Aroma ”Nasionalisme” dalam Pilihan Vaksin Covid-19
Sentimen kebangsaan muncul saat masyarakat dihadapkan pada keragaman vaksin. Derajat penerimaan masyarakat terhadap vaksin produksi dalam negeri lebih besar dibandingkan vaksin dari luar negeri.
Oleh
Bestian Nainggolan
·4 menit baca
Sejak diskursus vaksin dan vaksinasi Covid-19 mencuat, muncul sikap pro dan kontra dari sisi politis terkait asal negara pemroduksi vaksin. Hasil survei Litbang Kompas pun menunjukkan, asal produksi vaksin memengaruhi penerimaan ataupun penolakan masyarakat.
Memang, dibandingkan dengan beberapa pertimbangan lainnya, seperti pertimbangan ekonomi soal biaya vaksinasi, pertimbangan sosial keagamaan terkait jaminan kehalalan vaksin, ataupun pertimbangan politik kehadiran presiden sebagai sosok pertama penerima vaksin, aspek pengaruh asal negara vaksin relatif lebih rendah.
Hasil survei terbaru, yang dilakukan pada awal tahun 2021, menunjukkan, 5,9 persen responden saja yang menjadikan asal negara vaksin sebagai faktor utama mereka untuk divaksinasi. Faktor terbesar adalah pertimbangan ekonomi vaksin (15,4 persen), khususnya terkait keengganan masyarakat untuk membayar vaksinasi.
Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, dibandingkan dengan faktor lainnya, asal negara vaksin memiliki sebaran yang paling besar. Dalam hal ini, derajat penolakan ataupun penerimaan masyarakat terhadap vaksin asal dari suatu negara bervariasi lebar.
Dalam survei, saat responden ditanyakan kesediaannya divaksinasi Covid-19 dengan menggunakan vaksin yang diproduksi dari negara China, misalnya, penolakan dan penerimaan masyarakat terbelah relatif imbang. Tercatat 38 persen yang menolak, terdapat pula 34 persen yang bersedia. Selain yang menolak dan yang bersedia, tercatat 22 persen yang masih ragu-ragu.
Besarnya penolakan masyarakat terhadap vaksin asal China ini potensial melahirkan problem. Pasalnya, sejauh ini hanya vaksin asal China, Sinovac, yang tergolong paling besar potensi ketersediaannya di negeri ini. Vaksin ini pula yang menjadi vaksin pertama dalam program vaksinasi secara nasional.
Sebenarnya tidak hanya pada vaksin asal China saja penolakan terjadi. Sejumlah vaksin asal negara lain pun mengundang penolakan yang tidak kalah besar. Vaksin asal produksi Amerika Serikat, negara kawasan Eropa Barat, pun tidak serta-merta diterima publik. Jika ditanyakan kesediaan divaksinasi Covid dengan vaksin asal Amerika Serikat, misalnya, sebanyak 38 persen juga yang enggan.
Agak sedikit berbeda jika asal negara vaksin diperluas. Dalam survei ini, dengan ”pengandaian”, menggunakan vaksin yang seandainya diproduksi dari negara-negara kawasan Arab dan Timur Tengah, maka derajat penolakan menjadi turun, menjadi sekitar 30 persen saja. Sebaliknya, derajat penerimaan publik membesar menjadi sekitar 42 persen.
Dari berbagai simulasi preferensi di atas, tampak bahwa bias negara asal produksi vaksin berpengaruh terhadap preferensi ataupun resistensi. Tidak tampak basis nilai guna (manfaat) vaksin dalam pertimbangan ini. Sisi yang lebih menonjol pada kehadiran sentimen identitas tertentu.
Padahal, kehadiran vaksin produksi luar negeri tidak terelakkan dengan beragam potensi kemanjurannya. Setidaknya, dalam rencana vaksinasi terhadap 181,5 juta penduduk yang akan dijalankan pemerintah, terdapat berbagai vaksin produksi luar negeri, selain Sinovac dari China, terdapat Pfizer dan Novavax asal produksi Amerika Serikat, AstraZeneca Inggris, dan Covax/Gavi hasil produksi kolaborasi global.
Menonjolnya sentimen identitas dalam pilihan vaksin akan semakin kontras jika preferensi vaksinasi disandingkan dengan keberadaan vaksin produksi dalam negeri. Terkait dengan rencana kehadiran vaksin produksi dalam negeri ”Merah Putih”, justru mendapatkan tempat yang lebih besar di masyarakat. Dalam survei ini, 58 persen responden menyatakan kesediaannya divaksinasi dengan vaksin dalam negeri. Penolakan sejauh ini hanya tercatat pada 18 persen responden.
Derajat penerimaan masyarakat terhadap vaksin produksi dalam negeri akan semakin besar lagi jika dihadapkan pada kebebasan pilihan vaksinasi dalam ataupun luar negeri. Sebanyak 70 persen responden lebih memilih produksi vaksin dalam negeri Biofarma. Mereka pun tidak meragukan kemampuan badan usaha milik negara tersebut dalam memproduksi vaksin Covid-19.
Berdasarkan preferensi pilihan semacam itu, tampak jelas jika sentimen kebangsaan muncul di saat masyarakat dihadapkan pada keragaman vaksin. Terlepas pada aspek keterbatasan memproduksi dalam waktu dekat ataupun derajat keampuhan vaksin, kehadiran vaksin dalam negeri tergolong mampu membangkitkan imaji kebangsaan masyarakat.
Menariknya ekspresi keberpihakan pada vaksin dalam negeri semacam ini terjadi merata pada setiap kalangan. Pemilahan berdasarkan pada identitas sosial, ekonomi, ataupun politik tetap menyatukan mereka dalam pilihan yang relatif homogen.
Dari sisi pendidikan, misalnya, sekalipun terdapat indikasi semakin tinggi pendidikan yang digenggam seseorang akan semakin rendah derajat penolakannya terhadap vaksin produksi dalam negeri, tidak berarti mereka yang berpendidikan rendah menolak divaksinasi. Hasil survei ini mengungkapkan antusiasme kesediaan yang relatif sama besar pada mereka yang berpendidikan rendah ataupun tinggi.
Kondisi yang tidak berbeda jauh juga pada pemilahan identitas ekonomi responden. Mereka yang berlatar belakang ekonomi bawah ataupun menengah hingga atas menyatakan kesediaan divaksinasi vaksin produksi dalam negeri dengan proporsi relatif sama besar.
Namun, berbeda terhadap beragam vaksin produksi luar negeri. Sentimen penerimaan dan penolakan tampak berbeda-beda pada berbagai latar belakang sosial responden. Dengan mengambil contoh vaksin asal produksi China, misalnya, penolakan cenderung diekspresikan oleh kalangan yang berlatar belakang kondisi sosial dan ekonomi menengah ke bawah.
Berdasarkan latar belakang pendidikan, misalnya, penolakan pada mereka yang berpendidikan menengah ke bawah lebih banyak diekspresikan dibandingkan dengan kalangan pendidikan atas yang cenderung ragu-ragu. Begitu pula dari sisi latar belakang ekonomi, lebih besar kalangan ekonomi menengah dan bawah yang menolak vaksin produksi China.
Di balik pemilahan sosial ekonomi tersebut, jika ditelusuri lebih jauh, keterlibatan identitas keagamaan pun turut berperan yang cenderung memperberat penerimaan mereka terhadap vaksin asal produksi China. (LITBANG KOMPAS).