Bali Paling Terpukul Pandemi
Pandemi Covid-19 berdampak besar bagi kehidupan pariwisata di Bali. Penurunan jumlah pengunjung wisata membuat Bali terpuruk secara ekonomi. Bangkitnya wisata di Bali tetap dinanti.
Kompromi antara menekan kasus Covid-19 dan meningkatkan ekonomi dari sektor pariwisata terus diformulasi. Aturan ”buka-tutup” destinasi liburan tak pelak mempertaruhkan penghidupan mayarakat di sektor ini. Bagi Bali, pariwisata adalah nadi, bukan sekadar kebutuhan untuk bermain-main.
Seorang pemandu wisata berceloteh ”007... 00... spy... spy!” sambil membuang pandang ke pesisir Pantai Kuta, Badung, Bali, pada Sabtu (17/4). Kode agen mata-mata James Bond yang legendaris itu menjadi kode kegetiran bagi pelaku bisnis pariwisata di sana.
Gerbang pariwisata Bali sejatinya sudah dibuka untuk wisatawan Nusantara (wisnus) pada 31 Juli 2020. Saat animo berwisata meningkat menjelang akhir tahun, kebijakan kedatangan wisatawan diperketat.
Mulai 19 Desember 2020, wisatawan yang masuk Bali wajib melakukan tes usap polymerase chain reaction (PCR) atau tes antigen yang harganya lebih mahal dari syarat tes biasanya. Dampaknya, terjadi pengembalian tiket pesawat dan hotel besar-besaran.
Perubahan yang dinamis akan kebijakan berwisata ini menciutkan keinginan berwisata. Bali dengan struktur ekonomi tersier menjadi provinsi paling terpukul di antara provinsi lainnya.
Dari gambaran paling makro, pertumbuhan ekonomi Bali adalah yang paling rendah di antara 34 provinsi. Pertumbuhan tahun 2020 tercatat minus 9,31 persen ketika angka pertumbuhan ekonomi nasional minus 2,07.
Provinsi Bali tak beranjak di puncak klasemen dengan pertumbuhan ekonomi terendah. Pandemi Covid-19 mulai membabat ekonomi provinsi ini pada triwulan I tahun 2020 dengan pertumbuhan minus 1,20 persen.
Pertumbuhan ekonomi terjun bebas hingga minus 12,32 persen pada triwulan III 2020. Pada triwulan awal 2021, status perekonomian ”Pulau Dewata” ada di kedalaman minus 9,85 persen.
Keterpurukan ekonomi di Bali tak terperi. Apalagi, provinsi ini langganan mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada 2018, misalnya, Bali masuk jajaran 10 besar provinsi dengan laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) tertinggi, yakni 6,31 persen, saat pertumbuhan ekonomi nasional di level 5,17 persen.
Menurut simulasi Badan Pusat Statistik (BPS) Bali yang dilakukan pada 2019, aktivitas pariwisata menyumbang 48,3 persen perekonomian Bali. Hitungan ini menjadi salah satu langkah dalam penyusunan lebih lanjut Neraca Satelit Pariwisata (Tourism Satellite Accounts).
Di level nasional, kontribusi pariwisata pada 2017 hanya 4,11 persen dari produk domestik bruto (PDB). Artinya, keterpurukan sektor pariwisata karena pandemi menghantam berkali-kali lipat bagi masyarakat Bali.
Aktivitas pariwisata Bali setidaknya disumbang dari sektor penyediaan akomodasi dan makan minum yang mengambil porsi 18,37 persen dari PDRB lapangan kerja. Belum lagi sumbangan dari sektor lain yang berkaitan dengan pariwisata. Keterpurukan ini juga bisa dilihat dari indikator berikut.
Selama 30 tahun, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang di Indonesia didominasi turis yang langsung masuk dari Bandara I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali.
Persentasenya berada di angka 21,6 persen pada tahun 1991 dan mencapai proporsi tertinggi 42,8 pada tahun 2016. Dalam hal kunjungan, Bali menjadi pintu gerbang wisatawan dunia.
Dari wisman yang sempat mencapai 6,3 juta orang pada 2019, pada 2020 lalu hanya tercatat 1,1 juta turis yang datang langsung ke Bali atau turun 83,3 persen. Begitu pula dengan wisnus, pada tahun 2019 tercatat ada 10,5 juta wisnus yang berkunjung. Tahun 2020 tercatat hanya ada 4,6 juta wisnus atau turun 56,4 persen.
Indikator lain untuk menunjukkan besarnya dampak pandemi pada ekonomi di Bali adalah penurunan drastis usaha akomodasi. Dari 34 provinsi di Indonesia, Bali adalah provinsi yang paling matang dalam persoalan pariwisata. Akomodasi terbanyak tercatat di provinsi ini. Sayangnya, sektor ini pun terancam ambruk.
Pada 2018, jumlah usaha akomodasi hotel berbintang di Bali mencapai 551 usaha. Pada tahun 2020 hanya tersisa 380 usaha. Akomodasi nonbintang lebih bisa bertahan. Dari 4.323 usaha pada tahun 2018, masih tercatat 4.107 usaha yang bertahan pada tahun 2020.
Rata-rata lama tamu menginap di provinsi ini juga tertinggi dari provinsi lain. Kini, rata-rata itu pun turun dari 3,02 hari menjadi 2-79 hari untuk tamu hotel berbintang dan 2,69 hari menjadi 2,51 hari untuk akomodasi nonbintang.
Kerugian terbesar memang dirasakan penyedia sektor akomodasi. Hal ini tidak lepas dari karakter wisman yang memang paling banyak membelanjakkan uangnya di sektor ini.
Menurut Neraca Satelit Pariwisata 2017, mayoritas turis asing membelanjakan uangnya untuk hotel atau penginapan sekitar 40 persen dari total pengeluaran untuk berwisata.
Tumbal pandemi
Pemulihan pariwisata yang terus dilakukan pemerintah sambil tetap berkompromi dengan kondisi pandemi adalah langkah bijaksana. Namun, ada korban dari setiap langkah tersebut. Dalam berbagai skema, rakyat bawah selalu paling nelangsa. Di Bali, mereka yang menanggung dampak terberat adalah pekerja informal dan pengusaha kecil.
Pasar Seni Kuta dan Pasar Seni Sukawati, dua area perbelajaan turistik andalan di Bali, sepi pengunjung, bahkan ketika masyarakat diperbolehkan berwisata di masa pandemi.
Baca juga : Bali (Kan) Kembali
Di Pasar Seni Kuta, Jalan Kuta Art Market, hanya hitungan jari saja toko yang masih buka. Mayoritas toko tutup. Sebagian karena hanya berjualan sekali-sekali saja, sebagian sudah tutup dalam jangka waktu lama atau bahkan resmi ”dikontrakkan”.
Masih di kawasan Kuta, suasana sunyi juga tampak di Jalan Singosari. Agen wisata, jasa tato, kedai makan-minum, atau toko khas Kuta lainnya banyak tutup. Ayu (40 tahun), salah seorang pekerja di jasa refleksi, menuturkan, banyak pelaku usaha yang tidak kuat menanggung biaya operasional karena sepi pengunjung.
Jasa refleksi tempatnya bekerja masih bisa bertahan karena pemilik usaha memiliki mata penharian lain. ”Ini sepinya luar biasa. Setengah hari saja biasanya saya dapat 10 tamu tanpa perlu menawar-nawarkan. Sekarang sehari kadang satu saja dari pagi sampai malam,” ungkapnya ketika ditemui Kompas, Sabtu (17/4/2021).
Baca juga : PPKM Pengaruhi Rencana Pariwisata Bali
Berbeda dengan Pasar Seni Kuta, toko-toko di Pasar Seni Sukawati di Gianyar hampir seluruhnya buka. Namun, nasib baik belum juga menyapa. Satu pengunjung diperebutkan oleh puluhan pedagang toko menjadi pemandangan sekali seumur hidup di pasar yang selalu diburu turis ini.
Bu Komang (50 tahun) baru mendapatkan satu pembeli dalam tiga hari ia membuka lapaknya. Kelumrahan sekaligus kegetiran yang harus ditelan demi periuk nasi tetap mengepul.
Kesan sepi seolah tempat wisata tersebut tutup juga didapati di Goa Gajah di Blahbatu, Gianyar. Obyek wisata yang tetap buka ini kosong melompong dari yang biasanya penuh oleh bus ataupun mobil wisata. Made Sumintri (60) adalah satu-satunya penjual yang buka saat Kompas datang pada Jumat (15/4/2021).
Rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan yang sedang berlangsung bukan menjadi sebab tempat ini sepi. Tidak ada pengunjung meski obyek wisata sudah dibuka menjadi pukulan telak bagi Made yang biasanya membawa pulang Rp 500.000 setiap harinya.
Made terus membuka toko untuk mencari peruntungan satu atau dua pengunjung. ”Suami saya tidak bekerja, jadi mau tidak mau saya tetap buka,” ujarnya.
Baca juga : Kunjungan Obyek Wisata di Bali Bakal Terimbas Larangan Mudik
Ya, semua nelangsa karena pandemi Covid-19. Prediksi pakar dan praktisi di awal tahun 2020 tentang pandemi terbukti meleset. Kini, semua mengais sisa-sisa harapan demi menyambung hidup.
Pulau tujuan untuk bersenang-senang itu tengah benar-benar berduka. Kabar terbaru, wisata Bali akan dibuka untuk wisatawan asing pada tengah tahun. Protokol kesehatan diharapkan diterapkan sepenuh hati agar ”buka tutup” tak lagi terjadi. (LITBANG KOMPAS)