Pandemi Mengikis Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Pandemi Covid-19 memperkuat fakta minimnya akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dan besarnya ketergantungan mereka pada peran swasta.
Perjalanan pendidikan luar biasa di Indonesia sejak awal sudah dirintis oleh pihak swasta. Sebelum masa kemerdekaan, pemerintah Hindia Belanda sendiri mengakui tak ada perhatian khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
Penyelenggaraan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) saat itu diserahkan ke yayasan sosial Belanda yang mendirikan cabang di Indonesia. Selebihnya, pendidikan untuk ABK adalah hasil dari inisiatif masyarakat.
Merujuk penelitian Ami Lestari dari Universitas Sumatera Utara, 2018, setidaknya ada tiga sekolah anak berkebutuhan khusus yang pernah didirikan pihak Belanda. Sekolah tersebut adalah Blinden Institut (1901) dan Folker School (1927) di Bandung, Jawa Barat, lalu Werk Voor Misdeelde Kinderen Indonesia yang kemudian menjadi Yayasan Dana Uphakara (1930) di Wonosobo, Jawa Tengah.
Hadirnya Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) yang didirikan Dr Suharso pada 1953 bisa dibilang juga berperan penting dalam perkembangan pendidikan ABK. Pada masa itu yang harus ditolong tak cuma mereka yang menderita luka dan cacat pascaperang kemerdekaan, tetapi juga masyarakat umum, terutama anak-anak, yang cacat sejak lahir. YPAC pun kemudian merintis usaha rehabilitasi dan pendidikan yang lengkap, termasuk mendirikan sekolah luar biasa (SLB) di 11 kota di Indonesia.
Baca juga: Gairah Penyandang Disabilitas dalam Berwirausaha
Peran pemerintah
Awal tahun 1960-an barulah pemerintah menunjukkan perannya. Tahun 1963, misalnya, ketika ada reorganisasi dalam organisasi Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, urusan SLB dikelola oleh Direktorat Pendidikan Pra-Sekolah, Sekolah Dasar, dan Sekolah Luar Biasa.
Namun, di masa tersebut peran swasta tetap besar. Sampai tahun 1975, hanya sembilan SLB berstatus sekolah negeri dari 150 SLB yang tercatat (Kompas, 24/11/1975).
Mimin Casmini dalam tulisannya di Jurnal Pendidikan Segregasi (2010) memaparkan keterbatasan sekolah SLB pada 1984. Saat itu, pemerintah menerapkan Gerakan Wajib Belajar (Wajar) enam tahun (1984), di mana semua anak usia sekolah harus menuntaskan pendidikan sampai tingkat sekolah dasar.
Sarana SLB hanya ada di kota-kota besar saja dan itu pun kebanyakan dikelola oleh pihak swasta.
Peran swasta dalam PLB ternyata masih berlangsung sampai sekarang. Mengacu pada data Statistik PLB 2019-2020, dari total 2.270 sekolah yang ada, hanya 26,12 persen yang berstatus negeri, sementara 73,88 persen berstatus swasta (Statistik PLB 2019-2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020).
Baca juga: Anak-anak Berkebutuhan Khusus Membingkai Masa Depan dari Rumah
Partisipasi sekolah
Situasi pendidikan luar biasa di Indonesia memang masih memprihatinkan. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin rendah partisipasi bersekolah ABK.
Menurut data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) tahun 2018, ada 3 dari 10 anak penyandang disabilitas di Indonesia tak pernah bersekolah. Sekitar 140.000 anak berkebutuhan khusus usia 7-18 tahun tak melanjutkan sekolah.
Angka partisipasi sekolah tertinggi ada di kelompok pendidikan dasar di usia 7-12 tahun (89,78 persen) hingga menengah di umur usia 13-15 tahun (74,88 persen). Angka partisipasi sekolah itu terus menurun pada kelompok pendidikan menengah atas usia 16-18 tahun (43,61persen) dan pendidikan tinggi 19-23 tahun (21,64 persen).
Mereka yang tidak bersekolah pun mengerucut pada dalam kelompok pendidikan menengah umur 13-15 tahun (30,62 persen) dan pendidikan menengah atas usia 16-18 tahun (51,01 persen). Sementara itu, jika dilihat dari pendidikan tertinggi yang ditamatkan (penduduk usia 15 tahun ke atas), tamat SD-lah yang tertinggi (25,83 persen), sedangkan tamat sekolah menengah atau sederajat kurang dari 10 persen.
Masalah pendidikan ini juga tak lepas dari kondisi keluarga yang memiliki ABK di Indonesia. Faktor pendidikan orangtua, ditambah lagi dengan beban rasa malu, menjadi salah satu kendala bagi pemerintah untuk mengakses keluarga dengan ABK.
Usman Basuni, Asisten Deputi Perlindungan Anak Berkebutuhan Khusus Kementerian Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pernah mengungkapkan bahwa mayoritas pendidikan orangtua ABK adalah tidak tamat SD (Kompas.com, 29/7/2020).
Tidak aneh jika orangtua kemudian kerap menyembunyikan keadaan anaknya sehingga tak terdata di fasilitas kesehatan ataupun dinas sosial setempat. Kondisi ini bisa semakin parah jika orangtua menganggap ABK sebagai kelainan jiwa dan memasung sang anak.
Baca juga: Angka Partisipasi Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Sangat Rendah
Lingkungan dan ekonomi
Publikasi Unicef juga menyoroti kendala lingkungan dan ekonomi terhadap keberadaan ABK. Sebanyak 47 persen mereka masih tinggal di perdesaan dan dari separuh ABK yang ada di Indonesia, 40 persen di antaranya berasal dari keluarga miskin.
Tak berlebihan jika pada akhirnya kesempatan untuk mendapat pendidikan yang sesuai lebih tersedia di kota-kota besar. Namun, ini tidak berarti mereka yang tinggal di kota tak mengalami kendala.
Sebagai contoh, biaya pendidikan untuk ABK autis di salah satu sekolah swasta di Jakarta harus diakui tidaklah murah. Sekolah di bilangan Jakarta Selatan ini menyediakan tempat terapi dan sekolah untuk individu spektrum autistik (SA) dengan biaya mencapai puluhan juta.
Rinciannya, uang pangkal sekolah senilai Rp 17 juta untuk lima tahun, biaya SPP Rp 2,6 juta, dan biaya terapi individu Rp 150.000 per jam. Namun, faktanya mereka sungguh-sungguh bisa menyediakan kebutuhan pendidikan ABK autis dengan standar ideal.
Ketika masa pandemi seperti sekarang, sekolah tersebut pun harus mengalami masa-masa sulit.
Masalahnya, mendidik seorang anak autis mensyaratkan adanya rutinitas terjaga. Anak autis tidak bisa serta-merta mengubah kebiasaan, seperti mengikuti kebijakan pemerintah untuk menjalankan pendidikan jarak jauh (PJJ).
Karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB), banyak murid yang terpaksa belajar di rumah, sedangkan guru yang terlibat tetap harus dibayar. Sementara itu, mendidik anak autis di rumah menjadi beban baru tersendiri bagi orangtua. Anak autis juga membutuhkan terapi individual setelah pelajaran.
Baca juga: Peran Ganda Orangtua dengan Anak Berkebutuhan Khusus Selama Pandemi Covid-19
Keterbatasan pemerintah
Melihat rendahnya akses dan kendala ABK di dunia pendidikan, idealnya pemerintah bisa lebih berperan mendukung hak warga negara ini.
Pada tahap awal, pemerintah seharusnya mampu mendata secara lengkap ABK serta menyepakati pengertian dan konsep penanganan ABK.
Sementara itu, sejauh ini pemerintah juga belum memiliki data ABK secara lengkap. Pengertian dan konsep-konsep penanganan ABK pun kerap kali masih beragam antarlembaga pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Berbicara soal data, catatan Kementerian PPPA menunjukkan adanya selisih jumlah dengan data yang dihimpun Badan Pusat Statistik dan Kemendikbud (Kompas.com, 29/7/2020).
Masalah data tersebut, bagi Adriana S Ginanjar (56 tahun), psikolog yang juga mengkhususkan diri dalam pendidikan anak autis, bukanlah hal baru. Persoalan data ABK pernah dialaminya saat terlibat beberapa tahun lalu ketika aktif membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam sejumlah sosialisasi autisme.
Dalam aspek pendidikan, penyusunan kurikulum bagi ABK di kementerian terkait juga sempat mengalami masa-masa ”bongkar-pasang” . ”Begitu ganti pejabat, semua yang sudah kami susun, termasuk kurikulum untuk anak autis, harus mulai dari nol lagi,” ujar Adriana.
Begitu juga saat membantu sejumlah pemda dalam persiapan sarana pendidikan ABK. Hal Ini terkait dengan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 yang mewajibkan pemerintah kabupaten/kota harus menyediakan sedikitnya satu sekolah dasar, sekolah menengah pertama di setiap kecamatan, dan satuan pendidikan menengah untuk pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus.
Tidak jarang sarana yang sudah disediakan malah tidak sesuai dengan standar prosedur sebuah disabilitas. Belum lagi kondisi daerah yang belum tentu mempunyai guru-guru yang berpengalaman dalam mengajar ABK, sementara pengetahuan para orangtua di daerah tentang kondisi ABK pun masih memerlukan banyak sosialisasi.
Kondisi ABK memang memerlukan perhatian yang sangat serius, sama seriusnya seperti mengelola sistem pendidikan pada umumnya. Apalagi sekarang dalam kondisi pandemi, banyak perubahan ataupun penyesuaian yang sudah pasti tidak mudah bagi keluarga dengan ABK.
Harus ada komitmen pemerintah bersama sejumlah kementerian terkait untuk bersama-sama membangun dunia yang lebih baik bagi mereka.
(LITBANG KOMPAS)