Belajar dari Pandemi Masa Lalu
Covid-19 bukan pandemi perdana yang dihadapi oleh masyarakat dunia. Sebelumnya, flu Spanyol meluas pada 1918 dan menewaskan hingga 50 juta jiwa dalam waktu dua tahun di seluruh dunia.
Kemunculan wabah penyakit merupakan bagian dari peradaban dunia. Melalui torehan sejarah, kita dapat mengikuti jejak upaya para pendahulu dalam menguak misteri pandemi dan cara menanggulanginya.
Covid-19 bukan pandemi perdana yang dihadapi oleh masyarakat dunia. Sebelumnya, flu Spanyol meluas pada 1918 dan menewaskan hingga 50 juta jiwa dalam waktu dua tahun di seluruh dunia. Kematian di Hindia Belanda tercatat 1,5 juta orang.
Pandemi sesudahnya yang muncul adalah flu Asia pada 1957-1958. Virus H2N2 yang menjadi penyebab pandemi ini memicu kematian 1,1 juta orang di seluruh dunia. Kemudian pada 1968 terjadi flu Hong Kong (H3N2) yang pertama kali dilaporkan dari Amerika Serikat. Total kematian akibat penyakit ini mencapai 1 juta jiwa.
Empat dekade setelahnya, yaitu pada tahun 2009, pandemi flu babi (H1N1) menyerang dunia. Peristiwa ini menewaskan lebih dari 18.000 orang. Tahun ini, negara-negara dihadapkan pada Covid-19 yang telah merenggut lebih dari 1 juta jiwa penduduk dunia. Di Indonesia, angka kematian akibat infeksi virus korona baru tembus 10.000 orang.
Dari sudut pandang ilmiah, datangnya penyakit direspons manusia dengan melakukan pencegahan hingga penelitian penyebab wabah. Hal ini terlihat saat penyakit pes atau sampar merebak di wilayah Hindia Belanda pada tahun 1911 hingga 1926.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang ada pada kutu tikus. Tikus terbawa oleh kapal yang berlayar antarbenua. Infeksi pes awalnya ditemukan di Malang, Jawa Timur. Diduga penyakit terbawa kapal yang membawa beras dari Burma dan mendarat di Surabaya pada tahun 1910.
Ciri penyakit ini terlihat pada bagian yang terinfeksi akan menghitam karena jaringan tubuh mati. Pada kasus yang parah, pes dapat mengakibatkan kematian secara cepat apabila yang terserang adalah jaringan pembuluh darah. Hingga akhir tahun 1910, dilaporkan 17 warga Malang meninggal akibat penyakit ini.
Penyakit meluas hingga Surabaya dan Kediri. Pada 1911, infeksi pes menewaskan 2.000 penduduk di dua wilayah ini. Pemerintah Hindia Belanda segera meresponsnya dengan membangun pos penjagaan di ruas jalan penghubung kota yang terinfeksi. Karantina wilayah segera diberlakukan.
Pengambilan sampel dan penelitian di laboratorium secepatnya dilakukan. Hasil temuan menunjukkan bahwa tikuslah penyebab penyebaran infeksi. Perburuan tikus kemudian secara masif dilakukan, terutama di permukiman perkampungan. Bagian kolong rumah panggung di perkampungan dan celah-celah pada ruas bambu bahan bangunan menjadi lokasi favorit tikus.
Pemerintah kolonial juga memberlakukan karantina korban serta mengevakuasi warga di sekitar tempat tinggalnya. Pakaian keluarga korban diberi disinfektan, atap jerami dan daun kelapa diganti dengan atap genteng. Selama pembenahan permukiman, warga disediakan tempat tinggal sementara.
Reaksi yang dilakukan secara cepat didorong oleh pengalaman orang Eropa dalam menghadapi kengerian wabah ini di benua mereka. Keganasan penyakit pes yang juga dikenal dengan sebutan black death ini pernah memorakporandakan Eropa dan Asia. Bencana berlangsung pada 1347-1351.
Wabah pes di Eropa menelan korban jiwa lebih dari 20 juta orang. Angka ini mencapai sepertiga jumlah populasi Eropa pada saat itu.
Pemerintah kolonial juga memberlakukan karantina korban serta mengevakuasi warga di sekitar tempat tinggalnya.
Walaupun sudah melakukan berbagai upaya terukur, penyakit telanjur mencapai sejumlah wilayah, yakni Surakarta, Rembang, Semarang, dan Yogyakarta. Menurut catatan dari artikel Indisch Historich, hingga tahun 1926, atau 15 tahun setelah wabah muncul, pes menelan korban 120.000 jiwa. Dengan kata lain, tiap tahun penyakit ini merenggut 8.000 nyawa.
Pengabaian
Peristiwa pagebluk pes terjadi bersamaan dengan pandemi skala global pada tahun 1918-1919. Walau hanya berlangsung setahun, wabah influenza atau flu Spanyol merenggut jutaan nyawa warga Pulau Jawa.
Siddharth Chandra dalam studinya, ”Mortality from the Influenza Pandemic of 1918-19 in Indonesia”, mencatat, kematian akibat wabah mencapai 4,4 juta jiwa hanya di wilayah Jawa dan Madura.
Masih dari hasil riset Chandra, pada tahun terjadinya wabah, populasi penduduk Jawa dan Madura lebih kurang 35 juta penduduk. Seusai pagebluk, terjadi kehilangan populasi rata-rata 12,8 persen.
Wilayah Madura mengalami kehilangan populasi tertinggi, yakni hampir seperempat penduduknya. Pemerintah kolonial saat itu abai terhadap nasib warga bumiputra sehingga menimbulkan korban jiwa yang sangat banyak dalam waktu singkat.
Buku Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda yang Terlupakan karya Arie Rukmantara dan tim memaparkan penanganan wabah yang disebabkan virus H1N1. Tertulis bahwa penyakit berasal dari China, ditularkan lewat penumpang kapal yang datang dari Hong Kong.
Pada April 1918, Konsul Belanda di Singapura memperingatkan Pemerintah Hindia Belanda akan ancaman wabah. Konsul menganjurkan pemerintah kolonial menutup akses terhadap penumpang kapal asal Hong Kong.
Namun, Pemerintah Hindia Belanda tidak melaksanakan anjuran itu. Akibatnya, pada Juli 1918, mulai muncul laporan kasus influenza di Pulau Jawa, bermula dari Surabaya, kota pelabuhan yang melayani pelayaran dari luar negeri.
Pencegahan
Penyakit pes dan flu Spanyol adalah dua dari sekian banyak penyakit yang paling mematikan dalam catatan sejarah. Penanganan wabah pes oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dilakukan berdasarkan pengalaman pada masa lalu mencegah malapetaka semakin parah.
Sebelum tersedia obat, pencegahan dan penanganan penderita adalah kunci. Menekan jumlah pasien bertujuan untuk menghindari beban berlebih layanan kesehatan. Dalam konteks masa kini, penelitian medis digunakan untuk memprediksi kemungkinan munculnya penyakit baru dari patogen yang telah ditemukan.
Baca juga: Belajar dari Pandemi Flu Spanyol 1918
Saat ini, WHO mengeluarkan daftar penyakit yang menjadi prioritas untuk diteliti agar tidak menjadi pandemi pada masa datang. Kita juga tengah dihadapkan pada pandemi Covid-19.
Hal yang bisa dilakukan ialah menekan penularan. Sebelum ada vaksin, mencegah merebaknya virus menjadi upaya terbaik yang dapat dilakukan.
Melaksanakan anjuran otoritas untuk mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik sangat berarti untuk dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat. Belajar dari sejarah, pandemi pasti berlalu, tetapi bukan berarti tanpa ada upaya dari manusia.
(LITBANG KOMPAS)