Yogyakarta-Solo, Jalur Sejarah Inovasi Kereta Api
Sepanjang enam dasawarsa, dua momentum sejarah inovasi kereta api bermula di jalur Yogyakarta-Solo.
Mimpi kehadiran kereta rel listrik rute Yogyakarta-Solo semakin nyata di depan mata. Identik sebagai moda transportasi para pelaju, fasilitas baru ini diharapkan dapat semakin membawa pemerataan roda ekonomi di sekitar daerah-daerah persinggahan baru.
Jalur Yogya-Solo akan menjadi rute operasional kereta rel listrik pertama kalinya di luar Jabodetabek. Mulai 1 hingga 7 Februari 2021, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) akan melaksanakan uji coba publik kereta rel listrik (KRL) rute Yogyakarta-Solo dan sebaliknya.
Kegiatan ini merupakan rangkaian uji coba yang dibagi menjadi dua tahap. Uji coba tahap pertama sudah dilakukan pada 20 hingga 31 Januari 2021, khusus untuk undangan terbatas.
Pada tahap kedua, masyarakat umum yang hendak mengikutinya wajib mendaftar atau ambil antrian melalui aplikasi KRL Access di ponsel pintar. Pendaftaran dibuka mulai pukul 00.00 WIB dan hanya dapat dilakukan di hari H pemberangkatan.
Selama uji coba, setiap perjalanan dikenai tarif Rp 1. Pembayaran tiket tersebut menggunakan kartu multi trip (KTM) atau kartu uang elektronik.
Baca juga : Uji Coba KRL Yogya-Solo, Penumpang Daftar Daring Dibatasi Kuota
Menurut rencana, ada dua jenis KRL yang akan beroperasi di Daop VI Yogyakarta ini. Pertama adalah KRL KfW i9000 buatan PT INKA kerja sama dengan Bombardier Transportation di Kanada. Kedua adalah KRL eks Jepang JR 205 rangkaian SLO9.
Setiap train set (rangkaian kereta) terdiri atas empat rangkaian yang dalam kondisi normal dapat mengangkut 300-400 penumpang. Melayani rute Yogya-Solo, KRL ini memiliki total jarak tempuh 59,34 km dan beroperasi di 11 stasiun.
Terdapat empat aktivasi stasiun baru dari tujuh stasiun yang sebelumnya disinggahi KRDE Prameks. Lokasi itu adalah Stasiun Srowot, Ceper, Delanggu, dan Gawok. Sementara dalam satu hari akan ada 20 perjalanan KRL dengan waktu tempuh ± 58 menit.
Baca juga: KRL Yogyakarta-Klaten Diuji Coba Bulan Depan
Momen sejarah
Momen bersejarah ini pun bagai mengulang momen serupa ketika kereta rel diesel (KRD) sebagai cikal-bakal KA Prambanan Ekspres (Prameks) mulai beroperasi pada tahun 1960. Kereta dari Stasiun Yogyakarta-Solo Balapan dengan julukan Kuda Putih itu juga tercatat sebagai KRD pertama di Indonesia.
Waktu terus bergulir, hingga akhirnya pada 20 Mei 1994 KA Prameks resmi diluncurkan. Kala itu Prameks masih menggunakan KA Senja Utama Ekonomi Jakarta Pasar Senen-Solo yang sedang tidak beroperasi di siang hari.
Setelah cukup lama melayani rute Yogyakarta-Solo, tahun 2007 Prameks mulai membuka membuka jalur baru Yogyakarta-Kutoarjo sejauh 83 km.
Sebagai kereta lokal yang sudah lama eksis dengan cakupan daerah yang luas, KA Prameks memiliki banyak penumpang setia yang jumlahnya terus bertambah. Mengutip data KAI, sepanjang 2016 sudah mengangkut 2,97 juta penumpang atau sekitar 8.148 orang per hari. Jumlah ini terus bertambah hingga tahun 2018 mencapai 3,94 juta orang atau 10.796 orang per hari.
Sepanjang 2016-2019, tercatat rata-rata penumpang kereta api rute Yogyakarta-Solo mencapai 3,3 juta penumpang setiap tahun. Angka itu setara dengan lima kali lipat lebih popolasi penduduk kota Solo tahun 2019 dan juga setara dengan 85 persen populasi penduduk DI Yogyakarta.
Khusus di rute Yogya-Solo, mayoritas penumpang Prameks merupakan pelaju atau komuter. Hal ini diketahui dari hasil Studi Karakteristik Moda Transportasi KA Prameks Berdasarkan Penumpang (Fribian Aditya, 2009). Karakteristik penumpang ini banyak mendukung aktivitas ekonomi dan pendidikan baik di Solo maupun Yogya sebagai destinasi sebagian besar komuter.
Baca juga : Jumlah Penumpang KA Prameks Yogyakarta-Solo Masih Normal
Sementara itu, pada hari libur lebih bervariasi lagi. Penumpang Prameks bukan hanya pekerja, pelajar, ataupun mahasiswa, melainkan juga para wisatawan hingga penumpang kereta jarak jauh yang melanjutkan perjalanan dengan kereta lokal. Hingga aktivitas yang didukung Prameks ketika hari-hari itu bertambah, termasuk di dalamnya pariwisata dan sosial.
Kehadiran KRL ini bagaikan kado tak ternilai harganya khususnya bagi para pelaju di Yogyakarta, Klaten, Surakarta, dan kabupaten lain. Rasa syukur ini pun terlontar oleh Sekretaris Komunitas Pramekers Yusticia Eka Noor. Di dalam webinar berjudul ”Hadirnya KRL Yogya-Solo” pada 19 Januari 2021, Yusticia mewakili kawan-kawannya berulang kali mengucapkan terima kasih.
Bagi Yusticia, menjadi komuter Prameks sangatlah mewah. Mewah dalam hal ini salah satunya waktu tempuh Prameks yang jauh lebih singkat dibandingkan moda transportasi lain. Diketahui sebelum ada KRL, perjalanan KA dari Yogya – Solo ditempuh selama ± 70 menit. Sementara jika menggunakan kendaraan pribadi via Jalan Solo bisa lebih dari 100 menit.
Waktu yang dihemat kemudian dapat digunakan untuk melakukan aktivitas lain bersama keluarga, baik sebelum berangkat maupun setelah pulang kerja. Kondisi ini pun menjadi semakin mewah mengingat waktu tempuh KRL di rute yang sama menjadi lebih singkat. Inovasi ini pun dipatok dengan tarif tiket yang tetap sama, yaitu Rp 8.000 sekali perjalanan.
Lihat juga : Sosialisasi Keamanan Berkendara di Pelintasan Sebidang Stasiun Klaten Jelang Pengoperasian KRL
Pemerataan Ekonomi
Selain berfungsi untuk mengurangi beban jalan raya, KRL Yogya-Solo juga diharapkan dapat memacu pemerataan ekonomi di sekitar daerah yang dilaluinya. Selaras dengan karakteristik mayoritas penumpang kereta di rute ini merupakan komuter pendukung sektor ekonomi. Ditambah lagi ada stasiun-stasiun yang baru diaktivasi setelah beroperasinya KRL ini.
Setidaknya ada delapan kabupaten/kota yang berada di radius 3 km dari 11 stasiun. Kabupaten/kota itu adalah Bantul, Kota Yogyakarta, Sleman, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Kota Solo, dan Karanganyar.
Berdasarkan data BPS, dari kesemuanya itu daerah dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi tertinggi dari tahun 2016 hingga 2019 ada di Kota Solo (5,85 %), Sukoharjo (5,78 %), dan Boyolali (5,75 %).
Sementara sebaliknya, daerah dengan rata-rata laju pertumbuhan terendah berasal dari sisi barat jalur KRL Yogya-Solo. Mulai dari Bantul (5,22 %), Klaten (5,37 %), dan Kota Yogyakarta (5,38 %). Di sisi yang sama, hanya Sleman yang terpantau memiliki rata-rata laju pertumbuhan relatif tinggi, yaitu mencapai 5,73 persen.
Tingginya pertumbuhan di Solo dan sekitarnya tidak lepas dari keberadaannya sebagai kota transit hingga skala internasional. Cap sebagai kota budaya juga turut menambah daya tarik wisata di Kota Solo.
Maka, tidak salah jika banyak usaha di sana dapat berkembang dengan baik. Salah satunya konstruksi dan perdagangan sebagai penyumbang PDRB terbesar di kota itu.
Sementara Bantul sebagai bagian dari Provinsi Yogyakarta yang identik sebagai kota pendidikan, budaya, dan pariwisata belum sepenuhnya berhasil mendongkrak ekonomi di kabupaten itu. Data BPS tahun 2019 menyebutkan jumlah perguruan tinggi (PT) terbanyak ada Kota Yogyakarta, sebanyak 48. Walau tiga dari empat PT negeri di Provinsi Yogyakarta ada di Sleman.
Baca juga : Kereta Rel Listrik, Asa Baru Pelaju Yogya-Solo
Banyaknya PT ini secara tidak langsung dapat menggerakkan UMKM pendukung kegiatan para tenaga dan peserta didik, seperti alat tulis, tempat makan, hingga indekos. Sama halnya dengan obyek wisata.
Di tahun yang sama, mayoritas tersebar di Sleman sebanyak 61 obyek dengan total 10,1 juta wisatawan. Setelah itu, baru disusul Bantul sebanyak 43 obyek dengan 8,0 juta wisatawan.
Meski memiliki potensi wisata yang cukup baik, nyatanya belum dibarengi pertumbuhan ekonomi yang baik pula di Bantul. Kondisi ini diperburuk ketika rasio gini di Provinsi Yogyakarta tercatat paling tinggi di Pulau Jawa. Kembali data BPS menunjukkan tahun 2018 angkanya sebesar 0,422 lebih tinggi dari Jawa Barat dan DKI Jakarta yang masing-masing 0,405 dan 0,390.
Kemudian beralih ke Klaten
Dengan pertumbuhan yang sama rendah, Klaten akan menjadi kabupaten paling diuntungkan dalam hal pemertaan ekonomi. Dalam radius 3 km, ada enam stasiun yang masuk di dalam Kabupaten Klaten. Keenam stasiun itu adalah Stasiun Brambanan, Srowot, Klaten, Ceper, Delanggu, dan Gawok. Padahal sebelumnya hanya ada dua, yaitu Stasiun Klaten dan Brambanan.
Pemerataan ekonomi dapat terwujud di Klaten melalui aktivitas ekonomi di sekitar rute perlintasan kereta. Selain itu, jalur kereta ini akan membuka aliran produk barang dan jasa, baik dari dalam maupun ke luar Klaten.
Mobilitas kerja penduduk Klaten ke luar daerah menjadi lebih mudah dan murah, akan mendorong juga persebaran tenaga kerja yang akhirnya menekan tingkat pengangguran di kabupaten itu.
Meski demikian, dalam perencaraan jangka panjang, kondisi ekonomi di sisi barat dan timur jalur KRL perlu diantisipasi. Tujuannya agar kecenderungan mayoritas pelaju ke arah Solo dapat diantisipasi. Kesenjangan ekonomi di sisi barat menjadi salah satu faktor pendorong warga mencari pekerjaan yang lebih baik di tempat terdekat. Di mana lagi tempat itu jika tidak di Solo? (LITBANG KOMPAS)