Pedang Bermata Dua Ketahanan Pangan
Melihat kenyataan serta pengalaman yang telah ada, pemerintah perlu mencermati efek pedang bermata dua dari program lumbung pangan.
Program lumbung pangan atau food estate yang lama digagas pemerintah ibarat pedang bermata dua menuju swasembada dan ketahanan pangan. Pengalaman menunjukkan lumbung pangan tidak berjalan dan malah menjadi beban lingkungan.
Berbicara ketahanan pangan tak lepas dari tantangan swasembada. Di Indonesia, swasembada pangan biasanya dikaitkan dengan nostalgia peringatan 40 tahun serta Konferensi Ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), November 1985, di Roma, Italia. Indonesia dinilai berjasa menyusun kebijakan pangan sehingga mencapai swasembada (1984) dan menjaga stabilitas ketahanan pangan.
Saat itu, Presiden Soeharto juga menyerahkan 100.000 ton padi sumbangan petani Indonesia untuk korban kelaparan di Afrika. Meskipun demikian, berdasarkan data FAO, Indonesia masih mengimpor beras pada 1984. Bagaimanapun, jumlahnya jauh lebih kecil daripada tahun 1977 dan 1980.
Impor beras berlanjut dalam frekuensi yang berfluktuasi. Berdasarkan data dari Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman Pangan 2015, pola perkembangan produksi padi 1980-2015 berfluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat. Laju pertumbuhan rata-ratanya 2,76 persen per tahun.
Sementara itu, pada kurun waktu 1983-2014, perkembangan ekspor-impor beras Indonesia berfluktuasi tajam. Volume impor beras cenderung lebih tinggi daripada ekspor. Volume impor beras meningkat rata-rata 909,38 ton atau 523,09 persen per tahun.
Dalam Outlook disebutkan pula sejumlah negara produsen beras yang cenderung mengalami kekurangan pasokan untuk konsumsi. Negara-negara itu meliputi China, Indonesia, Bangladesh, Filipina, dan Jepang.
Kekurangan terjadi sebagai akibat total konsumsi beras yang lebih besar dibandingkan dengan pasokan beras dari produksi. Kekurangan pasokan beras tertinggi pada 2009-2013 dialami China (2,51 juta ton), lalu Indonesia 1,95 juta ton.
Iklim dan pandemi
Krisis pangan ke depan diprediksi akan menguat. Hal ini tidak hanya diakibatkan musim yang kian sulit diprediksi, tetapi juga akibat pengurangan produksi pangan di tengah pandemi Covid-19.
Dengan pertimbangan tersebut, beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo menegaskan, pemerintah mengembangkan program lumbung pangan nasional secara bertahap. Untuk tahap awal, lumbung yang akan digarap 10.160 hektar di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 hektar di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, tahun ini (Kompas, 10/7/2020).
Pada awal Mei, pemerintah menyatakan akan menyiapkan sekitar 900.000 hektar lahan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya beras. Sekitar 300.000 di antaranya berlokasi di Kalteng melalui program mencetak sawah.
Hal ini menjadi bagian dari pembangunan lumbung pangan yang sudah diusulkan sejak 2017. Program ini akan memanfaatkan lahan sawah garapan warga di bekas lahan gambut yang dibuat 25 tahun lalu.
Namun, rencana berjalan dalam balutan sejumlah kekhawatiran. Salah satunya, lahan gambut pertanian kerap kali akhirnya terbengkalai dan menimbulkan bencana kebakaran.
Kekhawatiran lain menyangkut produktivitas pertanian di lahan gambut. Tahun 2016, program mencetak sawah gambut dinilai tidak berhasil. Dari 86 hektar sawah yang dicetak, beras yang diproduksi hanya sekitar 5 ton (Kompas, 8/5/2020).
Konsep lumbung pangan
Lumbung pangan versi pemerintah berupa pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategis pertahanan negara (Kompas, 16/7/2020). Ditekankan pula bahwa lumbung pangan bukan program mencetak sawah.
Lumbung pangan ini mengembangkan pusat pangan yang terintegrasi. Komoditas seperti padi, singkong, jagung, dan lainnya dikembangkan terintegrasi sesuai dengan situasi dan kondisi lahan.
Dengan demikian, lumbung pangan mencakup bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan. Program ini melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian BUMN, serta pemerintah daerah.
Lumbung pangan versi pemerintah berupa pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategis pertahanan negara.
Bulog bertugas menyiapkan gudang beras dan penggilingan (rice milling) dengan target dapat dipakai mulai Oktober 2020. Semua itu bertujuan membentuk cadangan logistik strategis untuk pertahanan negara serta membantu Kementerian Pertanian dan Bulog jika suatu saat terjadi kekurangan suplai pangan.
Program ini, menurut rencana, disiapkan dalam dua model bisnis. Pertama, pertanian korporasi atau ada perusahaan pengelola yang mempekerjakan petani sebagai buruh. Kedua, pertanian korporasi berbasis petani kecil, dalam arti perusahaan menjadi penjamin, sementara petani sebagai pemilik lahan yang bermitra.
Namun, munculnya gagasan lumbung pangan tetap saja mengejutkan dari sisi perencanaan. Program lumbung pangan tak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Program lumbung pangan juga tidak masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kalimantan Tengah. Meski demikian, gagasan lumbung pangan disinggung dalam RAPBN 2021 dengan sebutan pengembangan kawasan pangan berskala luas.
Penopang swasembada
Secara konsep, lumbung pangan dapat menjadi salah satu penopang terwujudnya swasembada. Adapun swasembada dimaknai kemampuan produksi secara mandiri, tanpa impor sama sekali. Kalaupun ada impor, sifatnya hanya cadangan.
Bagaimanakah fakta yang terjadi selama ini? Melihat data BPS 2019, ada surplus 1,3 juta ton dalam posisi panen. Di luar masa panen raya, rata-rata diperlukan 2,5 juta ton per bulan dalam setahun. Artinya, mau tak mau harus ada impor. Surplus beras selalu harus diamankan, terutama di akhir tahun.
Baca juga : Basis Pertahanan Berdaulat Pangan
Kemunculan impor, menurut peneliti Indef, Rusli Abdulah, menjadi konsekuensi logis dari proses produksi. Harus diingat, ada masa terjadi panen produk pangan dan juga sebaliknya sehingga ketersediaan pangan bisa mengalami defisit ataupun surplus.
Pemerintah juga harus mencermati realisasi sejumlah program lumbung pangan pada masa lalu. Menurut Dwi Andreas Santosa, Guru Besar dan Kepala Bioteknologi IPB, semua program jutaan hektar lumbung pangan berakhir dengan kegagalan. Lumbung pangan yang dimaksud antara lain Bulungan (300.000 hektar), lumbung pangan Ketapang (100.000 hektar), dan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dengan luas 1,23 juta hektar (Kompas, 3/8/2020).
Program tersebut tidak berjalan karena melawan empat hal dasar terkait pertanian. Poin pertama menyangkut kelayakan tanah. Berikutnya adalah kelayakan infrastruktur, baik irigasi maupun transportasi untuk input dan output dari lahan usaha tani. Dua hal dasar lainnya meliputi kelayakan budidaya dan teknologi serta kelayakan sosial ekonomi.
Semua program jutaan hektar lumbung pangan berakhir dengan kegagalan.
Dalam kerangka swasembada, harus disadari bahwa upaya pencapaiannya tak mudah. Merujuk buku Memperkuat Swasembada Pangan (Effendi Pasandaran dkk, Balitbang Pertanian, 2015), sumber daya pertanian yang kian terbatas menjadi penyebab tak tercapainya swasembada.
Keterbatasan ini terletak pada sisi kualitas dan kuantitas. Adapun keterbatasan sumber daya terutama menyangkut lahan, air, vegetasi, dan manusia.
Kondisi kian diperparah dengan peningkatan risiko gangguan produksi pertanian akibat efektivitas lahan gambut yang rendah dan rentan terbakar, perubahan ekstrem iklim global, serta dampak pandemi Covid-19. Melihat kenyataan serta pengalaman yang ada, rasanya tak berlebihan jika pemerintah mencermati efek pedang bermata dua dari program lumbung pangan.
(LITBANG KOMPAS)