Memahami Penolakan Vaksin Covid-19
Sejarah vaksinasi dan imunisasi di Indonesia tidak terlepas dari penolakan dan berita bohong yang menjadi kendala pelaksanaan vaksinasi massal.
Program vaksinasi Covid-19 secara massal yang diadakan pemerintah tidak berjalan mulus sejak awal sosialisasinya. Dalam sejarahnya, narasi penolakan diikuti hoaks seputar vaksin.
Sejak 16 Desember 2020 lalu, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan bahwa pemerintah akan menggratiskan semua vaksin Covid-19. Keputusan tersebut diambil setelah mendengarkan pendapat masyarakat dan menghitung ulang keuangan negara. Harapannya, tiap warga dapat menerima vaksin Covid-19 dan menghentikan pandemi yang melanda hampir setahun ini.
Uniknya, sehari setelah diumumkannya program vaksinasi tersebut, kabar hoaks seputar vaksin Covid-19 mulai bermunculan. Salah satunya, tersebar berita di Instagram mengenai empat orang yang mengalami kelumpuhan wajah setelah disuntik vaksin Pfizer. Nyatanya, foto ketiga orang yang disertakan dalam berita bohong tersebut adalah foto lama para penderita lumpuhnya otot yang parah di satu sisi wajah atau bell’s paralysis yang telah lama diunggah di internet.
Berita keliru di atas hanyalah salah satu di antara banyaknya informasi palsu yang tersebar di media sosial. Laman covid.go.id secara rutin mengumpulkan berita-berita bohong tersebut dan memberikan klarifikasi atas penyimpangan informasi yang diberikan. Di laman ini, pembaca juga dapat melihat informasi terbaru resmi terkait dengan vaksinasi yang dirilis oleh Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).
Parahnya, berita-berita bohong ini terus membombardir linimasa media sosial. Misalnya setelah Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama di Indonesia yang divaksin pada 13 Januari 2021, tersebar berita bohong bahwa vaksin yang digunakan oleh Presiden adalah buatan Eropa. Berita yang termasuk konten yang menyesatkan ini disebarkan di salah satu grup di kanal Facebook.
Terkait dengan ini, pihak pengelola media sosial sebenarnya sudah mengumumkan komitmennya untuk memberantas penyebaran hoaks dan disinformasi terkait vaksin. Dalam cuitannya 17 Desember 2020 lalu, Twitter mengumumkan akan memprioritaskan penghapusan konten yang mengandung misinformasi terkait dengan vaksin. Sebelumnya pada 3 Desember 2020, Facebook beserta Instagram mengumumkan hal yang sama dengan merekrut sejumlah tenaga ahli kesehatan.
Akan tetapi, berita-berita bohong tersebut masih berkelindan di dunia maya. Konten-konten menyesatkan terkait vaksin ini dapat menjadi amunisi bagi pihak-pihak tertentu yang menolak program vaksinasi Covid-19 dari pemerintah. Bukan tidak mungkin, pihak-pihak tersebut turut menyebarkan informasi yang salah sehingga menambah keraguan dan aksi penolakan vaksin yang lebih luas.
Beda alasan
Dalam sejarah vaksinasi di Indonesia, berita bohong yang menjadi kendala penyebaran vaksin dan imunisasi pernah terjadi sebelumnya. Kasus pertama dapat dilihat pada kejadian pada abad ke-17 saat wabah cacar melanda Ambon, Maluku Tengah, Jawa, dan Sumatera. Berhadapan dengan wabah itu, pemerintah kolonial Belanda menggratiskan vaksinasi cacar untuk semua daerah pada 1818.
Program vaksinasi ini turut mengalami kendala karena ada aksi penolakan vaksin mulai muncul pada 1821 di Pulau Bawean, Madiun. Warga yang menolak vaksinasi beralasan bahwa menerima vaksin sama dengan menolak takdir. Begitu juga di Madiun pada 1831, para ibu melarikan anak mereka untuk sembunyi di hutan karena percaya pada kabar burung bahwa vaksinasi hanya tipuan yang menjadikan anak-anak sebagai makanan buaya peliharaan Residen Madiun.
Setelah kemerdekaan, Indonesia diserang oleh wabah polio yang mengancam anak-anak hingga orang dewasa. Program imunisasi polio pun diluncurkan oleh pemerintah saat itu. Awalnya, masyarakat menyambut positif program ini, tetapi lambat laun mulai enggan kembali ke puskesmas karena anak mereka mengalami demam setelah diberi vaksin.
Aksi penolakan program vaksin nyatanya masih berlanjut hingga saat ini. Beberapa pihak yang bersikeras menolak program vaksin Covid-19 di Indonesia memiliki beragam alasan, mulai dari dengan memercayai berita yang ia terima dari media sosial hingga mempertanyakan efikasi dari vaksin Sinovac yang diberikan pemerintah.
Jika dicermati, ada temuan menarik dari berbagai aksi penolakan vaksin dari masa ke masa ini. Sesungguhnya, ada peralihan alasan penolakan. Dari yang semula penolakan yang sifatnya irasional (percaya pada takdir atau kabar burung) menjadi penolakan yang rasional dengan meminta data yang akurat mengenai vaksin.
Resistensi terhadap program vaksin dari pemerintah tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, misalnya, warga keturunan Afrika-Amerika cenderung waspada dan menolak vaksin dari pemerintah. Alasannya, penolakan tersebut merupakan imbas dari pelecehan dan eksploitasi selama berabad-abad oleh sistem perawatan kesehatan AS terhadap kelompok tersebut.
Dalam artikel di New York Times, Benjamin Thomas dan Monique Smith (keduanya dokter berkulit hitam) mendudukan perkara penolakan dari kaum mereka. Kepercayaan terhadap pemerintah menguat sejak dilaksanakannya proyek Tuskegee Syphilis Study (1895-2009) yang mengakibatkan sekitar 400 pria kulit hitam penderita sifilis di perdesaan Alabama mengabaikan diagnosis mereka dan menolak perawatan yang memadai. Contoh lainnya pada Desember 2020 lalu, seorang dokter kulit hitam di Indiana meninggal karena Covid-19 setelah mengeluhkan perlakuan rasis.
Mengingat sejarah ini, tidak mengherankan jika orang kulit hitam Amerika enggan mendapatkan vaksin. Oleh sebab itu, keduanya mendorong Pemerintah AS untuk memberikan informasi dari sumber tepercaya dan menyampaikan seluk-beluk program ini secara terang kepada mereka. Semua ini diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan kelompok kulit hitam yang dirasa selama ini menerima perlakuan tidak adil, termasuk dalam akses kesehatan.
Melihat kasus penolakan di AS, tentu berbeda latar belakang penyebabnya dengan situasi di Indonesia. Sepanjang sejarah medis di Indonesia, tidak pernah terjadi tragedi malapraktik seperti yang dialami oleh warga kulit hitam di AS, khususnya di Alabama. Setidaknya, kelompok penolak vaksin Covid-19 di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yakni mereka yang menolak dengan dasar argumen yang irasional (mitos, hoaks, kabar burung, ramalan, dan sebagainya) serta mereka yang menolak dengan dasar argumen yang lebih rasional.
Strategi
Hingga saat ini, dalam menjalankan program vaksin Covid-19, pemerintah telah melakukan dua hal penting untuk meyakinkan masyarakat. Pertama, dengan melakukan sosialisasi melalui berbagai kanal media terkait program vaksin Covid-19. Kedua, melibatkan tokoh penting, pemuka agama, dan sosok perwakilan masyarakat untuk menerima vaksin lebih dulu.
Kedua langkah ini seharusnya dapat meredam aksi penolakan bagi mereka yang hanya berargumen berdasarkan informasi keliru yang mereka terima. Namun, tentu tidak dapat berharap banyak karena kelompok ini cenderung memperjuangkan habis-habisan dan melawan apa pun yang tidak sesuai dengan yang mereka yakini. Jika melihat kembali di awal kemunculan pandemi ini, ada kelompok yang tidak memercayai adanya virus dan lebih yakin pada teori-teori konspirasi (covidiot).
Dalam buku Thus Spoke Zarathustra, filsuf Nietzsche menjelaskan bahwa kelompok orang seperti ini cenderung tidak terbuka pada pemahaman lain selain yang ia percayai. Tidak sekadar menaruh kecurigaan, tetapi kelompok ini percaya bahwa dunia bekerja sesuai alam pikirannya.
Segala cara dilakukan, mulai dengan membangun narasi yang logis hingga menghubung-hubungkan fakta demi mendukung argumentasi mereka. Intinya, mereka membutuhkan justifikasi atas kepercayaan mereka, maka percuma saja apabila menyodorkan mereka berbagai fakta dan temuan ilmiah.
Meski demikian, berbagai pendekatan kepada masyarakat dan sosialisasi tetaplah diperlukan. Berkaca dari sejarah vaksin cacar pada masa lalu, pendekatan kultural menjadi upaya efektif dengan melibatkan mantri cacar yang secara emosional lebih dekat dengan masyarakat.
Tantangan berikutnya dari pemerintah justru berkaitan dengan kebenaran fakta uji klinis dari vaksin Sinovac yang digunakan saat ini. Berita tentang efikasi vaksin Sinovac di Brasil yang hanya sebesar 50,4 persen tentunya menjadi sasaran empuk para kelompok antivaksin untuk mengkritik pemerintah. Sebelumnya, bulan lalu Turki menyatakan, efikasi vaksin Sinovac sebesar 91,25 persen berdasarkan hasil sementara yang mereka ujikan.
Pemerintah Indonesia menggunakan vaksin Sinovac dengan pertimbangan hasil uji efikasi dari BPOM sebesar 65,3 persen. Diharapkan, vaksinasi ini dapat mengurangi transmisi atau penularan, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Covid-19, mencapai kekebalan kelompok di masyarakat (herd immunity), serta melindungi masyarakat dari Covid-19 agar tetap produktif secara sosial dan ekonomi. Dipercaya, kekebalan kelompok hanya dapat terbentuk apabila cakupan vaksinasi tinggi dan merata di seluruh wilayah.
Selain vaksin Sinovac, ada lima vaksin lainnya yang ditetapkan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor 9860 Tahun 2020. Kelimanya adalah vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero), Vaksin AstraZeneca, Vaksin dari National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm), Vaksin Moderna, dan Vaksin Pfizer Inc. and BioNTech.
Semua vaksin ini masih dalam tahap pelaksanaan uji klinik tahap ketiga atau yang telah menyelesaikan uji klinis tahap ketiga. Hingga saat ini, BPOM baru merilis izin untuk penggunaan vaksin Sinovac, sementara lima vaksin lainnya masih harus menunggu proses uji klinis.
Melihat tantangan baru dan antisipasi ke depannya, pemerintah perlu memperhatikan temuan terbaru terkait dengan hasil uji klinis vaksin Sinovac yang digunakan dalam program vaksinasi massal. Masyarakat memerlukan kejelasan data dan informasi yang memadai sehingga percaya pada program vaksinasi massal ini. Penolakan yang rasional perlu ditangani dengan pendekatan yang rasional pula.
Kerelaan para tokoh masyarakat untuk menerima vaksin memang patut diapresiasi, tetapi tentu itu belumlah cukup untuk menjawab keraguan masyarakat. Pemerintah bersama lembaga terkait perlu lebih gencar dalam sosialisasi dan membuka informasi terkait uji klinis vaksin Sinovac. Bersamaan dengan itu, menerapkan protokol kesehatan tetap bersifat mutlak, baik sebelum atau sesudah menerima vaksin Covid-19. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Dr Kho Gin Tjong dan Kisah Gerakan Vaksinasi di Indonesia