Urgensi Meningkatkan Literasi Digital
Tingginya pengguna internet di Indonesia menuntut adanya literasi digital. Hal ini penting dilakukan untuk menyelamatkan generasi digital di negeri ini.
Keadaban dalam berinternet masyarakat Indonesia masih rendah. Pada saat bersamaan, peringkat literasi masyarakat Indonesia pun masih rendah. Padahal, pengguna internet di Indonesia melonjak diikuti peningkatan tajam pengguna media sosial di masa pandemi. Peningkatan literasi digital menjadi kian mendesak pada masyarakat Indonesia.
Menurut Digital Report 2021 dari Hootsuite dan We Are Social, hingga Januari 2021, setidaknya ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform jejaring sosial.
Selain media sosial, aktivitas lain yang sering dilakukan oleh pengguna internet Indonesia ialah menonton televisi selama 2 jam 50 menit, membaca berita dari perusahaan media (online atau cetak) selama 1 jam 38 menit, dan mendengarkan musik di layanan streaming selama satu jam 30 menit.
Namun, keadaban masyarakat Indonesia ternyata masih sangat rendah dalam aktivitasnya di dunia maya dan aplikasi media sosial. Digital Civility Index yang baru saja dirilis Microsoft pada 16.000 responden di 32 negara antara April-Mei 2020 menunjukkan Indonesia ada di peringkat 29 dengan skor 76 (semakin tinggi skor semakin rendah indeks digital civility).
Ada dua risiko yang terjadi, yakni risiko instrusif yang terkait munculnya kontak yang tidak diinginkan, hoaks, spam, fraud, hate speech, dan diskriminasi. Kemudian risiko behavioral (perilaku), seperti perlakuan kasar, memancing kemarahan, misogyny, rekrutmen terorisme, kekerasan online, mikroagresi, dan perundungan siber. Kedua risiko ini masih memiliki skor tinggi di Indonesia.
Akibatnya, daya saing digital nasional pun masih berada di urutan ke 56 dari 62 negara di dunia menurut IMD World Digital Competitiveness Ranking 2020. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi daya saing Indonesia serta memunculkan kerentanan penyebaran konten negatif, hoaks, ujaran kebencian, perundungan, ragam praktik penipuan hingga radikalisme.
Salah satu penyebab lemahnya daya saing digital disebabkan oleh literasi digital yang rendah. Padahal, literasi digital menjadi hal mutlak yang harus dikuasai pengguna internet. Oleh karena itu, literasi digital perlu dikembangkan di segala lini kehidupan. Keterampilan literasi digital sudah menjadi kebutuhan mendesak yang perlu dimiliki oleh siapa pun untuk dapat bersaing secara global.
Pengetahuan dan kecakapan
Literasi digital merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Literasi digital menjadi kian mendesak karena Indonesia sudah memasuki di mana ruang realitas bukan semata ruang fisik, namun juga ruang digital.
Upaya pengembangan literasi digital di Indonesia sesungguhnya sudah dilakukan melalui Gerakan literasi Sekolah yang digagas oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015. Gerakan ini diterapkan untuk menumbuhkan semangat membaca di kalangan pelajar.
Literasi sendiri dimaknai sebagai kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Literasi digital saat itu masih berarti sebatas mampu menemukan, menggunakan bahan pelajaran yang disajikan secara digital.
Akibatnya, literasi digital masih dominan dilakukan di pendidikan tinggi. Namun, dalam perkembangannya, kurikulum 2013 pada sekolah dasar kini telah memasukkan literasi digital sebagai bagian pembelajaran.
Sejak 2017, Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) dimulai. SiBerkreasi merupakan GNLD yang merupakan kolaborasi berbagai institusi pemerintah maupun swasta, komunitas dan pegiat literasi digital. Gerakan Nasional Literasi Digital #SiBerkreasi diluncurkan di acara Kick Off: Smart Schools Online pada pada 25 September 2017 di FX Plaza, Jakarta.
GNLD Siberkreasi mengajak anak bangsa menuangkan kreativitas dalam berekspresi serta mendorong untuk memanfaatkan teknologi dengan memproduksi konten positif. Sehingga, mereka tidak saja mampu menggunakan teknologi, namun juga melakukan evaluasi serta menciptakan konten yang konstruktif serta positif.
GNLD Siberkreasi telah menjadi wadah bagi 108 mitra institusi pemangku kepentingan majemuk baik dari korporasi/swasta, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, komunitas, operator telekomunikasi, platform digital, media, akademisi, hingga pegiat literasi digital.
Sejak tahun 2017 hingga 2021 total kegiatan yang dilakukan secara daring ada 189, peserta yang tersertifikasi 96 ribu lebih, menjangkau 559 ribu lebih masyarakat, serta total jumlah penontonnya lebih dari 600 ribu.
Kementrian Komunikasi dan Informasi belakangan mencanangkan empat pilar dari GNLD dalam rangka mendukung transformasi digital Indonesia. Pemerintah daerah didorong untuk merealisasikan empat pilar literasi digital yang mencakup digital skills, digital ethics, digital culture dan digital safety.
Digital skill berkaitan dengan kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras, perangkat lunak serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari. Sementara, digital culture merupakan bentuk aktivitas masyarakat di ruang digital dengan tetap memiliki wawasan kebangsaan, nilai-nilai Pancasila, dan kebhinekaan.
Digital Ethics merupakan kemampuan menyadari mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquette) dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, digital safety adalah kemampuan masyarakat untuk mengenali, menerapkan, meningkatkan kesadaran perlindungan data pribadi dan keamanan digital.
Selain menetapkan empat pilar GNLD Siberkreasi, Kementerian Kominfo berkolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten kota dengan 20.560 kegiatan literasi digital mulai 2021. Peserta yang hadir secara virtual ditargetkan 12.448.750 orang.
Selain itu, melalui program digital talent yakni Basic Digital, Digital Talent Scholarship dan Digital Leadership Academy juga dilanjutkan, sehingga diharapkan dapat mengisi kebutuhan digital talent Indonesia.
Berbagai upaya sesungguhnya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun berbagai komunitas dan pegiat literasi digital. Namun, kondisi literasi digital masyarakat Indonesia saat ini masih jauh dari target untuk mampu membawa Indonesia menjadi digital nation.
Dipaksa
Pengguna media digital di Indonesia masih pada tahap mampu menggunakan perangkat digital, namun cenderung belum diikuti dengan keterampilan mengelola informasi yang baik untuk menjadi pencipta konten yang positif.
Meskipun sebagian besar masyarakat masih cenderung berada pada tahap mampu menggunakan perangkat digital saja, namun kemampuan untuk menggunakan media digital secara kritis mulai tampak terbentuk di berbagai lapisan masyarakat.
Temuan itu merupakan hasil penelitian Jaringan Pegiat Literasi digital (Japelidi) selama 2019. Penelitian yang dilakukan di 18 kota melibatkan total 2.280 responden untuk memetakan kompetensi literasi digital yang dimiliki masyarakat pengguna Internet di Indonesia.
Gambaran tersebut menjadi penunjuk bahwa kemampuan literasi digital publik pada berbagai lapisan masyarakat sudah ada kemajuan walaupun sedikit. Kondisi ini juga mengisyaratkan publik harus dipaksa untuk segera meningkatkan kompetensi literasi digitalnya.
Hal ini ditujukan agar publik tidak hanya menjadi konsumen namun juga mampu menggunakan jaringan internet untuk menyalurkan kreativitas, partisipasi, dan kolaborasi serta menjadi produsen pesan yang konstruktif dan positif.
Peningkatan kompetensi literasi digital juga akan berdampak positif terhadap keberadaban dalam bersikap di dunia maya serta peningkatan daya saing digital Indonesia
Namun, upaya pengembangan literasi digital harus tetap mempertimbangkan persepsi dan sikap individu yang disasar atas teknologi, sebab setiap individu memiliki kecepatan adopsi yang berbeda terhadap teknologi.
Selain itu, pengembangan literasi digital juga harus menjangkau seluruh kalangan, terutama mereka yang masih memiliki hambatan mengakses internet baik karena area geografis, status sosial ekonomi, usia, dan lainnya. (LITBANG KOMPAS)