Jerat Stigma Penyintas Covid-19
Rasa takut yang berlebihan di masyarakat terhadap penyakit menular, seperti Covid-19, menjadi sumber munculnya stigmatisasi.
Stigmatisasi hampir selalu mengikuti wabah penyakit menular. Ketakutan berlebihan dan minimnya informasi yang benar menjadi penyebabnya. Sayangnya, meskipun muncul bersamaan dengan wabah penyakit, penanganan stigma sering kali luput dari perhatian.
Stigmatisasi terhadap penyintas Covid-19 sudah terjadi sejak awal munculnya pandemi Covid-19. Para penyintas Covid-19 merasa stigma menjadi ancaman tersendiri selain virus SARS-Cov-2 itu sendiri. Hal ini sudah diperingatkan oleh Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus yang menyebutkan bahwa musuh terbesar yang kita hadapi bukanlah virus, tetapi stigma yang membuat kita melawan satu dengan lainnya.
Di Indonesia, pemberian stigma langsung terjadi saat kasus pertama Covid-19 dikonfirmasi pada 2 Maret 2020. Menurut dua pasien pertama Covid-19, saat itu mereka merasa distigmatisasi karena data dan foto pribadinya tersebar dan menjadi pembicaraan publik.
Lima bulan berselang, stigmatisasi penyintas Covid-19 masih saja terjadi. Meskipun pemerintah sudah mengingatkan masyarakat, terutama upaya tersebut masih saja belum cukup. Stigmatisasi semakin menjadi-jadi, tidak hanya bagi pasien dan keluarganya, tetapi hingga petugas kesehatan.
Stigma terhadap penyintas Covid-19 berwujud tindakan diskriminasi, pengucilan, hingga pengusiran. Meika Arista, seorang penyintas Covid-19 di Jakarta, mengalami teror dari warga sekitar indekosnya. Beberapa oknum warga memaksa Meika keluar dari indekosnya demi keamanan masyarakat sekitar. Padahal, saat itu Meika sudah dinyatakan sembuh.
Berbeda dengan Meika, Simon Nainggolan mengalami pengucilan dari teman-temannya. Sejak dinyatakan sembuh pada April 2020, sejumlah teman dan kerabat menolak untuk bertemu.
Para penyintas Covid-19 ini dicap sebagai sumber bahaya. Tak jarang, adapula yang menganggapnya sebagai aib, kutukan, atau hukuman karena perbuatan amoral sehingga mereka harus dihindari. Padahal, sudah jelas bahwa Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus.
Stigma diberikan pada seseorang karena kondisinya yang menyimpang dari mayoritas orang, dalam kasus ini karena penyakit Covid-19. Situasi ini diikuti oleh labelling atau pemberian atribut-atribut tertentu. Sosiolog Erving Goffman dalam teorinya tentang stigma sosial menyebutkan bahwa atribut ini menyebabkan seseorang terdiskredit dari seseorang yang normal dan dapat diterima menjadi seseorang yang tercemar dan tidak diinginkan.
Karena itu, penyintas Covid-19 merasakan beban ganda karena stigma tersebut. Selain penyakit Covid-19, kesehatan mental mereka sering kali terganggu. Penyintas Covid-19 merasakan depresi karena stigma yang diberikan orang-orang di sekitarnya. Akibatnya upaya pemulihan menjadi terhambat.
Stigma yang menyebar di masyarakat juga menyebabkan upaya pencegahan penularan Covid-19 terhambat. Orang yang memiliki gejala Covid-19 takut memeriksakan diri karena khawatir akan menerima penolakan dari masyarakat. Dalam penelusuran (tracing)¸orang juga rentan berbohong akan riwayat perjalanan atau pertemuannya karena takut diberi stigma tertentu jika ia terkonfirmasi positif Covid-19.
Ketakutan
Rasa takut, panik, cemas akan penularan Covid-19 memang menjadi respons alamiah kita dalam membentengi diri dari virus ini. Apalagi Covid-19 adalah penyakit menular baru yang sangat cepat penyebarannya dan belum banyak dipahami.
Namun, rasa takut yang berlebihan terhadap penyakit menular seperti Covid-19 menjadi sumber munculnya stigmatisasi. Ketakutan berlebihan mengaburkan fakta-fakta yang sesungguhnya tentang suatu penyakit. Akibatnya, bukannya sikap waspada yang muncul, tetapi sikap-sikap seperti mengucilkan, menjauhi, menghukum, hingga memberi tanda atau cap buruk pada penyintas penyakit menular.
Rasa takut berlebihan ini sering kali ditujukan kepada kelompok yang dianggap menjadi sumber penyakit menular. Dalam kasus Covid-19, ketakutan akan virus SARS-Cov-2 yang muncul di Wuhan, China, menyebabkan stigmatisasi terhadap warga China bahkan merembet ke penduduk ras Asia. Warga China atau Asia ditakuti karena dirasa membawa virus dari lokasi munculnya virus.
Stigmatisasi antaretnis dan bangsa ini diperparah dengan sikap pemimpin negara, seperti Presiden AS Donald Trump yang terus menyalahkan China sebagai penyebab pandemi. Ia bahkan menyebut virus SARS-Cov-2 sebagai virus China yang mengarah ke rasisme dan xenofobia.
Dalam situasi ini jika dibiarkan, kondisi akan berlanjut menjadi perlakuan pengambinghitaman (scapegoating) kepada kelompok tertentu. Kelompok ini biasanya adalah populasi yang terpinggirkan atau sering kali didasari oleh sumber penyakit dari ras, bangsa, atau suatu tempat.
Dosen Psikologi Universitas Indonesia, Dicky Pelupessy dalam paparannya tentang Stigma dan Covid-19 menyebutkan pengambinghitaman ini didasari rasa ingin menyalahkan siapa saja yang seharusnya bertanggung jawab atas situasi ini.
Akan tetapi, karena tidak memiliki akses untuk menyalahkan subyek yang bertanggung jawab ini, orang akan mengalihkan keinginan untuk menyalahkan kepada kelompok atau orang yang lebih lemah. Alih-alih mengikuti protokol kesehatan, sejumlah orang malah menyalahkan penyintas Covid-19 sebagai sumber penyakit.
Dari sudut pandang ilmu sosial, seiring dengan munculnya rasa takut dalam masa krisis seperti wabah penyakit, timbul pula proses yang disebut othering. Proses ini digambarkan sebagai kecenderungan orang untuk membedakan kelompok ’kami’ dan ’orang lain’. Seseorang akan dianggap sebagai ’orang lain’ jika ia berbeda dari kondisi pada umumnya, dalan kasus ini adalah terinfeksi Covid-19.
Akibatnya, kelompok dominan, yaitu mereka yang tidak terinfeksi Covid-19 akan memberikan label kepada penyintas Covid-19. Tak jarang pula penyintas Covid-19 dijauhi karena kelompok dominan tersebut menghindari sumber penyakit.
Stigmatisasi wabah
Karena itulah pada zaman dahulu stigmatisasi dilakukan kelompok demi melindungi kelompok manusia dari wabah penyakit. Saat ilmu kesehatan masih terbatas, cara yang dapat ditempuh adalah mengucilkan dan menjauhkan pasien penyakit menular dari kelompok
Contohnya, penyakit kusta saat masa sebelum Masehi dikisahkan sebagai penyakit najis. Orang yang memiliki gejala-gejala kusta harus menghadap kepada imam untuk diperiksa. Jika sesuai dengan tanda-tanda kusta, imam akan memutuskan orang itu najis dan ia harus hidup sendiri di luar kelompok masyarakat.
Psikolog Steven L Neuberg dalam risetnya berargumen bahwa stigma digunakan untuk melindungi kelompok dari seseorang yang mengancam. Stigma ini dapat berwujud aib yang dalam kasus wabah penyakit adalah penyakit itu sendiri.
Namun, seiring perkembangan teknologi dan inovasi kesehatan, stigmatisasi tidak lagi menjadi upaya untuk melindungi kelompok manusia. Sejumlah ahli berpendapat stigmatisasi turut berevolusi seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan kehidupan sosial manusia.
Dalam kehidupan manusia modern, stigmatisasi justru muncul karena upaya penanganan penyakit menular, seperti karantina atau isolasi pasien. Hal ini dicatat oleh Profesor Biologi Irwin Sherman dalam bukunya yang salah satunya menceritakan karantina saat wabah kolera. Menurut dia, kebijakan karantina tidak hanya mengisolasi pasien, tetapi semua kelompok yang berkaitan dengan pasien.
Irwin mencontohkan upaya pencegahan penyebaran kolera oleh Amerika Serikat pada 1892 yang menimbulkan stigmatisasi kepada imigran Eropa. Saat itu Pemerintah AS melakukan karantina terhadap seluruh imigran Eropa karena korban kolera di Eropa sangat banyak. Selain itu mereka juga memeriksa dan menutup rumah imigran Eropa. Stigma penyakit masih saja diberikan kepada orang Yahudi Eropa yang masuk ke AS jauh setelah wabah mereda.
Sama pentingnya
Hal yang tak berubah dalam pembentukan stigma dalam wabah penyakit menular dari dahulu hingga sekarang adalah kurangnya dan kekeliruan informasi yang diterima masyarakat. Zaman dahulu, informasi kesehatan sangat minim sehingga segala sesuatu yang terkait wabah penyakit hampir selalu dikaitkan dengan sihir, kutukan, atau hukuman. Sementara saat ini, ketika informasi dapat didapatkan dengan mudah, kita berhadapan dengan ragam informasi yang adakalanya berupa hoaks, disinformasi, atau misinformasi.
Hoaks, disinformasi, atau misinformasi ini dapat menyebabkan pembentukan persepsi yang keliru tentang penyakit Covid-19 dan penyintasnya. Pemerintah dan lembaga-lembaga berwenang juga belum sepenuhnya menyalurkan dan memberikan akses penuh informasi yang tepat kepada masyarakat. Termasuk dalam hal ini koreksi dan klarifikasi dari informasi yang salah.
Rasa takut yang berlebihan terhadap penyakit menular seperti Covid-19 menjadi sumber munculnya stigmatisasi.
Melihat pengalaman menghadapi wabah penyakit berabad-abad, stigma hampir selalu ada di setiap bencana kesehatan ini. Alih-alih mewajarkan, seharusnya stigmatisasi dipandang juga sebagai ancaman yang mengikuti wabah penyakit.
Akan tetapi, munculnya stigma masih dipandang sebagai hal di luar bencana kesehatan itu sendiri. Akibatnya, pencegahan stigmatisasi tidak ikut dijadikan strategi penanganan wabah penyakit. Padahal, stigma itu sendirilah yang dapat membunuh pasien sekaligus memecah belah persatuan.
Pemerintah sebagai otoritas berwenang diharapkan dapat mengatur situasi ini dengan kepemimpinan yang transparan dan komunikasi kepada publik yang jelas dan membangun. Pencegahan stigmatisasi sama pentingnya dengan penanganan Covid-19 itu sendiri.
Dalam kehidupan masyarakat, solidaritas menjadi nilai utama yang perlu kita junjung hari-hari ini. Jangan sampai rasa kemanusiaan dikalahkan oleh ketakutan kita. Dibandingkan dengan mengucilkan, menolak, atau memberikan label buruk alangkah baiknya kita menerima, memberi dukungan, membantu penyintas Covid-19 untuk mengurangi beban ganda mereka.
Mengutip Direktur Layanan Kesehatan Selandia Baru Ashley Bloomfield, ”orang yang telah diketahui positif Covid-19 harus dipuji, mereka telah melakukan bagian mereka untuk melindungi orang lain. Tidak ada rasa malu atau saling menyalahkan karena terinfeksi virus”. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Stigma Buruk Penularan