Sistem Iklan Swalayan, Alternatif Pendapatan Bisnis Media Pers Digital
Perusahaan pers perlu mengadopsi sistem iklan swalayan yang sudah lama diandalkan oleh platform medsos. Tujuannya, untuk memaksimalkan sumber pendapatan selain dari iklan cetak.
Di era digital, perusahaan pers berkompetisi dengan perusahaan media sosial dalam aspek teknologi serta model bisnis. Salah satu aspek yang perlu diadopsi oleh perusahaan pers ialah sistem iklan swalayan (self-serve advertising) yang sudah lama diandalkan oleh platform medsos. Tujuannya, untuk membangun sumber pendapatan selain dari iklan cetak.
Sejak kehadiran teknologi digital, hampir semua aspek kehidupan berangsur menjadi serba digital. Salah satunya dalam hal mencari dan mendapatkan informasi. Perubahan ini turut memengaruhi institusi media cetak akibat disrupsi gelombang informasi digital. Selama kurang lebih dua dekade fase disrupsi itu, sebagian perusahaan legacy media sudah menemukan strategi untuk berkecimpung di platform digital. Model bisnis berlangganan banyak dilakukan media untuk bertransformasi di era digital.
Salah satu indikator keberhasilan perusahaan pers di ranah digital terlihat pada jumlah pelanggan atau audiens yang mendaftarkan diri dan mau membayar. Sebagai contohnya adalah lanskap perusahaan pers digital di Amerika Serikat (AS). Menurut pemberitaan dari The Wall Street Journal (WSJ) pada tahun 2021 terdapat enam media pers di AS yang bisa menjadi gambaran perusahaan yang sudah berhasil ataupun yang masih perlu berjuang keras.
Tiga perusahaan pers papan atas yang disebutkan oleh WSJ diduduki oleh The New York Times pada posisi pertama dengan jumlah pelanggan sebanyak 4,7 juta akun. Posisi berikutnya The Washington Post yang dapat mengakuisisi 3 juta pelanggan. Peringkat ketiga di isi oleh The Wall Street Journal dengan jumlah konsumen berbayar sebanyak 2,4 juta audiens. Selain ketiga media besar itu, ada pula media lain yang masih ”berjuang” keras untuk menggaet para pelanggan. Di antaranya The Atlantic, Bloomberg, serta Business Insider(Insider) yang baru mampu mengajak sekitar 100.000-300.000 audiens untuk berlangganan konten-konten produksinya.
Secara global, angka pelanggan berita digital terus tumbuh. Pelbagai kesulitan dunia dalam menghadapi pandemi, kesulitan ekonomi, serta ketidakpastian akibat konflik Rusia-Ukraina tetap tidak menyurutkan tren kenaikan konsumen berita digital. Hanya saja, laju pertumbuhannya relatif sangat kecil. Data dari hasil survei WAB-IFRA yang digelar pada akhir 2021 menunjukkan adanya pertumbuhan pendapatan pers di seluruh dunia dari audiens berbayar sebesar 3,4 persen. Angka ini terbilang sangat kecil apabila disandingkan dengan kenaikan pada periode 2019-2020 yang mencapai 23 persen.
Apabila ditilik dari nilai ekonominya, pelanggan berita digital menyumbang pendapatan perusahaan pers dunia hingga 571,8 juta dollar AS. Namun, poin yang perlu dicatat adalah angka tersebut dikuasai oleh media yang sudah mapan dalam bisnis berita digitalnya. Kondisi ini menggambarkan bahwa upaya mengajak audiens membayar berita di tengah arus informasi serba gratis menjadi tantangan yang berat. Oleh karena itu, perusahaan media perlu menoleh pada alternatif sumber pendapatan lain, yaitu salah satunya dari iklan digital.
Iklan swalayan
WAN-IFRA pada publikasi hasil surveinya menunjukkan bahwa pada 2021 sektor iklan digital pada perusahaan pers mencapai nilai transaksi 14 miliar dollar AS. Angka ini tentu jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai ekonomi yang didapat dari pelanggan berita. Diperkirakan, iklan sektor digital ini akan terus bertumbuh lebih besar.
Pada periode ekonomi sulit di tahun 2020-2021, pertumbuhan iklan digital masih mencapai level 2,4 persen. Memang, di satu sisi pertumbuhan ini jauh lebih rendah daripada periode sebelumnya, yaitu 9 persen pada periode 2019-2020. Namun, di sisi lain, tetap tumbuhnya iklan digital di masa lesunya ekonomi sebagai dampak pandemi memberikan gambaran tetap adanya daya tarik media digital bagi pengiklan dan dunia usaha. Artinya, ada harapan apabila kondisi ekonomi dunia membaik, transaksi iklan digital dapat tumbuh kembali seperti sebelumnya.
Berpijak dari tumbuhnya iklan digital ini, perusahaan pers juga dapat mendorong pertumbuhan iklan di luar iklan cetak. Salah satunya dengan mengadopsi teknologi iklan swalayan atau self-serve advertising yang selama ini menjadi andalan perusahaan medsos. Gagasan besar dari iklan swalayan adalah menyediakan layanan bagi pengusaha skala kecil dan menengah untuk dapat beriklan di media digital dengan harga terjangkau.
Pada era iklan konvensional atau media cetak, publikasi iklan hanya dapat diakses oleh perusahaan besar. Memang, ada layanan iklan murah seperti halnya iklan baris, tetapi daya papar terhadap audiens tidak sekuat iklan yang berukuran besar.
Sebagai gambaran proses perwujudan iklan swalayan dapat menilik dari transformasi toko serba ada. Awalnya setiap pembeli akan dilayani oleh seorang pramuniaga ketika berbelanja di sebuah toko. Apabila pelanggan semakin banyak, dibutuhkan lebih banyak karyawan untuk melayani. Selanjutnya, muncul konsep toko serba ada model swalayan. Pembeli bisa berkeliling toko dan memilih barang secara mandiri, kemudian membayarnya di kasir. Pada perkembangan terkini bahkan di beberapa toserba swalayan ada yang menyediakan metode pembayaran mandiri.
Gambaran transformasi swalayan itu juga terjadi pada bidang periklanan. Pada era media konvensional, pengiklan perlu dibantu perantara yang serupa perannya dengan pramuniaga toko. Perantara ini menjembatani antara pengiklan dan media. Namun, pada model bisnis iklan di medsos sama sekali berbeda. Pengiklan memegang kendali terhadap materi iklan, waktu penayangan, bahkan dapat memantau jangkauan atau reach terhadap audiens konten iklannya.
Iklan swalayan dapat terwujud hanya jika didukung dengan teknologi dan platform media yang mumpuni. Kiblat dari model bisnis ini yaitu Google dan Facebook dan sederet platform medsos lainnya. Hal yang menjadi jurang kesenjangan antara perusahaan pers dan perusahaan teknologi, seperti Google dan Facebook, adalah pada kepemilikan teknologi.
Raksasa perusahaan teknologi digital memiliki perangkat atau mesin otomasi iklan yang mereka ciptakan sendiri. Mereka juga memiliki etalase berupa laman medsos atau mesin pencarian. Persoalannya, perusahaan pers hanya memiliki etalase untuk memajang iklan. Belum sampai pada tahap membuat dan memiliki mesin automasi iklan mereka sendiri. Oleh karena itu, perusahaan pers memerlukan bantuan perusahaan teknologi yang khusus menyediakan layanan swalayan iklan.
Agen iklan digital
Beberapa media tradisional yang memanfaatkan jasa perusahaan teknologi itu di antaranya Bloomberg Media Group, The Washington Post, serta The Atlantic. Mereka memanfaatkan jasa perusahaan teknologi asal Swedia bernama DAnAds. Perusahaan ini merupakan penyedia alat dan perusahaan media sebagai penggunanya. Mesin yang ditawarkan dapat dipersonalisasi dan diatur sesuai dengan kebutuhan dan regulasi dari pihak pengguna jasa DanAds.
Apabila menengok pada kondisi di masa lalu, perusahaan semacam DanAds merupakan agen iklan yang menjadi jembatan antara media dan pengiklan. Namun, jembatan pengiklan di era digital bisa mempertemukan antara pengiklan langsung pada calon konsumen dan fitur iklan terarah atau targeted advertising. Pengiklan dapat secara langsung atau real time memantau performa iklan yang ditayangkan.
Pemutakhiran sistem iklan digital pada perusahaan pers merupakan suatu tuntutan yang tak dapat dihindari. Pasalnya, penghasilan terbesar masih berasal dari sektor iklan, baik itu pada media cetak maupun digital. Data dari WAN-IFRA pada 2021 menunjukkan nilai iklan cetak turun 8,7 persen. Di sisi lain, iklan pada platform digital tumbuh 16,5 persen. Artinya, untuk dapat mengimbangi perolehan iklan di media cetak, iklan pada platform digital perlu terus digenjot.
Hingga titik ini, iklan swalayan tampak menjanjikan untuk menopang keberlangsungan bisnis media pers di dunia. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan, pengadopsiannya menuai pro dan kontra. Pada kubu pro tentu memandang bahwa nilai manfaat iklan swalayan merupakan sebuah harapan. Sebaliknya, pada sisi kontra memunculkan isu pengurangan tenaga kerja.
Kehadiran teknologi periklanan bertujuan membuat jalan pintas antara pengiklan dan audiens sebagai target konsumen. Namun, pada prosesnya ada beberapa bidang pekerjaan yang menjadi usang karenanya. Misalnya peranan front officer atau bahkan account executive yang berkecimpung di ranah periklanan akan terebut bidang kerjanya oleh mesin automasi iklan. Pada setiap upaya efisiensi biaya produksi pasti ada pihak yang berada di posisi demikian. Selayaknya peran pramuniaga yang tergeser oleh toko swalayan dan peran kasir yang tersisihkan oleh pembayaran mandiri serta digital.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, pemanfaatan automasi iklan bukanlah jurus pamungkas untuk menopang perusahaan pers. Masih panjang tahapan untuk mengaplikasikan pada laman berita, menentukan regulasi materi iklan, serta menugaskan personel yang mengoperasikan, memantau, serta merawat sistem yang digunakan.
Sistem iklan swalayan yang diaplikasikan pada media pers menjadi upaya perusahaan media tetap dapat meraup iklan. Walau harus bekerja keras menghadapi Google dan Facebook sebagai peraih terbesar belanja iklan digital, upaya meraih remah-remah iklan digital ini terus dijajaki perusahaan media.
Sebelumnya, pada 2019, harian The Washington Post dan perusahaan teknologi Polar meluncurkan mesin pengatur iklan Zeus Prime. Mesin ini menawarkan sejumlah kemudahan bagi pengiklan, seperti memasukkan materi iklan tanpa perlu menambahkan desain, tanpa melakukan coding tertentu, dan dapat memasang sendiri iklan secara real-time. Target khusus yang disasar The Washington Post ialahkerja sama iklan dengan merek-merek ternama.
Ragam inovasi terus dilakukan perusahaan media untuk dapat meraup iklan di dunia digital. Sistem iklan swalayan setidaknya dapat menjadi alternatif solusi yang bisa dipertimbangkan di tengah impitan perusahaan korporasi global yang menikmati kue besar belanja iklan dunia. (LITBANG KOMPAS)