Pekerja di Tengah RUU Cipta Lapangan Kerja
Revisi UU Ketenagakerjaan merupakan salah satu bagian yang mendapat sorotan dalam penyusunan RUU Omnibus Law. Tak hanya kalangan dari dalam negeri, organisasi internasional pun ikut memberi perhatian terhadap isu itu.
RUU Cipta Lapangan Kerja atau biasa disebut RUU Omnibus Law menuai kritik. Salah satu bagian yang paling dikhawatirkan dalam rancangan undang-undang ini adalah revisi UU Ketenagakerjaan.
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi salah satu undang-undang yang direvisi dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yang secara keseluruhan mencakup revisi dari 79 UU.
Melalui RUU itu, 30 pasal dalam UU No 13/2003 akan diubah dan 28 pasal lainnya dihapus. Selain itu, RUU ini, menurut rencana, juga menyelipkan 15 pasal tambahan ke dalam UU Ketenagakerjaan.
Salah satu bagian yang kontroversial dari RUU Omnibus Law adalah revisi Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Pasal ini mengatur jenis pekerjaan dan lama waktu kontrak bagi pekerja dengan status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pegawai kontrak.
Dalam UU Ketenagakerjaan diatur bahwa pegawai kontrak hanya boleh dipekerjakan untuk menggarap tugas yang bersifat sementara atau sekali selesai, pekerjaan dengan waktu penyelesaian paling lama tiga tahun, pekerjaan musiman, dan percobaan produk atau kegiatan baru. Intinya, dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja kontrak tak boleh direkrut untuk menggarap pekerjaan tetap atau core business perusahaan.
Selain itu, Pasal 59 UU Ketenagakerjaan mengatur lama masa PKWT. Dalam pasal itu disebutkan bahwa perusahaan hanya boleh mempekerjakan karyawan kontrak 2 tahun dan boleh diperpanjang 1 kali selama 1 tahun. Artinya, pegawai kontrak hanya bisa dikontrak paling lama 3 tahun.
Dalam RUU Omnibus Law Pasal 59 UU Ketenagakerjaan akan dihapus. Akibatnya, pegawai kontrak bisa dipekerjakan untuk menggarap tugas utama bisnis perusahaan. Orang juga dapat dikontrak selama-lamanya, asalkan ada kesepakatan kedua pihak.
Bagi perusahaan, penghapusan pasal ini membuat PKWT menjadi pilihan menarik. Tugas yang sebelumnya hanya bisa ditangani karyawan tetap akan dapat dikerjakan pekerja kontrak. Hal ini semakin mudah untuk dijalankan, mengingat ketiadaan batas waktu bagi perusahaan untuk mengontrak pegawai.
Baca juga: Jalan Tengah untuk RUU Cipta Kerja
Namun, penghapusan pasal tersebut berpotensi merugikan pekerja kontrak dan pencari kerja. Bukan tak mungkin, orang akan terus dipekerjakan sebagai pegawai kontrak. Tanpa status karyawan tetap, jaminan atas pekerjaan, keselamatan kerja, dan jenjang karier mungkin sulit dicapai.
Meski demikian, pegawai PKWT diberikan sedikit perlindungan dalam RUU Omnibus Law melalui Pasal 61A dan 62. Lewat dua pasal itu, pegawai kontrak dipenuhi hak pembayarannya jika kontraknya diputus di tengah jalan oleh perusahaan.
Namun, hak tersebut hanya dapat dibayarkan jika pekerja kontrak telah bekerja selama satu tahun. Selain itu, ketentuan ini berlaku dua arah. Artinya, apabila pegawai PKWT memutus hubungan kontrak kerja secara sepihak, pegawai harus membayar ganti rugi kepada perusahaan sebesar upah selama masa kontrak.
Upah minimum
Hal lain yang menuai kritik dari RUU Omnibus Law ialah perubahan Pasal 88 dan penghapusan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Dalam ketentuan Pasal 88 dan Pasal 89, perusahaan wajib membayar upah sesuai dengan upah minimum. Adapun upah minimum terdiri dari upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK), atau upah minimum sektoral.
Namun, dengan diubah dan dihapusnya dua pasal itu, standar upah minimum yang berlaku bagi pekerja hanya upah minimum provinsi yang ditentukan gubernur. Hal ini memunculkan masalah, mengingat kemungkinan ada perbedaan standar hidup yang layak serta perbedaan nilai upah minimum di antara kota dan kabupaten di provinsi yang sama.
Dengan diubah dan dihapusnya dua pasal itu, standar upah minimum yang berlaku bagi pekerja hanya upah minimum provinsi yang ditentukan gubernur.
Salah satu contoh adalah Kabupaten Karawang. Pada 2020, UMK Karawang berada di angka Rp 4,5 juta per bulan. Padahal, UMP di Jawa Barat jauh lebih rendah, yakni di angka Rp 1,8 juta per bulan.
Karena itu, apabila RUU Omnibus Law disahkan, perusahaan yang berada di Kabupaten Karawang bisa memberikan upah yang jauh lebih sedikit. Padahal, besar kemungkinan UMP Jawa Barat tak memadai untuk memberikan kehidupan yang layak bagi pekerja di Karawang.
Contoh lain dari perubahan di RUU Omnibus Law yang menuai protes adalah perubahan Pasal 93 UU Ketenagakerjaan yang mengatur cuti dan istirahat serta Pasal 77 dan 78 yang mengatur jam kerja. Perubahan itu berpotensi merugikan pegawai karena beban jam kerja bertambah, sementara hak mereka untuk cuti berbayar kian sedikit.
Perubahan pada Pasal 77 dan 78 membuat perusahaan hanya wajib memberikan libur 1 hari dalam 1 minggu. Selain itu, lewat perubahan tersebut, pekerja dapat dilemburkan hingga 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu.
Adapun perubahan Pasal 93 menghilangkan kewajiban perusahaan membayar upah kepada pekerja jika tak masuk akibat menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan, dan menjalankan ibadah. Kewajiban membayar upah juga hilang jika pegawai melaksanakan tugas serikat pekerja, sakit karena haid hari pertama dan kedua, serta ada anggota keluarga yang meninggal. Bahkan, pekerja bisa tak dibayar upahnya jika sedang menjalankan kewajiban terhadap negara.
Sorotan publik dan dunia
Isu ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law mendapat sorotan dari masyarakat Indonesia dan dunia internasional. Di dalam negeri, menurut jajak pendapat Litbang Kompas, Februari lalu, sebagian besar masyarakat memilih penerapan regulasi yang terkandung dalam UU Ketenagakerjaan dibandingkan dengan yang akan diatur dalam Omnibus Law.
Dari lima isu, yakni ketentuan upah minimum, tenaga kerja asing, PKWT, jam lembur, dan PHK, hanya aturan terkait tenaga kerja asing di RUU Omnibus Law yang mendapat respons positif dari masyarakat. Terkait dengan isu itu, ada lebih dari 55 persen responden mengaku setuju dengan perubahan di dalam RUU Omnibus Law.
Di sisi lain, dalam isu ketentuan upah minimum, PKWT, jam lembur, dan PHK, mayoritas publik memilih ketentuan yang tersusun pada UU Ketenagakerjaan. Bahkan, dalam hal PHK, nyaris 84 persen responden cenderung menolak ketentuan RUU Omnibus Law.
Isu ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law mendapat sorotan dari masyarakat Indonesia dan dunia internasional.
Dari luar negeri, salah satu pihak yang menyuarakan penolakan terhadap RUU Omnibus Law adalah International Trade Union Confederation (ITUC), lebih spesifiknya ITUC Asia Pacific (ITUC-AP). Organisasi buruh internasional yang mengayomi 200 juta buruh di 163 negara ini mengirim surat kepada Pemerintah RI atas ketidaksetujuan mereka terhadap RUU Omnibus Law.
ITUC-AP menunjukkan, RUU Omnibus Law berpotensi melanggar beberapa poin dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization Conventions), seperti ILO Conventions Nomor 98 yang mengatur hak berorganisasi dan perundingan bersama. RUU Omnibus Law juga berpotensi melanggar ILO Conventions Nomor 100 tentang kesetaraan remunerasi dan Nomor 144 tentang konsultasi tripartit. Hal ini disimpulkan dari 6 risiko terhadap buruh yang berpotensi terjadi jika RUU Omnibus Law disahkan. Keenamnya meliputi kacaunya sistem upah minimum, penghapusan ketentuan uang pesangon, penggunaan PKWT yang berlebihan, penghapusan skema kesehatan dan pensiun, risiko terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja, serta hilangnya konsultasi pekerja dengan serikat.
Bank Dunia juga menyuarakan kekhawatiran. Dalam laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) yang dikeluarkan pada Juli 2020, Bank
Dunia memasukkan Omnibus Law menjadi salah satu agenda yang perlu diperhatikan.
Menurut Bank Dunia, jika dieksekusi dengan baik, RUU Omnibus Law bisa menjadi langkah tepat bagi Indonesia mereformasi kebijakan investasi secara fundamental. Penghapusan hambatan investasi, termasuk praktik diskriminasi terhadap investor asing, akan memberikan sinyal positif kepada investor. Alhasil, RUU ini dinilai mampu menambah investasi ke Indonesia hingga 6,8 miliar dollar AS.
Namun, Bank Dunia juga menilai draf RUU Cipta Lapangan Kerja masih sarat masalah. Beberapa hal yang digarisbawahi adalah potensi kerusakan lingkungan, ancaman pada kesehatan dan keselamatan masyarakat, serta hak pekerja. Menurut Bank Dunia, di tengah perekonomian yang sulit dan maraknya PHK akibat pandemi, pengesahan RUU Omnibus Law akan memperlebar kesenjangan sosial. (Litbang Kompas)