Menelisik Dampak Covid-19 terhadap Sektor Pekerjaan
Potensi gelombang pemutusan hubungan kerja akan terus ada selama pandemi Covid-19. Diperlukan kebijakan yang tepat untuk mengatasi hal ini, dengan mengingat karakteristik pekerja yang unik di setiap provinsi.
Pandemi Covid-19 menyebabkan perputaran roda ekonomi nyaris berhenti sehingga berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di banyak provinsi. Perlu dicarikan jalan tengah pelonggaran bisnis guna membantu para pekerja yang paling terdampak oleh pandemi.
Hingga Februari 2020, Badan Pusat Statistik mencatat, industri pengolahan menjadi lapangan usaha yang paling banyak digeluti pekerja di Indonesia. Dari total 62,9 juta pekerja yang dianalisis, 11,8 juta orang atau 18,8 persen berasal dari usaha itu. Contoh industri pengolahan di antaranya industri makanan, minuman, kimia, farmasi, barang konsumen kemasan, dan bioteknologi.
Setelah itu, ada usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan 8,3 juta pekerja atau 13,17 persen. Perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor (11,64 persen); konstruksi (11,35 persen); dan jasa pendidikan (10,65 persen). Tidak hanya itu, menurut pengelompokan BPS, masih ada 11 lapangan usaha lain meski dengan persentase lebih kecil.
Dari total 16 lapangan usaha itu, sembilan di antaranya mengalami pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) minus selama pandemi. Kontraksi terdalam ditemukan pada usaha transportasi dan pergudangan dengan minus 30,84 persen pada triwulan II-2020 terhadap triwulan II-2019. Begitu juga penyediaan akomodasi dan makan minum (minus 22,2 persen) serta jasa perusahaan (minus 12,09 persen).
Jika dikelompokkan, terdapat 31,9 juta orang atau 62,1 persen pekerja berpotensi terdampak karena bekerja atau terkait usaha di sembilan lapangan usaha itu. Kontraksi terjadi akibat minimnya permintaan masyarakat yang berpengaruh pada penurunan produksi barang dan jasa. Pendapatan pelaku usaha pun berkurang dan dalam kondisi buruk, pengurangan pekerja tak terelakkan.
Hal ini juga terlihat dari hasil survei BPS pada 10-26 Juli 2020 terhadap 34.559 pelaku usaha. Selama pandemi, 35,56 persen perusahaan memilih mengurangi jumlah pegawai yang bekerja. Keputusan ini paling banyak diambil perusahaan pengolahan (52,23 persen), perusahaan konstruksi (51,37 persen), serta perusahaan akomodasi dan makan minum (50,52 persen).
Provinsi terdampak
Di tingkat regional, ditemukan 14 provinsi dengan potensi pekerja terdampak di atas rata-rata nasional. Porsi terbesar berada di Provinsi Bali dengan 71,2 persen pekerja berasal dari sembilan usaha terkontraksi. Hal ini turut dipengaruhi karakteristik pekerja di Bali, satu-satunya provinsi dengan mayoritas pekerja dari usaha penyediaan akomodasi dan makan minum.
Sebagai tujuan wisata terbesar di Indonesia, sektor lapangan usaha tersebut memang sangat menjanjikan sebagai mata pencarian sebagian besar warga Bali. Hingga 2019, BPS mencatat, total ada 507 kelas hotel berbintang di Bali. Angka itu belum termasuk 3.912 hotel nonbintang yang jika keduanya digabung menyediakan total 112.954 kamar.
Namun, ketika terjadi pandemi Covid-19, usaha ini terguncang akibat pembatasan mobilitas warga di sejumlah wilayah. Jumlah kunjungan wisatawan merosot drastis. Wisatawan asing masuk ke Bali, baik melalui Bandara Ngurah Rai maupun Pelabuhan Benoa, selama Agustus 2020, tercatat hanya 22 orang. Pada bulan yang sama tahun 2019, jumlahnya mencapai 606.412 orang.
Pupusnya kunjungan wisatawan ini berpengaruh juga pada tingkat penghunian kamar (TPK) hotel. Pada Agustus 2020, TPK hotel bintang di provinsi itu hanya 3,68 persen. Berbeda dengan tahun lalu, selama Agustus dapat mencapai 67,10 persen.
Kondisi serupa terjadi ketika Gunung Agung di Bali erupsi pada November 2017. Pada bulan yang sama, tren kunjungan wisatawan asing mengalami penurunan, tetapi tidak separah seperti saat pandemi Covid-19. Kondisi akibat erupsi Gunung Agung juga kembali pulih cukup cepat. Pada Februari 2018, jumlah kunjungan wisatawan asing terpantau kembali normal.
Setelah Bali, potensi dampak terbesar juga ditemukan di Papua Barat dengan 70,1 persen dari total pekerjanya. Meski demikian, dampaknya tidak setelak yang dirasakan Bali karena mayoritas pekerja di Papua Barat (33,7 persen) berasal dari administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial. Karena itu, walau lapangan usaha ini terkontraksi, pekerjanya masih dijamin negara.
Hal berbeda dialami Banten. Porsi pekerjanya yang terdampak cukup besar, 69,8 persen, sementara mayoritas pekerjanya, 30,8 persen, menggantungkan pada usaha industri pengolahan. Mengacu hasil survei BPS, perusahaan dari usaha ini tercatat paling besar dalam memilih kebijakan mengurangi jumlah pegawai selama pandemi.
Begitu seterusnya pada 11 provinsi lain dengan karakteristik pekerja masing-masing yang unik. Di Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jawa Timur, mayoritas pekerjanya juga berasal dari industri pengolahan. Di Kalimantan Timur, mayoritas pekerjanya dari usaha pertambangan. Adapun di Papua, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara, pekerjanya mayoritas dari administrasi pemerintahan.
Pelonggaran
Dampak lanjutan dari banyaknya pekerja terdampak pandemi menyebabkan mobilitas warga di tempat kerja lesu. Hal ini terlihat dari hasil analisis Google dalam Covid-19 Mobility Reports. Dibandingkan dengan awal 2020, rata-rata tren mobilitas di tempat kerja dari 15 Februari hingga 4 Oktober 2020 turun hingga 17,4 persen.
Bali menjadi provinsi dengan penurunan tren mobilitas paling tinggi. Seturut dengan dampak terbesar pekerja di Pulau Bali, mobilitas di tempat kerja turun hingga 33,7 persen. Bali diikuti DKI Jakarta (30,3 persen), Yogyakarta (25,4 persen), Banten (22,2 persen), Sulawesi Selatan (21,7 persen), dan Jawa Barat (21,9 persen).
Meski demikian, lesunya mobilitas di tempat kerja tidak melulu mengindikasikan pekerja dirumahkan. Tidak sedikit perusahaan berupaya mempertahankan jumlah pegawai untuk tetap bekerja meski disertai kebijakan pengurangan jam kerja di kantor dan memindahkannya ke rumah pekerja (WFH).
Baca juga: Korban PHK Terus Bertambah, Percepat Kartu Prakerja
Hal itu didorong melalui kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Melalui kebijakan ini, proporsi jumlah pekerja di area perkantoran dibatasi. Selebihnya diimbau dapat bekerja di rumah.
Melalui kebijakan tersebut, pekerja dituntut tetap produktif meski dari rumah saja. Pola baru ini dapat diterapkan bagi para pekerja yang terdampak karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pandemi. Dengan memanfaatkan keterampilan dan kreativitas yang dimiliki, kegiatan ekonomi dari rumah dapat diupayakan.
Hal itu terwujud jika didukung pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat sudah menyiapkan solusi, salah satunya melalui program Kartu Prakerja bagi pekerja yang dikenai PHK. Lewat program ini, mereka yang terdampak mendapat layanan pelatihan vokasi dan intensif sehingga dapat beralih profesi menjadi wirausaha.
Baca jug: Jadi Wirausaha untuk Bertahan di Tengah Krisis Ekonomi
Mesi begitu, program ini belum menjawab persoalan. Dalam jangka panjang, Kartu Prakerja merupakan program yang sangat baik karena dapat meningkatkan keterampilan peserta.
Mengingat karakteristik pekerja yang unik di setiap provinsi, dibutuhkan kebijakan yang beragam pula. Dalam hal ini, pemerintah daerah sangat diperlukan karena paling mengerti kondisi setempat. Contohnya, jika mayoritas pekerja berasal dari usaha pariwisata, ada baiknya wahana wisata segera kembali dibuka kembali, tetapi dibarengi dengan protokol kesehatan yang memadai.
Selama pandemi belum usai, strategi dan solusi untuk mengatasi persoalan ini harus segera dirumuskan. Potensi gelombang PHK terus akan terjadi, sementara kebutuhan setiap rumah tangga tidak berhenti. Pendapatan dari setiap pekerjaan yang diusahakan anggota keluarga masih menjadi penopang keberlangsungan kehidupan. (Litbang Kompas)