“A Brief History of Artificial Intelligence” dan Menyingkap Tabir Fobia Teknologi Baru
Meluasnya penerapan AI memunculkan kekhawatiran akan tatanan baru, terutama ekspansi mesin-mesin otomasi yang menghilangkan peran para pekerja. Michael Wooldridge mencoba meluruskan pemahaman yang keliru tentang AI.
Hadirnya kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan kecerdasan menyerupai manusia menimbulkan ketakutan akan terusiknya kehidupan dunia. Buku A Brief History of Artificial Intelligence menawarkan jawaban atas kekhawatiran serta meluruskan pemahaman yang keliru tentang teknologi termutakhir di abad ke-21.
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam bentuk mesin atau komputer memiliki kemampuan kecerdasan menyerupai manusia sehingga dapat menyelesaikan tugas-tugas secara otomatis. Dengan kemampuannya tersebut, teknologi tidak hanya semakin cepat kinerjanya, tetapi juga semakin pintar.
Salah satu bentuk kecerdasan buatan ada pada chatbot yang mampu berinteraksi dengan manusia. Kemampuan chatbot membuatnya menggantikan peran manusia untuk merespons pesan dari pelanggan tanpa perlu waktu libur.
Ada pula bentuk kecerdasan buatan lain berupa superkomputer yang mampu bermain catur bahkan mengalahkan juara dunia catur. Dalam keseharian, bentuk-bentuk AI yang sudah lazim digunakan adalah mesin pencari pada program perangkat lunak yang dapat membantu manusia mencari informasi yang ingin diketahui melalui jaringan internet.
Kecerdasan buatan membuat komputer, jaringan internet, atau jaringan komunikasi akan menjadi sebuah dunia dengan tatanan baru. Meluasnya penerapan AI memunculkan kekhawatiran masyarakat terhadap keberadaan dunia baru, terutama ekspansi mesin-mesin otomasi yang menghilangkan peran para pekerja.
Kekhawatiran tentang datangnya era kecerdasan buatan menjadi gagasan utama yang diangkat buku ini. Duduk perkata keberadaan AI disampaikan melalui narasi berdasarkan sejarah dan fakta tentang kecerdasan buatan.
Michael Wooldridge tergerak menulis buku ini untuk mengimbangi cara pandang media arus utama terhadap teknologi ini. Kebanyakan media membingkai kehadiran AI sebagai sebuah ancaman dan menimbulkan kekhawatiran.
Padahal, dalam sejarah peradaban, masyarakat mampu melewati perubahan teknologi bahkan memiliki kemampuan beradaptasi. Salah satu bukti proses penerimaan teknologi baru yang begitu monumental adalah ketika kemunculan kereta api penumpang pada paruh awal abad ke-19 di Inggris.
Pembukaan jalur utama kereta api di Inggris pada 1830 menghubungkan Liverpool dan Manchaster. Hadirnya lokomotif uap sebagai penarik kereta memantik desas-desus yang menyebarkan kekhawatiran di masyarakat. Suara mesin uap yang nyaring, asap tebal yang mengepul dari cerobong pembuangan, dan laju kereta yang sangat cepat menimbulkan ketakutan.
Cerita yang beredar yaitu seseorang akan sulit bernapas ketika melaju dengan sedemikian kencangnya. Kemudian ada asumsi bahwa kecepatan kereta akan merusak mata penumpang karena pergerakannya yang begitu cepat.
Padahal, saat itu Inggris berada di Era Victoria yang memiliki tingkat kesejahteraan mapan dan kehidupan yang damai. Keberadaan kereta api merupakan bentuk perkembangan teknologi industri yang turut menggerakkan perekonomiannya. Transportasi yang semakin canggih membuat kemakmuran dapat terdistribusi ke penjuru negeri.
Konteks kemunculan lokomotif uap pada era revolusi industri 1.0 memiliki kemiripan dengan masa revolusi 4.0 dengan hadirnya internet of things (IOT). Ketakutan dan narasi negatif selalu hadir di tengah peradaban yang sedang mengalami perubahan. Argumen tersebut jika kita cerna saat ini akan terasa tidak masuk di akal. Ironisnya, menurut Wooldridge, hal ini persis sedang dialami oleh masyarakat digital saat ini.
Salah paham ”grand dreams”
Melalui bukunya, A Brief History of Artificial Intelligence: What It Is, Where We Are, and Where We Are Going (2021), ia mengungkapkan bahwa salah satu pemantik ketakutan adalah dari gagasan grand dreams yang datang dari para pendiri dan pengembang AI.
Disebut sebagai ”mimpi besar” karena para pendiri AI memiliki konsep tujuan yang diangankan walaupun sangat sulit untuk dicapai. Mimpi besar tersebut dibuat sebagai acuan para pencipta teknologi supaya saling berpacu membuat yang termutakhir.
Namun, ternyata hal ini justru mengarah kepada bentuk klaim-klaim yang berlebihan dari para pembuat AI. Wooldridge mencontohkan pernyataan dari CEO Google Sundar Pichai yang menyebutkan bahwa proyek membangun AI di abad ini sama pentingnya dengan penciptaan api serta listrik dalam peradaban manusia.
Oleh penulis yang merupakan seorang profesor sains komputer di Universitas Oxford, ungkapan oleh petinggi perusahaan teknologi tersebut menjadi salah satu sumber kesalahpahaman masyarakat awam tentang pencapaian AI yang sesungguhnya.
Api dan listrik dalam peradaban manusia merupakan simbol atau penanda terbukanya era baru cara hidup masyarakat. Digunakannya api memungkinkan manusia memasak makanan yang artinya memungkinkan manusia untuk hidup lebih sehat. Api juga membuka jalan manusia memasuki zaman besi serta perunggu yang mendorong temuan-temuan baru.
Demikian pula dengan temuan listrik yang memberikan energi baru yang relatif lebih bersih dan efisien daripada api terbuka. Energi listrik dapat disimpan secara portabel dalam wujud baterai sehingga bisa menjadi sumber tenaga beragam perangkat elektronik.
Sebagaimana temuan api dan listrik, perlu diakui bahwa kehadiran segala bentuk teknologi berbasis internet (internet of things) membuka era baru pada cara hidup dunia saat ini. Salah satunya adalah penerjemah bahasa otomatis yang dapat bekerja secara real time. Hal ini memungkinkan konferensi tingkat dunia dapat berjalan dengan lebih nyaman karena mengurangi risiko misinterpretasi dari seorang interpreter.
Wooldridge menunjukkan bahwa perkembangan AI saat ini berfokus pada pembuatan mesin dengan tugas spesifik. Misalnya penerjemah, penjejak tren dan sentimen pemberitaan, serta mesin analisis pasar modal. Itu semua dapat tercipta berkat kerja keras fisik serta otak manusia dengan segala keunggulan teknologi yang ada.
Secara tersirat, penulis hendak menampik gagasan bahwa AI akan mengungguli manusia. Singkat kata, dalam waktu dekat masih dapat dikatakan mustahil bahwa mesin buatan manusia akan mengalahkan manusia yang memiliki kemampuan dalam segala bidang. Argumen ini mengacu pada keterbatasan tugas spesifik yang mampu diemban oleh AI.
Berpijak pada fakta
Opini dan klaim yang beredar tentang kemampuan AI saat ini mengaburkan fakta yang ada. Sebagai sebuah buku yang menawarkan jawaban mengenai cara pandang teknologi, penulis menyajikan argumen dan bukti-bukti secara kronologis. Lini masa paparan terbentang sepanjang 80 tahun terakhir seiring perkembangan AI yang dimulai tahun 1940-an.
Terdapat sembilan bab yang tersaji dalam buku ini. Penulis menyajikan ulasan historis dan capaian teknologi AI pada bab 1 hingga bab 4. Narasi dimulai dari karya Alan Turing menciptakan mesin pemecah kode sandi Enigma pada masa Perang Dunia II.
Kemudian dilanjutkan dengan kisah masa keemasan AI yang berada pada periode 1956 hingga 1974. Periode ini ditandai dengan keberhasilan Joseph McCarthy menciptakan bahasa pemrograman LISP untuk membentuk kecerdasan buatan. Bahasa pemrograman tersebut masih digunakan hingga sekarang.
Dalam jejak lini masa juga disajikan yang disebut summer dan winter-nya perkembangan AI. Hal ini menandakan momen bangkit, jatuh, dan bangkitnya kembali upaya penciptaan. Penulis menuturkan bahwa saat ini sedang berada di titik booming perkembangan AI.
Perkembangan terkini tentang AI tersaji pada bab 5 dan 6. Pada era terkini, kemajuan pesat AI ditandai dengan hadirnya machine learning yang salah satunya memotori asisten pribadi virtual yang ada dalam gawai kita.
Berbagai produsen teknologi berlomba menyodorkan asisten virtual bagi para pengguna. Ragamnya antara lain Siri (Apple), Google Assistant, Cortana (Windows), dan Alexa (Amazon). AI juga berada di balik teknologi pengenal wajah sebagai pengaman perangkat, iklan terarah yang disodorkan melalui media sosial, dan lain sebagainya.
Menjawab soal kekhawatiran masyarakat mengenai penerapan AI, Wooldridge mengulasnya pada bab 7 hingga bab 9. Membuka diskusi terhadap kemungkinan-kemungkinan AI dapat salah atau disalah gunakan sehingga menimbulkan petaka.
Sebagai jenis teknologi baru, AI perlu dipagari dengan kode etik dan norma-norma yang mengikat dalam penggunaannya. Persis seperti munculnya aturan berkendara di AS ketika terjadi booming mobil. Hal yang menjadi pembeda adalah kompleksitas teknologi AI, misalnya ketika bersinggungan dengan data pribadi atau privasi seseorang.
Kemudian potensi penggunaannya untuk mencurangi kompetisi makin sering ditemui. Popularitas e-sport belakangan ini menarik minat penggunaan AI untuk berbuat curang dalam kompetisi. Sebaliknya, panitia juga memanfaatkan AI untuk mendeteksi adanya kecurangan dalam sesi pertandingan.
Contoh tersebut menegaskan bahwa memang benar adanya AI dapat merugikan manusia, tetapi tetap saja hal itu menjadi tanggung jawab penggunanya. Selayaknya sebilah pisau, yang dapat membantu pekerjaan manusia, tetapi di sisi lain dapat digunakan untuk melakukan tindak kejahatan.
Bias mengenai keberadaan AI dapat saja muncul karena kesalahpahaman. Masih ada sebagian masyarakat yang belum memahami tentang apa itu kecerdasan buatan. Kelebihan buku ini adalah menampilkan uraian yang mudah dicerna oleh semua kalangan, bahkan tanpa perlu memiliki latar pengetahuan tentang teknologi AI.
Era kecerdasan buatan membuat manusia juga dituntut semakin cerdas. Dengan berlatih dan terus membekali diri dengan kecerdasan, di setiap kesempatan berjumpa dengan klaim-klaim utopis, atau informasi yang tidak akurat tentang AI, kita dapat bersikap kritis dan menangkis informasi yang keliru. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kecerdasan Buatan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dunia