Pilkada dan Kisah Para Datuk di Ranah Minang
Jejak pilkada sebelumnya membuktikan bahwa gelar datuk bukan satu-satunya faktor yang dapat menjadi modal dalam pentas pertarungan politik lokal.
Pemilihan kepala daerah menyisakan kisah tentang eksistensi para datuk di Sumatera Barat. Selain tokoh adat, sejumlah datuk berperan sebagai aktor politik lokal di sebagian daerah. Kehadiran para datuk dalam gelanggang pilkada merupakan wujud persilangan corak politik tradisional dan modern di Ranah Minang yang kini berjalan bersisian.
Datuk, atau yang dalam bahasa Minang jamak disebut datuak, merupakan tokoh adat yang sangat dihormati oleh masyarakat Minangkabau. Sebagai pemimpin kaum atau kelompok suatu suku, datuk memegang peranan penting dalam tatanan kehidupan sosial di tengah masyarakat Minang.
Persoalan sosial hingga permasalahan adat lainnya menjadi bagian dari tanggung jawab seorang datuk. Sosok itu juga menjadi panutan bagi masyarakat.
Gelar datuk diberikan kepada laki-laki menurut garis keturunan ibu sesuai kesepakatan suatu kaum. Gelar ini tidak boleh disandang oleh sembarang orang.
Sebelum menyandang status sebagai datuk, dilakukan upacara adat atau malewakan gala dengan cara memotong seekor kerbau dan dilanjutkan jamuan makan. Upacara adat yang dilakukan biasanya turut mengundang warga dan datuk dari suku lainnya.
Saking dihormatinya, para datuk harus dipanggil berdasarkan nama kebesaran yang diberikan. Masyarakat tidak lagi diperbolehkan memanggil datuk dengan nama kecil yang sebelumnya melekat. Bahkan, sanksi adat siap menanti bagi siapa pun yang merendahkan seorang datuk.
Jumlah datuk di setiap daerah beragam sesuai dengan banyaknya suku yang berada di wilayah itu. Di Kabupaten Pesisir Selatan, misalnya, menurut catatan pemerintahan setempat, pada 2018 terdapat 1.854 datuk di 15 kecamatan di 182 nagari. Mereka inilah yang menjadi teladan bagi masyarakat sekitar.
Aktor politik lokal
Dalam cakupan yang lebih luas, datuk tak hanya berperan sebagai pemimpin adat. Pemerintah daerah terkadang turut melibatkan para datuk, baik sebagai mitra maupun sebagai pemberi saran dan masukan terhadap sejumlah program yang akan dijalankan.
Datuk tak jarang berperan pula sebagai aktor politik lokal. Hal ini salah satunya terlihat dalam pemilihan legislatif di Sumatera Barat saat sejumlah datuk turut mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Sedikitnya terdapat delapan datuk yang duduk di DPRD Sumatera Barat pada Pemilu 2019 dari total 65 anggota legislatif.
Dalam ranah eksekutif, eksistensi para datuk terlihat dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di sejumlah wilayah di Sumatera Barat. Pada pilkada tahun ini, para datuk hadir dalam pemilihan kepala daerah di berbagai tingkatan, baik gubernur, wali kota, maupun bupati.
Dalam pemilihan gubernur, gelar datuk disandang oleh beberapa orang, salah satunya Mahyeldi Ansharullah Datuk Marajo. Mahyeldi merupakan tokoh yang sebelumnya menjabat Wali Kota Padang sejak 2013.
Mahyeldi juga didampingi oleh seorang datuk sebagai calon wakil gubernur, yakni Audy Joinaldy Datuk Rajo Pasisia Alam. Audy merupakan pengusaha yang baru saja menyandang gelar datuk pada Agustus 2020. Upacara adat sebagai pengukuhan datuk saat itu dilakukan di Rumah Gadang Suku Balaimansiang, VI Suku, Kota Solok.
Status sebagai pemimpin kaum juga disandang oleh calon gubernur lainnya, Nasrul Abit, yang bergelar Datuk Malintang Panai. Selain tokoh adat, ia merupakan tokoh politik lokal di Pesisir Selatan yang menjabat Bupati Pesisir Selatan periode 2005-2015 serta Wakil Gubernur Sumatera Barat (2016-2021).
Sama halnya dengan Mahyeldi, Nasrul Abit didampingi calon wakil gubernur yang juga bergelar datuk, yakni Indra Catri Datuk Malako Nan Putiah. Sebelum terjun dalam gelanggang pilkada tahun ini, Indra Catri menjadi Bupati Agam selama dua periode.
Para datuk hadir pula dalam ranah pemilihan wali kota dan bupati. Di Bukittinggi, misalnya, terdapat Ramlan Nurmatias Datuk Nan Basa serta Irwandi Datuk Batujuah. Keduanya menjadi calon wali kota petahana yang sebelumnya menjabat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bukittinggi periode 2016-2021.
Dalam ranah pemilihan bupati, salah satu tokoh adat yang turut berkontestasi ialah Hendrajoni yang merupakan Bupati Pesisir Selatan 2016-2021. Pada Pilkada 2020, ia kembali mencalonkan diri sebagai bupati di daerah yang sama. Hendrajoni merupakan tokoh adat dari kaum Sikumbang dengan gelar Datuk Bando Basau. Gelar itu diembannya sejak 2012.
Dalam kontestasi Pilkada 2020, terdapat pula para datuk yang belum memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Salah satunya Novi Endri Datuk Simarajo yang mencalonkan diri sebagai wakil bupati Agam. Novi merupakan Ketua Kerapatan Adat Nagari Lubuk Basung, Kabupaten Agam, yang baru menjabat pada 2019.
Selain itu, ada Edytiawarman Datuk Tan Mudo yang merupakan calon wakil bupati Tanah Datar. Sebelumnya, Edytiawarman merupakan Sekretaris Komisi Pemilihan Umum Padang Panjang sejak 2017 hingga Juli 2020.
Baca juga : Kotak Kosong Perdana di Sumatera Barat
Hadirnya para datuk dalam gelaran pilkada di satu sisi menunjukkan adanya perluasan peran datuk dari yang sebelumnya sebatas pemimpin adat, kemudian menjadi aktor politik lokal. Di sisi lain, hadirnya para datuk dalam gelanggang pilkada dapat dipahami mengingat mereka telah memiliki modal popularitas sebagai tokoh adat.
Raihan suara
Meskipun memiliki modal sosial berupa atribusi tradisional, hal ini tidak serta-merta menjamin dominasi raihan suara untuk para datuk. Dalam Pilkada 2015, sebagian datuk berhasil memenangi kontestasi, tetapi sebagian lainnya gagal mendulang suara secara dominan.
Di Kota Solok, umpamanya, duet para datuk, Zul Elfian Datuk Tianso dan Reinier Datuk Intan Batuah, memenangi kontestasi dengan total 46,8 persen raihan suara. Kemenangan juga diraih Yuswir Arifin Datuk Indo Marajo dalam pemilihan bupati Sijunjung dengan 43,4 persen suara.
Adapun di Kabupaten Agam, pemilihan kepala daerah menjadi ajang persaingan di antara duo datuk, yakni Indra Catri Datuk Malako Nan Putiah dan Irwan Fikri Datuak Nagari Batuah. Indra Catri memenangi persaingan dengan 53,4 persen suara.
Walakin, suara dalam jumlah kecil juga diperoleh sebagian datuk. Dalam pilkada di Bukittinggi, misalnya, Febby Datuk Bangso Nan Putiah hanya meraup 3,5 persen suara dan berada di peringkat terakhir dari lima pasangan calon.
Baca juga : Mahyeldi-Audy Deklarasikan Kemenangan di Pilgub Sumbar
Kondisi serupa dialami Nelson Darwis Datuk Tungga Batuah yang berpasangan dengan Muzwar Datuk Rangkai Batuah dalam Pilkada Tanah Datar 2015. Pasangan datuk ini hanya meraih 14,4 persen suara dan menduduki peringkat keempat dari empat pasangan calon.
Jejak pilkada sebelumnya membuktikan bahwa gelar datuk bukan satu-satunya faktor yang dapat menjadi modal dalam pentas pertarungan politik lokal. Faktor lainnya, seperti pengalaman memimpin daerah dan jejak kontribusi dalam membangun wilayah, masih menjadi variabel yang turut menentukan pilihan masyarakat. Hal itu tergambar dari kemenangan para datuk yang sebelumnya pernah mengemban jabatan atau posisi penting di suatu daerah.
Berbekal pengalaman pilkada sebelumnya, tentu menarik mencermati hasil Pilkada 2020 yang juga diikuti oleh deretan datuk. Akankah para datuk berhasil mendulang suara mayoritas?
(LITBANG KOMPAS)