakukan untuk menekan jumlah korban dan mengendalikan infeksi virus korona, salah satunya dengan pengobatan herbal.
Pandemi Covid-19 mengakselerasi pengembangan obat di seluruh dunia, salah satunya jenis obat tradisional berbahan dasar herbal. Pengobatan herbal menjadi salah satu alternatif metode pengendalian infeksi virus korona.
Berbagai upaya dilakukan untuk menekan penyebaran virus korona yang menyerang saluran pernapasan manusia, termasuk membuat banyak inovasi dalam perawatan, pengobatan, dan vaksin. Namun, hingga saat ini belum ada obat atau vaksin yang dipastikan dapat melawan virus SARS-CoV-2.
Dari banyak inovasi yang dihasilkan, salah satu poin penting adalah pengembangan obat herbal yang telah ramai sejak awal munculnya kasus infeksi. Setidaknya ada tiga definisi tentang obat berbahan dasar herbal menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu obat tradisional, pengobatan alternatif, dan obat herbal.
Pengobatan menggunakan bahan-bahan alami berkembang pesat di luar negeri, khususnya kawasan Asia Timur, seperti China dan Korea Selatan. Puluhan jenis ramuan telah dibuat dan diberikan kepada pasien infeksi Covid-19. Setidaknya ada 28 panduan penggunaan obat herbal di China dan Korea Selatan.
Beberapa bahan yang digunakan sudah sering dijumpai, seperti bawang putih, jahe, ginseng merah, dan tanaman eucalyptus. Khasiat bahan-bahan tersebut adalah mengendalikan gejala demam hingga gangguan pada organ tubuh di bagian perut.
Indonesia juga terus mengembangkan pengobatan menggunakan obat herbal. Pengembangan obat herbal salah satunya dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Obat herbal yang dikembangkan bertujuan untuk menjamin kemandirian pengobatan dalam negeri.
LIPI mulai menguji klinis terapi peningkatan daya tahan tubuh untuk menangani Covid-19 yang berbahan dasar herbal. Produk ini diharapkan bisa mendukung kemandirian obat di Indonesia. Total ada dua produk yang dibuat, yaitu hasil ekstraksi jamur Cordyceps militaris dan berbahan dasar kombinasi herbal.
Kombinasi herbal yang digunakan meliputi daun sembung, meniran, jahe merah, dan sambiloto. Total ada 90 orang yang telah diuji coba menggunakan produk tersebut. Hasilnya akan diumumkan pada 16 Agustus 2020.
Penelitian produk immunomodulator dilakukan secara bersama oleh LIPI, Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, dan tim dokter Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran.
Cara lain yang dilakukan Indonesia adalah pembuatan produk eucalyptus dari Kementerian Pertanian. Ada empat produk berbahan eucalyptus yang diramu, yaitu formula aromatik, ramuan inhaler, ramuan serbuk nanoenkapsulat, dan minyak atsiri.
Secara global, pengembangan obat berbahan dasar herbal memiliki target jelas yang dijelaskan dalam empat poin oleh WHO di dokumen The WHO Traditional Medicine Strategy 2014-2023. Poin pertama adalah kebijakan, dilanjutkan jaminan keamanan, efisiensi, serta kualitas bahan herbal.
Berikutnya, akses menyeluruh ke berbagai lapisan masyarakat di banyak lokasi. Terakhir, penggunaan yang rasional untuk menjamin fungsi obat agar tetap sesuai tujuan awal, yaitu menjaga dan meningkatkan sistem imunitas tubuh manusia.
Eksistensi obat herbal memiliki posisi yang makin menguat di seluruh dunia. Berdasarkan data WHO, 98 dari 194 negara anggota telah memiliki aturan nasional tentang obat tradisional, termasuk di dalamnya obat herbal.
Panduan pengobatan
WHO secara berkala memperbarui pedoman pengobatan penyakit Covid-19, seiring dengan kecepatan informasi yang bertambah mengenai pengobatan infeksi virus korona. Terbaru, perbaikan dokumen pedoman tersebut dirilis pada 30 Juli 2020.
Dokumen panduan pengobatan Covid-19 meliputi banyak aspek, mulai pengobatan berbahan kimia sintetis hingga alami. Dalam perkembangannya, obat herbal dapat dikombinasikan dengan obat kimia sintetis.
Tujuan perbaikan dokumen tersebut adalah memastikan penyedia layanan kesehatan, pasien, dan pakar kebijakan kesehatan publik memiliki informasi terbaru mengenai pengelolaan Covid-19 yang optimal. Pada edisi 30 Juli 2020, perbaikan fokus pada penggunaaan kortikosteorid alternatif, seperti hidrokortison, metilprednisolon, dan prednisone.
Pada dasarnya, kortikosteroid adalah obat yang berguna untuk meredakan peradangan atau inflamasi serta menekan kerja sistem kekebalan tubuh yang berlebihan. Secara alami, tubuh juga memproduksi kortikosteroid di kelenjar andrenal bagian terluar atau korteks.
Edisi pedoman sebelumnya, pada 24 Juli 2020, WHO merevisi ketentuan penggunaan obat remdesivir terkait kebutuhan oksigen. Saat ini, remdesivir dapat digunakan untuk semua pasien yang membutuhkan oksigen tambahan. Sebelumnya, remdesivir hanya digunakan untuk pasien yang menggunakan oksigen aliran tinggi.
Pedoman pengobatan dari WHO juga mencantumkan penggunaan vitamin C, vitamin D, dan suplemen seng sebagai tambahan untuk pengobatan pasien infeksi Covid-19. Perkembangan obat untuk penanganan infeksi virus korona belum berhenti. Semua pihak berpacu dengan cepat agar segera mampu mengendalikan laju infeksi virus korona.
Obat virus korona
Jenis pengobatan untuk infeksi virus korona terus berkembang. Hingga 30 Juli 2020, WHO mencatat ada enam jenis pengobatan yang dinilai efektif atau berpotensi tinggi untuk mengendalikan infeksi virus SARS-CoV-2.
Obat pertama adalah Azithromycin (AZM) yang dominan digunakan untuk infeksi mikobakteria, seperti tuberkulosis. Pada infeksi lanjut, kondisi paru-paru akan memburuk dan menyebabkan muncul gejala batuk, kehilangan berat badan, demam, hingga berkeringat saat malam.
Pengujian obat AZM dilakukan dengan kombinasi Hydroxychloroquine (HCQ). Dosis yang digunakan sebanyak 500 mg PO dalam sehari, kemudian dilanjutkan 250 mg PO pada hari kedua hingga kelima. Efek yang muncul setelah pengobatan AZM adalah pengendalian efek gastrointestinal, meliputi diare, mual, dan muntah.
Obat berikutnya adalah Chloroquine (klorokuin) yang dikenal sebagai obat antimalaria. Salah satu efek yang ditimbulkan adalah mampu memodulasi sistem imun tubuh ke arah normal sehingga mampu menguatkan sistem imun atau dikenal dengan imunomodulator.
Serupa dengan Chloroquine, obat Hydroxychloroquine (HCQ) memiliki respons yang sama ketika digunakan untuk pengobatan infeksi virus korona, yaitu imunomodulator. Pada dasarnya, HCQ dipakai untuk penyakit lupus dan malaria.
Chloroquine diberikan sebanyak 1 gm PO pada hari pertama, kemudian menjadi 500 mg pada hari keempat hingga ketujuh. Sementara HCQ lebih diperuntukkan bagi pasien dewasa dengan berat lebih dari 50 kg. Dosis yang diberikan 800 mg pada hari pertama, kemudian dilanjutkan 400 mg pada hari keempat hingga ketujuh.
Ritonavir/Lopinavir juga digunakan untuk pengobatan pasien Covid-19. Obat tersebut berfungsi sebagai pengendali pada gangguan perut, seperti mual, muntah, dan diare. Dosis yang dipakai dua kali sehari sebanyak masing-masing 100 mg selama 10-14 hari.
Terakhir, remdesivir yang digunakan secara spesifik, sesuai kondisi pasien. Ragam gejala infeksi menentukan dosis yang dipakai. Secara umum, efek yang muncul setelah pengobatan cukup banyak, salah satunya mengendalikan gangguan perut pada pasien infeksi.
Tantangan obat herbal
Penanganan secara alami menggunakan obat atau bahan-bahan herbal menjadi salah satu cara di dunia medis untuk mengatasi wabah penyakit. WHO mencatat ratusan negara telah mengembangan obat herbal dengan aturan yang jelas.
Dalam perkembangannya, obat herbal juga menemui banyak hambatan. Penelitian dan pengembangan bahan-bahan alami tidak mampu berkembang pesat dan signifikan tanpa dukungan maksimal dari berbagai pihak.
Hambatan pertama adalah terbatasnya data hasil penelitian serta minimnya literatur ilmiah yang melatarbelakangi penelitian obat herbal. Secara umum, latar belakang obat herbal bermula dari kearifan lokal yang cukup sulit dibuktikan secara ilmiah.
Sebanyak 98 dari 194 negara anggota WHO telah memiliki aturan nasional tentang obat tradisional, termasuk di dalamnya obat herbal.
Pengembangan obat herbal juga terhambat pendanaan yang belum maksimal. Keterbatasan modal berdampak pada variasi bahan hingga kemutakhiran teknologi yang digunakan. Kemampuan ahli belum sepenuhnya terfasilitasi dengan maksimal.
Selain hambatan literatur dan pendanaan, riset obat herbal memiliki tantangan besar lain, yaitu bersifat subyektif. Khasiat yang dirasakan akan berbeda tiap orang, tergantung kedekatan budaya dan lingkungan tempat hidup. Hal tersebut menjadi masalah dalam pengujian hipotesis ilmiah.
Keberadaan obat herbal menjadi penyeimbang penggunaan obat-obat berbahan kimia yang masif. Keunggulan obat herbal adalah menggunakan bahan-bahan alami. Di sisi medis, tenaga kesehatan mulai menerima produk obat tradisional.
Pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Hingga 10 Agustus 2020, kasus infeksi telah mencapai lebih dari 20 juta kasus di seluruh dunia dengan kematian sedikitnya 700.000 orang.
Baca juga : Harapan Pengobatan Virus Korona
Sementara di Indonesia, penambahan kasus harian konsisten di atas 1.000 kasus. Data per 9 Agustus 2020, telah bertambah 1.893 kasus sehingga jumlahnya menjadi 125.396 kasus. Sebanyak 38.721 orang masih menjalani perawatan.
Berbagai cara harus ditempuh untuk menekan jumlah korban dan mengendalikan infeksi, salah satunya dengan pengobatan herbal. Keberadaannya turut menjadi penguat penanganan pasien korona. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Hidup Sehat Pascapandemi