Meningkatnya Ancaman Bencana Alam Global
Ancaman bencana alam di dunia makin meningkat dalam satu dekade terakhir, seiring dengan membesarnya level risiko bencana. Bencana hidrometeorologi merupakan yang paling banyak mengancam penduduk bumi.
Dunia menghadapi ancaman besar terjadinya bencana. Selain bencana non-alam berupa pandemi Covid-19 yang telah menyebabkan sekitar 1,25 juta orang meninggal, bencana alam juga mengintai peradaban manusia di seluruh dunia.
Center for Disaster Philanthropy melaporkan beberapa bencana alam yang terjadi sepanjang 2020, seperti kebakaran hutan di Amerika Serikat; banjir bandang di Vietnam, Kamboja, dan Sudan; serta gempa bumi di Puerto Riko. Gempa bumi terakhir terjadi di Turki dan Yunani pada 1 November 2020 yang menyebabkan tidak kurang dari 64 orang meninggal.
Dalam satu dekade terakhir, ancaman bencana alam terus meningkat. Pusat Riset Epidemiologi dan Bencana Alam (CRED) menyebutkan terjadinya peningkatan bencana alam yang mematikan sejak 2001 hingga 2019. Jika pada 2001 terdapat 563 kejadian bencana yang mematikan dan bersifat merusak, pada 2019 jumlahnya makin membesar menjadi 820 kejadian bencana besar yang terjadi di seluruh dunia.
Pada 2019, jenis bencana alam paling banyak terjadi berkaitan dengan fenomena hidrologi, seperti banjir dan banjir bandang. Jenis bencana kedua paling sering terjadi akibat anomali cuaca yang meliputi El Nino dan La Nina serta suhu ekstrem.
Hasil kajian Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) pada 2019 turut menunjukkan kondisi bencana besar. Dua jenis bencana dengan frekuensi kemunculan tinggi adalah banjir dan badai. Sementara total kematian karena bencana alam besar tercatat 11.755 jiwa.
Sementara total kematian karena bencana alam besar tercatat 11.755 jiwa.
Bencana alam tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga melumpuhkan aktivitas ekonomi manusia. Dari sisi ekonomi, jumlah kerugian yang tercatat senilai 103 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 1.470 triliun. Total penduduk yang terdampak kerugian ekonomi mencapai 94,9 juta orang.
Beberapa bencana alam yang dilansir dari Al Jazeera adalah banjir bandang di India sekitar September dan Oktober 2019. Saat itu, banjir terjadi akibat curah hujan monsun yang tinggi. Curah hujan tersebut tercatat yang paling besar selama 25 tahun terakhir di India. Wilayah paling terdampak berada di Bihar dan Uttar Pradesh.
Hampir serupa, di wilayah selatan India, tepatnya di Hyderabad, juga terjadi hujan selama 24 jam dengan intensitas sangat tinggi, bahkan yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Setidaknya belasan orang meninggal, termasuk di wilayah sebelahnya, Andhra Pradesh.
Selain banjir, bencana lain berupa kekeringan terjadi di Korea Utara pada pertengahan 2019. Dilansir dari BBC, kejadian tersebut merupakan bencana kekeringan terburuk selama hampir 40 tahun terakhir. Setidaknya 10 juta jiwa orang mengalami darurat pangan akibat kekeringan.
Bencana lainnya, yaitu siklon tropis Hagibis menerjang wilayah Jepang. Dilansir dari The New York Times dan BBC, badai besar ini hanya membutuhkan waktu singkat untuk menghantam sejumlah wilayah Jepang, termasuk Tokyo.
Baca juga: Anomali Cuaca Perburuk Musim Hujan
Namun, dampak yang ditimbulkan sangat besar. Wilayah pesisir terdampak gelombang pasang besar, sedangkan wilayah dekat sungai terjadi banjir besar. Efek siklon turut dirasakan wilayah dekat gunung, yaitu turunnya hujan besar disertai angin kencang.
Risiko bencana global
Terus meningkatnya kejadian dan kerawanan bencana alam membuat manajemen bencana berbasis mitigasi risiko bencana menjadi konsep utama yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak yang lebih besar. Risiko bencana menggambarkan potensi kerugian yang diperkirakan muncul saat suatu wilayah terkena bencana.
Salah satu ukuran yang dapat digunakan adalah Indeks Risiko Global yang disusun World Risk Report 2020. Berdasarkan indeks tersebut, ada 37 dari 181 negara yang masuk kategori berisiko sangat tinggi terpapar dan mengalami banyak kerugian karena bencana alam.
Lima negara dengan risiko tertinggi adalah Vanuatu, Tonga, Dominika, Antigua-Barbuda, dan Kepulauan Solomon. Sementara lima negara teraman di dunia adalah Qatar, Malta, Saint Vincent-Grenadines, Grenada, dan Arab Saudi.
Apabila didetailkan ke Asia Tenggara, kawasan ini termasuk wilayah yang berisiko tinggi. Ini karena enam dari sepuluh negara memiliki indeks risiko sangat tinggi hingga tinggi. Dua faktor paling lemah adalah kemampuan adaptasi penduduk dan secara alami memang berada di wilayah rawan bencana alam, seperti gempa, banjir, badai, dan tsunami.
Baca juga: Antisipasi Topan Goni, Filipina Evakuasi 1 Juta Warga
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko tinggi bencana. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, selama dua dekade terakhir ada 24.222 kejadian bencana alam, mulai dari hidrometeorologi hingga tektonik. Total korban meninggal akibat bencana sejak tahun 2000 hingga Januari 2020 mencapai 188.854 jiwa. Adapun jumlah korban lainnya mencapai lebih dari 47 juta jiwa.
Risiko bencana dianalisis sebagai interaksi yang kompleks antara bahaya alam dan faktor sosial, politik, serta lingkungan. Pendekatan yang dipakai juga berbasis kerentanan dan kapasitas untuk mengatasi serta beradaptasi dengan peristiwa alam di masa mendatang.
Dalam proses penilaian risiko bencana, ada empat komponen yang digunakan. Pertama, potensi terpapar bencana alam, seperti gempa bumi, badai, banjir, kekeringan, dan kenaikan permukaan laut. Kedua, kerentanan fungsi infrastruktur publik. Ketiga, situasi kerangka ekonomi dan layanan kesehatan serta keempat adalah kemampuan adaptasi.
Manajemen kebencanaan
Upaya penanganan bencana secara global merupakan proses yang kompleks. Beberapa poin prioritas yang harus dilakukan meliputi memastikan setiap individu siap menghadapi bencana, memfasilitasi dengan benar jika terjadi bencana tertentu, dan mampu membantu proses pemulihan masyarakat terdampak.
Dalam kajian manajemen kebencanaan modern, setidaknya ada empat fase pendekatan yang digunakan. Pertama, mitigasi atau pengurangan risiko bencana, yaitu proses yang bertujuan untuk menekan dampak yang muncul karena bencana. Makin kecil dampak yang ditimbulkan, proses mitigasi makin berjalan baik.
Pendekatan kedua adalah proses kesiapsiagaan. Ini adalah tahap mempersiapkan setiap individu yang berisiko terkena bencana sehingga membantu proses evakuasi dan meningkatkan peluang bertahan hidup di situasi krisis.
Proses berikutnya adalah proses respons yang melibatkan mekanisme pengambilan keputusan untuk mengurangi dan menghilangkan dampak bencana. Tahapan ini berlanjut pada pencegahan penderitaan setiap individu setelah bencana, baik secara psikis maupun finansial.
Terakhir, proses pemulihan, yaitu pengembalian penduduk terdampak ke kondisi normal. Proses ini biasanya dimulai setelah tahapan respons atau tanggap darurat usai. Waktu yang dibutuhkan cukup lama, dapat berlangsung bertahun-tahun.
Ancaman bencana global tercatat makin besar, seiring dengan tingginya angka kejadian dan dampak yang ditimbulkan. Situasi tersebut diperparah dengan perubahan iklim global yang telah merusak keseimbangan ekologis bumi.
Ancaman bencana global tercatat makin besar, seiring dengan tingginya angka kejadian dan dampak yang ditimbulkan.
Sebagai upaya menekan dampak bencana, setiap negara perlu menyiapkan rencana manajemen kebencanaan yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah masing-masing. Setidaknya ada tiga elemen kunci dalam manajemen kebencanaan, yaitu pemerintah, masyarakat, dan pengenalan akan bencana tersebut. (LITBANG KOMPAS)