Perekonomian Indonesia masih dalam tren pemulihan. Namun, dominasi peran pemerintah sebagaimana paradigma Keynes rupanya belum efektif mengembalikan pertumbuhan ekonomi ke level sebelum pandemi Covid-19.
Oleh
Karina Isna Irawan
·5 menit baca
Di balik indikator-indikator perekonomian yang menunjukkan perkembangan positif, peran dominan pemerintah nyatanya belum cukup kuat menstimulasi dan menggerakan roda perekonomian nasional. Dibutuhkan kebijakan ekonomi yang lebih progresif untuk memulihkan guncangan akibat pandemi Covid-19.
Pemulihan, menurut Oxford Languages didefinisikan sebagai proses untuk sembuh setelah sakit atau cedera. Dalam konteks ekonomi, pemulihan tecermin pada peningkatan produk domestik bruto (PDB) Indonesia dalam lima kuartal berturut-turut setelah mengalami kontraksi ekonomi terdalam pada triwulan II-2020 sebesar negatif 5,32 persen. Momentum pemulihan ini harus dijaga pada tahun 2022 dan tahun-tahun mendatang
Secara umum seluruh institusi dan lembaga penelitian dalam maupun luar negeri optimistis PDB Indonesia tahun 2022 akan tumbuh lebih tinggi dari 2021, dengan syarat penyebaran Covid-19 dapat dikendalikan dan vaksinasi massal dilaksanakan. Jika kedua prasyarat itu terpenuhi, aktivitas konsumsi dan produksi di sektor-sektor ekonomi dapat kembali ke level prapandemi kisaran 5 persen.
Hampir dua tahun pandemi Covid-19 menginfeksi Indonesia. Covid-19 mengguncang sisi permintaan dan penawaran secara bersamaan. Di sisi penawaran, pandemi Covid-19 membuat aktivitas bisnis tutup akibat pemberlakukan pembatasan kegiatan. Penutupan berimbas ke penurunan produksi bahkan kelangkaan beberapa jenis barang. Di sisi permintaan, Covid-19 menyebabkan penghasilan dan daya beli masyarakat turun.
Untuk mengatasi guncangan, pemerintah mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) dalam tiga tahun anggaran. Realisasi PC-PEN dalam APBN 2020 sebesar Rp 579,78 triliun dan alokasi dalam APBN 2021 sebesar Rp 699,43 triliun. Sedangkan, alokasi PC-PEN dalam APBN 2022 hanya Rp 321,2 triliun. Secara keseluruhan kontribusi belanja pemerintah terhadap PDB hanya sekitar 8 persen. Kebijakan fiskal memang diperlukan untuk membantu rumah tangga (sisi permintaan) dan memulihkan dunia usaha (sisi penawaran), tetapi apa itu saja cukup?
John Maynard Keynes (1883-1946), ekonom asal Inggris, berargumen, belanja pemerintah adalah faktor utama yang mendorong permintaan dan menarik perekonomian keluar dari depresi. Namun, melihat guncangan hebat yang ditimbulkan Covid-19, inisiatif fiskal Whatever it Takes dengan falsafah Keynes tampaknya kurang efektif untuk menyelamatkan ekonomi di masa krisis Covid-19.
Sejauh ini, peran dominan pemerintah nyatanya tidak kuat menstimulasi dan menggerakkan roda perekonomian nasional. Hal ini tecermin dari pertumbuhan ekonomi yang belum kembali ke level pra pandemi kisaran 5 persen. Karena itu, dibutuhkan kebijakan ekonomi progresif bukan lagi pragmatis untuk meredam guncangan di sisi permintaan dan penawaran yang terjadi secara bersamaan.
Daya beli
Stimulus fiskal mesti dibarengi kebijakan moneter yang salah satu fokusnya meningkatkan pertumbuhan kredit untuk menanggulangi guncangan sisi penawaran. Pada 2022, target pertumbuhan kredit masih rendah berkisar 6-8 persen. Bauran kebijakan fiskal dan moneter diharapkan dapat mengembalikan titik keseimbangan kurva penawaran-permintaan. Saat ini perekonomian masih mengandalkan stimulus fiskal dari pemerintah sehingga hanya kurva permintaan yang bergeser sementara kurva penawaran tetap atau lambat bergeser.
Kondisi itu yang juga menjelaskan kenaikan inflasi pada November 2021 sebesar 0,37 persen, atau 1,75 persen dibandingkan November 2020 (year-on-year). Kenaikan inflasi lebih dikarenakan sisi penawaran belum pulih sementara permintaan mulai tumbuh. Daya beli masyarakat yang membaik sejalan dengan pembukaan aktivitas ekonomi belum diimbangi peningkatan produksi. Meski demikian, inflasi Indonesia masih rendah di bawah 1 persen.
Di sisi lain, pemulihan ekonomi memang tidak bisa bergantung sepenuhnya pada stimulus pemerintah. Hal ini karena belanja pemerintah terbatas dan dibayang-bayangi peningkatan utang. Pemerintah menetapkan belanja negara Rp 2.708,7 triliun dan pendapatan negara Rp 1.840,7 triliun sehingga defisit anggaran ditetapkan 4,85 persen PDB dalam RAPBN 2022. Kenaikan utang untuk suntikan stimulus menjadi sumber risiko yang mesti diwaspadai karena berisiko terhadap ketidakstabilan fiskal.
Untuk menjaga momentum pemulihan, kebijakan sebaiknya tetap diarahkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan membangkitkan geliat usaha. Hal ini mengingat struktur perekonomian Indonesia dari sisi pengeluaran tidak berubah selama pandemi Covid-19 . PDB tetap didominasi konsumsi rumah tangga sebesar 57,66 persen pada 2020, dan 53,09 persen pada triwulan III-2021. Selanjutnya, investasi sebesar 37,17 persen pada 2020, dan 33,62 persen PDB triwulan III-2021.
Diperkirakan kondisi perekonomian sepanjang tahun 2022 masih sangat ditentukan oleh pengendalian pandemi Covid-19. Jika penyebaran virus relatif terkendali, kebijakan pembatasan aktivitas tidak perlu lagi diberlakukan lagi yang mengganggu roda perekonomian. Artinya pandemi yang terkendali akan mengembalikan kepercayaan konsumen untuk berbelanja dan meningkatkan konsumsi rumah tangganya.
dibutuhkan kebijakan ekonomi progresif untuk meredam guncangan di sisi permintaan dan penawaran yang terjadi secara bersamaan
Jika tren kasus positif sudah menurun dan kegiatan ekonomi dibuka, kebijakan investasi dapat diarahkan ke sektor-sektor yang mampu menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan produk kompetitif. Sebagai contoh, hilirisasi komoditas sumber daya alam diprioritaskan pada sektor makanan dan minuman, logam dasar, garmen, industri karet dan plastik, serta industri oleokimia. Adapun pengembangan industri berteknologi menengah-tinggi pada sektor otomotif dan suku cadang, kimia dan farmasi, barang logam dan elektronik, mesin dan perlengkapan, serta furnitur dan kesehatan.
Keyakinan konsumen
Sejumlah ekonom berpendapat tahun 2022 bisa menjadi momentum Indonesia kembali ke jalur pertumbuhan jangka panjang pada kisaran 5 persen seperti sebelum pandemi. Berbagai indikator memberikan sentimen positif dengan prasyarat kasus Covid-19 tidak melonjak lagi dan pembatasan kegiatan masyarakat tidak diberlakukan lagi.
Hal ini terefleksi pada optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi yang menguat sejalan dengan membaiknya mobilitas masyarakat. Pada Oktober 2021, indeks keyakinan konsumen (IKK) kembali berada pada area optimistis (>100) sebesar 113,4 atau meningkat dari September 2021 yang sebesar 95,5.
Kenaikan IKK sejalan dengan membaiknya indeks ekonomi saat ini (IKE) dan indeks ekspektasi konsumen (IEK) yang dirilis Bank Indonesia. Persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini membaik terutama pada lapangan kerja dan penghasilan. Ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi mendatang juga membaik dan berada pada area optimistis terutama pada aspek penghasilan, ketersediaan lapangan usaha, dan kegiatan usaha.
Tahun 2022 bisa dibilang sebagai periode krusial yang akan menentukan laju kemajuan bangsa dalam jangka menengah-panjang. Perekonomian memang dalam tren pemulihan, tetapi yang penting adalah seberapa cepat proses pemulihan itu. Dominasi peran pemerintah sebagaimana diusulkan Keynes rupanya belum efektif mengembalikan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke level sebelum pandemi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)