Keberadaan kaum gelandangan menjadi salah satu masalah sosial di perkotaan yang masih ditangani setengah hati. Sosok gelandangan sudah ada di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda.
Oleh
M Puteri Rosalina
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 membuat pemerintah dituntut bekerja lebih keras menangani gelandangan. Selain termasuk kelompok yang rawan terpapar Covid-19, jumlah gelandangan juga berpotensi meningkat seiring dengan banyaknya warga yang kehilangan pekerjaan.
Sejumlah pemerintah daerah menerapkan penanganan gelandangan yang lebih kurang serupa. Proses penanganan itu dimulai dengan razia, kemudian pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi paparan Covid-19.
Para gelandangan kemudian didata. Sebagian dari mereka dikembalikan ke kampung halaman, sebagian lagi dirujuk ke panti sosial atau tempat penampungan lain. Selanjutnya, gelandangan yang ditampung di panti sosial diberi pembinaan.
Jajak pendapat Kompas menunjukkan, pemberdayaan gelandangan menjadi hal penting. Sebanyak 43 persen responden menyarankan gelandangan mendapat pendidikan dan keterampilan. Sementara 15 persen responden menyarankan adanya rumah dan pemberdayaan ekonomi gelandangan.
Saran ini telah dilakukan Kementerian Sosial melalui program Desaku Menanti sejak 2014. Sejumlah keluarga gelandangan mendapat bantuan rumah, bantuan usaha, dan pelatihan yang memadai di tempat yang lebih layak. Program itu, antara lain, sudah berjalan di Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Jeneponto, Kota Malang, dan Kota Padang.
Kelemahan
Upaya pemberdayaan sosial ekonomi gelandangan bukanlah pekerjaan mudah. Penelitian Tyas dan Noviyanti tahun 2016 dalam Jurnal Ilmiah Psikologi Paramadina bertajuk ”Identifikasi Permasalahan Gelandangan dan Pengemis di UPT Rehabilitasi Sosial” menjabarkan hal tersebut.
Menurut hasil penelitian itu, gelandangan tidak hanya disebabkan faktor ekonomi, tetapi juga terkait dengan persoalan sosial, seperti kemalasan.
Sikap malas ini, menurut sekitar seperempat responden, menjadi persoalan yang identik dengan gelandangan. Hasil penelitian Tyas dan Noviyanti menunjukkan, beberapa eks gelandangan warga binaan sengaja masuk-keluar panti sosial satu ke panti lain agar terus mendapatkan bantuan hidup.
Mencari uang dengan menggelandang dan mengemis juga dinilai oleh 13 persen responden sebagai kesulitan lain dalam penanganan.
Adanya sebagian masyarakat yang melihat gelandangan sebagai sosok yang layak dikasihani semakin memudahkan gelandangan hidup dengan cara mengemis. Saat pandemi ini, hampir separuh responden mengaku pernah membantu gelandangan secara langsung.
Keberadaan kaum gelandangan juga menjadi salah satu masalah sosial di perkotaan yang masih ditangani setengah hati dan selalu ada di tiap sudut kota.
Sosok gelandangan sudah ada di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu, mereka dipandang sebagai pengembara yang berilmu atau menjadi gerilyawan di masa perang kemerdekaan. Kini, gelandangan dipandang sebagai orang yang menjalani hidup tidak sesuai dengan norma kehidupan masyarakat.
Hidup mereka berpindah-pindah dan jumlahnya sulit dihitung secara pasti. Data Kementerian Sosial tahun 2019 menunjukkan ada 15.995 gelandangan.
Persoalan penanganan ini, menurut empat dari 10 responden, menjadi kelemahan dari sisi pemerintah. Sebagai contoh, sebagian gelandangan sudah mendapatkan keterampilan dan bahkan berwirausaha, tetapi mereka kesulitan menjual produknya. Gelandangan juga kerap kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Penanganan gelandangan memang tidak mudah. Pemberdayaan ekonomi harus dibarengi dengan langkah nyata mengubah pola pikir gelandangan sehingga mereka mampu mandiri tanpa bergantung pada belas kasihan. Masyarakat pun perlu mulai menghapus stigma bahwa gelandangan adalah sosok pemalas yang layak dikasihani.