Perubahan Iklim dalam Pusaran Pemilu AS
Presiden dan wakil presiden AS yang terpilih nanti turut menentukan masa depan dunia. Setiap kebijakan yang dibuatnya bisa menjadi katalis peningkatan atau malah penurunan upaya penanganan perubahan iklim.
Dua kandidat presiden dan wakil presiden Amerika Serikat memiliki visi berbeda mengenai perubahan iklim. Siapa pun yang terpilih akan memengaruhi partisipasi negara itu dalam agenda perubahan iklim dunia.
Isu perubahan iklim memiliki panggungnya sendiri dalam pemilu AS kali ini. Pada debat pertama 29 September 2020, moderator Chris Wallace tiba-tiba menanyakan isu perubahan iklim selama lebih kurang 10 menit. Padahal, topik ini sebenarnya tidak termasuk dalam daftar pertanyaan.
Peristiwa ini menarik karena isu lingkungan bukan permasalahan penting yang biasa menjadi perhatian publik dan kandidat dalam pemilu AS. Setelah dua dekade, akhirnya topik ini diperbincangkan kembali dalam debat calon presiden AS.
Isu ini hanya dibahas pada dua panggung debat, yaitu pada debat capres 2000 dan debat cawapres 2008. Dalam debat capres 2000, moderator Jim Lehrer menanyakan isu lingkungan dan perubahan iklim kepada George W Bush serta lawannya, Al Gore. Jim Lehrer menanyakan pendapat kandidat presiden tentang pentingnya lingkungan dalam membangun peradaban, agenda lingkungan, dan pemanasan global.
Pada debat capres 2020, Chris Wallace menanyakan kepada petahana Donald Trump tentang kepercayaannya terhadap sains di balik isu perubahan iklim dan rencana penanganannya. Trump hanya menjawab dengan singkat dan menolak mengakui dampak perubahan iklim, termasuk kebakaran hutan. Namun, ia menginginkan udara dan air bersih yang dihasilkan oleh AS selama ini dengan emisi karbon terendah dibandingkan China, Rusia, dan India.
Sebelumnya, Trump menyebut isu perubahan iklim sebagai hoaks. Bahkan, ia meragukan sejumlah penelitian dan informasi bahwa manusia menjadi penyebab perubahan iklim.
Berbeda dengan Trump, capres Joe Biden memiliki cita-cita besar untuk menekan perubahan iklim. Biden menjanjikan peralihan penggunaan energi fosil ke energi bersih dalam infrastruktur, baik perumahan maupun transportasi.
Ia juga meyakinkan bahwa hal itu tak akan merugikan ekonomi negara. Sebaliknya, rencana tersebut bakal menyediakan jutaan lapangan pekerjaan baru.
Agenda lingkungan
Biden dalam kampanyenya memang mendukung agenda penyelamatan lingkungan dari ancaman perubahan iklim. Dilihat dari laman resmi kampanyenya, Biden menawarkan lima poin agenda di bidang lingkungan. Salah satu yang utama ialah memastikan AS mencapai 100 persen ekonomi energi bersih dan emisi nol sebelum tahun 2050.
Rencana yang akan dilakukannya antara lain membatasi polusi metana operasi minyak dan gas serta menggunakan sistem pengadaan federal 500 miliar dollar AS setahun untuk mencapai 100 persen energi bersih. Selain itu, gedung dan fasilitas Pemerintah AS akan dipastikan lebih efisien dan ramah lingkungan.
Biden merencanakan pula untuk berinvestasi 1,7 triliun dollar AS bagi infrastruktur bersih. Ia mendukung penelitian dan inovasi energi bersih dengan menginvestasikan 400 miliar dollar AS dalam 10 tahun ke depan. Angka ini setara dengan dua kali lipat pembiayaan program Apollo yang membawa manusia ke Bulan.
Adapun Trump dalam kampanyenya masih bersikukuh dengan pendapatnya yang menolak fakta-fakta perubahan iklim. Tim kampanye Trump menghindari publikasi dan promosi isu lingkungan dan sains di baliknya. Alih-alih menjanjikan program-program lingkungan, tim menyelipkan pesan kampanye bahwa untuk menjalankan program perubahan iklim, dibutuhkan biaya sangat besar sehingga akan berdampak pada ekonomi negara.
Hal ini sesuai dengan temuan jajak pendapat internal tim kampanye Trump tahun 2019. John McLaughlin, salah satu anggota tim, menyebutkan, sebagian besar warga AS memahami perubahan iklim yang terjadi, tetapi mereka beranggapan solusi yang diberikan membutuhkan biaya besar. Para responden keberatan jika harus kehilangan pekerjaan dan membayar biaya lebih banyak untuk agenda perubahan iklim.
Dalam 63 poin agenda Trump dalam pemilu kali ini, tidak ada penyebutan secara langsung tentang perubahan iklim dan lingkungan. Namun, ia menjanjikan dua hal, yaitu memimpin dunia dalam akses ke air dan udara terbersih serta bermitra dengan negara lain untuk membersihkan laut.
Selama ini Trump dinilai menggagalkan agenda lingkungan pemerintahan sebelumnya. Menurut The Climate Deregulation Tracker, Trump mengeluarkan 130 kebijakan yang bertolak belakang dengan upaya mengatasi perubahan iklim.
Beberapa di antaranya ialah mengganti program presiden sebelumnya, Barack Obama, terkait pembangkit listrik bersih. Trump juga membekukan standar efisiensi bahan bakar pada kendaraan baru dan mencegah Negara Bagian California menetapkan aturan emisi sendiri. Yang paling kontroversial, ia memutuskan AS keluar dari Kesepakatan Paris 2015 dengan alasan berdampak pada perekonomian AS dan melemahkan kedaulatan negara itu.
Kesepakatan Paris merupakan komitmen sukarela 195 negara untuk mengatasi perubahan iklim. Salah satu komitmen itu ialah menekan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius. AS menandatangani kesepakatan itu saat dipimpin Presiden Barack Obama.
Namun, keluarnya AS dari Kesepakatan Paris membutuhkan waktu kurang lebih empat tahun karena proses hukum yang cukup lama. Secara formal, AS benar-benar keluar dari kesepakatan ini tepat satu hari setelah pemilu AS, yaitu pada 4 November 2020. Maka, presiden terpilih akan menentukan keberlanjutan AS untuk tetap keluar atau bergabung lagi dalam Kesepakatan Paris 2015.
Melalui kebijakan yang diambil Trump itu, AS tak lagi menjadi pelopor kelestarian lingkungan. Padahal, jauh sebelumnya, sejumlah tokoh AS menjadi tonggak pelestarian lingkungan di dunia. Mereka antara lain Henry David Thoreau, penulis dan filsuf abad ke-19; John Muir, Bapak Sistem Taman Nasional Amerika; dan Rachel Carson, ahli biologi laut yang memelopori perlindungan lingkungan.
Peran AS
Isu perubahan iklim penting menjadi agenda pemerintahan AS mendatang mengingat posisi negara itu sangat menentukan pencapaian target dunia. AS bertanggung jawab atas 5.907,3 megaton CO2e atau setara 12,8 persen total emisi dunia. Dengan angka itu, AS menjadi negara kedua penghasil emisi gas rumah kaca terbanyak di dunia setelah China.
Baca juga : Mengatasi Perubahan Iklim, Mencegah Pandemi
Akan tetapi, jika melihat emisi gas rumah kaca per kapita, angka di AS lebih tinggi dibandingkan China. Emisi gas rumah kaca per kapita AS mencapai 22 ton CO2e, sementara China 8,5 ton CO2e per orang.
Kebijakan perubahan iklim AS juga akan berdampak pada politik dan ekonomi global. Hal ini telah terjadi saat penarikan AS dari Kesepakatan Paris.
Mengutip ”The Withdrawal Of The US From The Paris Agreement And Its Impact On Global Climate Change Governance” (Advances in Climate Change Research), kebijakan tersebut berpengaruh pada keseimbangan politik dan ekonomi AS-China, AS-Uni Eropa, serta China-Uni Eropa.
Baca juga : Gaya Hidup Rendah Karbon pada Masa Pandemi
Sebagai negara besar yang sangat berpengaruh, AS juga berperan mendorong negara lain untuk ikut mengatasi perubahan iklim. Karena itu, keluarnya AS dari Kesepakatan Paris berpotensi mempermudah negara seperti Brasil dan Arab Saudi untuk mengurangi upaya penanganan perubahan iklim.
Mundurnya AS dari Kesepakatan Paris berimbas pada agenda penanganan perubahan iklim dunia. Maka, siapa pun presiden dan wakil presiden AS yang terpilih nanti turut menentukan masa depan dunia. Setiap kebijakan yang dibuat bisa menjadi katalis peningkatan atau malah penurunan upaya penanganan perubahan iklim. (LITBANG KOMPAS)