Kebangkitan Piringan Hitam, Tetap Eksis meski Tanpa Mendominasi Pasar
Piringan hitam semakin banyak diminati oleh penikmat musik, khususnya dari kalangan generasi milenial. Kaum muda mampu mendefinisikan ulang nilai-nilai produk budaya populer jadul sehingga kembali trendi di era digital.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·5 menit baca
Lima tahun belakangan, nilai penjualan vinyl atau piringan hitam terus tumbuh di sejumlah negara. Kebangkitan piringan hitam didorong oleh para musicophile atau penikmat musik yang mencari pengalaman mendengar musik analog atau menjadikannya sebagai dekorasi ruangan. Kalangan generasi milenial mendominasi dalam kebangkitan gelombang kedua ini.
Piringan hitam atau vinyl mulai dikenal masyarakat dunia pada 1948. Kala itu ilmuwan Amerika Serikat, Peter Goldmark, memperkenalkan suara yang direkam sesuai guratan alur pada piringan berbahan polivinil klorida. Ketika piringan diputar, sebuah jarum pada kepala elektromagnetik yang mengikuti alur akan membaca guratan pada vinil menjadi gelombang suara.
Mekanisme vinyl dinilai mampu menghasilkan kualitas suara yang mendekati aslinya seakan sang musisi sedang bernyanyi di hadapan penggemarnya. Ada beberapa ukuran piringan hitam yang digunakan, yaitu diameter piringan 7 inci, 10 inci, dan 12 inci. Semakin besar diameternya, semakin panjang durasi suara atau lagu yang disimpan. Misalnya, untuk diameter piringan 12 inci bisa merekam hingga 22 menit.
Di Indonesia, piringan hitam menjadi bagian dari tonggak awal perkembangan industri musik rekaman yang dimulai pada 1954. Saat itu, jenis produksi rekaman musik berupa piringan hitam yang dimotori empat perusahaan, yaitu Remaco, Irama, Lokananta, dan Dimita (Kompas, 29 Maret 1992).
Masa keemasan piringan hitam terjadi pada era 1960 hingga 1980. Data American Enterprise Institute menunjukkan, pada 1973, penjualan industri musik di Amerika Serikat mencapai 11 miliar dollar AS. Sebanyak 71 persen dari total penjualan ditopang oleh vinyl.
Namun, menginjak era 1980-an, kedudukannya mulai tergeser dengan hadirnya kaset pita dan kemudian disusul cakram digital (CD). Perkembangan teknologi digital juga memunculkan format musik digital lewat layanan streaming yang banyak diakses oleh masyarakat saat ini menggunakan gawai.
Walau harus bersaing dengan beragam format baru, vinyl masih memiliki penggemar tersendiri. Bahkan, Dominik Bartmanski dan Ian Woodward dalam bukunya, Vinyl: The Analog Record in The Digital Age (2015), menemukan bahwa medium rekaman piringan hitam telah mengalami dua kali kebangkitan di tengah dominasi teknologi digital.
Gelombang pertama terjadi pada tahun-tahun awal milenium baru di era 2000. Kala itu disk jockey (DJ) menjadi aktor yang secara konsisten menggunakan vinyl dalam berbagai pertunjukan musik. Namun, penggunaannya hanya terbatas di kalangan profesional dan musicophile yang militan mendengarkan serta mengoleksi piringan hitam saja.
Menginjak era 2010-an, latar belakang pembeli vinyl mulai beragam, konsumen berusia muda turut meramaikan pasar. Pembeli pun tidak semata-mata mencari vinyl karena musiknya, nilai tambah berupa karakter lawasan atau old school turut menjadi daya tarik.
Pada 2016, BBC merilis hasil survei dari Independent Communications and Marketing Resarch (ICM) sebuah lembaga riset di Inggris tentang profil pembeli vinyl di negara tersebut. Inggris adalah salah satu negara yang menunjukkan tren peningkatan penjualan piringan hitam dalam lima tahun terakhir. Hasil riset mengungkap bahwa lima dari 10 orang yang berbelanja piringan hitam berusia 18 hingga 34 tahun. Temuan ini menunjukkan bahwa generasi muda ikut mengonsumsi produk budaya ”jadul” dengan beragam tujuan.
Secara khusus, peningkatan signifikan penjualan piringan hitam terekam sejak 2016. Data menunjukkan terjadi pertumbuhan nilai penjualan piringan hitam di Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Untuk di Indonesia tidak tersedia data yang representatif, geliat bangkitnya vinyl di Tanah Air bisa terlihat dari mulai ramainya bursa musik Blok M Square di Jakarta dan munculnya penjaja piringan hitam independen atau toko non-jaringan baik di dunia maya maupun gerai fisik.
Recording Industry Association of America (RIAA) menunjukkan, nilai penjualan vinyl di AS pada 2017 mencapai angka 395 dollar AS. Penjualan terus meningkat walau di tengah kondisi pandemi Covid-19. Nilai perolehan tahun 2020 mencapai 626 juta dollar AS. Bahkan, di semester I-2021 sudah terjual 467 juta dollar AS atau melebihi penjualan setahun penuh pada 2018.
Tren serupa terjadi di Inggris. British Phonographic Industry (BPI) mengungkap nilai penjualan piringan hitam mencapai 100 juta dollar AS pada 2020. Sejak 2017, nilai penjualan piringan hitam tumbuh rata-rata setiap tahun pada level 16 persen.
Begitu pula di Jepang, pasar piringan hitam domestik terus tumbuh setiap tahun. Pada 2020, Recording Industry Association of Japan (RIAJ) membukukan penjualan hingga 12 juta dollar AS. Angka penjualan terus tumbuh positif rata-rata 16 persen dalam lima tahun terakhir.
Temuan fenomena ini mengerucut pada pertanyaan, faktor apa saja yang mendorong para musicophile menggandrungi piringan hitam?
Fungsi sosial
Daya tarik piringan hitam sebagai medium penyimpan rekaman musik tidak hanya terbatas pada fungsinya saja. Nilai-nilai tambah mulai dibangun oleh para musicophile seiring dengan berganti generasi yang menjadi penikmatnya.
Ilmuwan komunikasi Marshall McLuhan mengamati bahwa budaya atau perilaku masyarakat dibentuk oleh teknologi atau media yang ada di sekitarnya daripada oleh konten media itu sendiri. Penikmat musik punya pilihan mendengarkan lagu melalui layanan streaming musik di ponsel pintarnya secara digital atau dengan memutar piringan hitam.
Konten musik yang didengarkan sama saja, tetpi bentuk mediumnya membedakan perilaku dan nilai-nilai budaya yang dianut. Pada titik inilah mengulas bentuk media menjadi penting untuk menguak nilai-nilai budaya kekinian yang menghidupi teknologi jadul.
Di era digital, piringan hitam memiliki daya tarik yang kuat pada aspek sosial dibandingkan dengan fungsionalnya. Ditilik dari segi fungsional, vinyl menyimpan rekaman musik sama seperti medium kaset pita, CD, dan file digital MP3. Namun, secara sosial terdapat beragam faktor yang menjadikan piringan hitam relevan dan menarik di tengah masyarakat digital.
Sebagai sebuah komoditas, vinyl dipandang sebagai simbol dari obyek koleksi pencinta musik yang paling tinggi kelas sosialnya. Piringan hitam merupakan simbol kejayaan industri musik dunia dan dijadikan bentuk piala penghargaan.
Piala Grammy Awards mengambil bentuk gramafon atau alat pemutar piringan hitam. Bentuk simbolisasi lainnya, yaitu pada penghargaan Platinum dan Gold Record Award yang mengambil bentuk piringan hitam. Penghargaan tersebut dianugerahkan oleh RIAA kepada musisi dengan penjualan musik tertinggi.
Kalangan musicophile melihat vinyl sebagai modal untuk membangun legitimasi diri tentang strata sosial permusikannya dalam suatu komunitas. Piringan hitam memberikan kesan eksklusif dan cita rasa tinggi. Hal ini masih dipraktikkan hingga sekarang.
Eksklusivitas terbangun karena harga piringan hitam yang terbilang cukup mahal dan dirilis dalam jumlah terbatas. Rilis album vinyl dari band Seringai, misalnya, di pasar daring dilabeli seharga lebih dari Rp 500.000.
Ada juga rilis piringan hitam dari White Shoes And The Couples Company yang bernilai dagang mencapai jutaan rupiah. Menilik dari fenomena tersebut, maka wajar jika vinyl menjadi simbol status sosial musicophile yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendengar dari layanan streaming berlangganan atau bahkan gratisan.
Totem dan dekoratif
Sebagian pembeli piringan hitam memperlakukannya sebagai sebuah totem dan dekorasi. Totem adalah obyek yang dianggap penting dan berstatus sosial atau sentimen tinggi. Hal ini dipraktikkan oleh penikmat musik yang menganggap piringan hitam sebagai memorabilia atau artefak yang menjadi bagian dari sejarah budaya populer.
Menempatkan vinyl sebagai totem banyak dipraktikkan oleh generasi muda yang mendengarkan musik digital. Mereka mendengarkan musik melalui Spotify, Soundcloud, dan Youtube karena dipandang lebih praktis. Mereka turut membeli piringan hitam untuk dapat dipegang guna memperoleh pengalaman fisik ketika mendengarkan musik.
Hal ini terekam oleh ICM Research dalam surveinya bahwa separuh dari pembeli vinyl di Inggris berbelanja setelah mendengarkan musik versi digitalnya. Indra penglihatan dan peraba mampu memperkaya pengalaman musicophile ketika menikmati alunan lagu yang mereka putar.
Artwork atau karya seni pada kemasan piringan hitam juga menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan yang memandangnya sebagai komponen dekorasi untuk menciptakan atmosfer tempo dulu di tempat tinggal atau ruangan. Beberapa orang membeli piringan hitam bukan karena lagunya, melainkan menilai dari keindahan cover untuk dijadikan pajangan.
Kembali trendinya piringan hitam di tengah ekosistem digital yang dimotori oleh generasi muda memunculkan nilai tambah dari teknologi lama tersebut. Walau secara ekonomi tidak dapat menandingi akumulasi nilai jual produk digital secara global, piringan hitam tetap terus beredar.
Temuan riset penggemar muda vinyl di Inggris yang mengungkapkan bagaimana mereka membeli piringan hitam setelah mendengarkan musik versi digitalnya, menjadi refleksi bagaimana sebuah produk budaya dari masa lalu akan terus dicari. Kualitas suara dan wujud fisik piringan hitam menjadi wahana nostalgia yang mengantarkannya pada tipping point sehingga kembali digemari di era digital terkhusus oleh kaum muda.
Seperti halnya beragam produk teknologi ”jadul”, generasi muda akan menemukan fungsi dan nilai yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Memang piringan hitam tidak akan mendominasi pasar, tetapi tetap mampu bertahan dan langgeng melintasi zaman. (LITBANG KOMPAS)