Meski mengurangi satu undang-undang dari daftar ”omnibus law”, muatan isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 relatif sama dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU No 11/2020 hanya berganti baju menjadi perppu.
Oleh
Gianie, Agustina Purwanti
·3 menit baca
Indonesia resmi memiliki omnibus law; yang pertama dengan disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-undang setebal 1.187 halaman itu, sejak dilontarkan idenya pada 20 Oktober 2019 oleh Presiden Joko Widodo hingga disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang pada 5 Oktober 2020, praktis dibahas kurang dari satu tahun.
Proses yang cepat, sementara muatan aturan yang sangat banyak, memunculkan penolakan dari sejumlah kalangan. Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. MK memberi waktu kepada pemerintah untuk memperbaiki undang-undang tersebut dalam kurun dua tahun dengan syarat melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
Dalam perkembangannya, Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022 menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja setebal 1.117 halaman.
Meski berkurang 70 halaman, isinya tetap terdiri atas 15 bab dan 186 pasal, relatif sama dengan isi UU No 11/2020. Perbedaannya, UU No 11/2020 menggabungkan aturan dari 78 UU, sedangkan pada Perppu No 2/2022 ada 77 UU yang digabung. Selain itu, ada sedikit perubahan susunan pada pasal di tiga bab terakhir perppu.
Mengapa jumlah halaman berkurang, padahal struktur bab dan pasal di perppu sama dengan yang terdapat dalam UU Cipta Kerja? Hal ini terjadi karena UU Cipta Kerja yang menjadi dasar perppu merupakan rangkuman dari banyak undang-undang yang pembuatannya tak berdasarkan prosedur biasa. Terjadi penyusunan pasal di dalam pasal (bertingkat).
Jumlah pasal dalam undang-undang omnibus law bisa tetap sama. Namun, jumlah pasal yang dirujuk dari undang-undang tertentu dapat dikurangi dengan tidak mencantumkannya atau dihapus. Bab VI Perppu No 2/2022 mengenai kemudahan berusaha, misalnya, mengalami pengurangan jumlah halaman yang cukup banyak karena dihapusnya sejumlah pasal di beberapa undang-undang rujukan pada bab tersebut. Bab VI berisi rangkuman sejumlah undang-undang yang, antara lain, mengatur soal perpajakan.
Pada UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, misalnya, dihapus Pasal 4 yang berkaitan dengan obyek pajak sehingga berkurang sekitar 11 halaman. Contoh lain pada UU No 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Di dalam Perppu, Pasal 4A dan Pasal 9 tidak lagi dicantumkan sehingga berkurang sekitar 12 halaman. Demikian seterusnya terjadi pada sejumlah undang-undang lain yang dirangkum ke dalam omnibus law.
Satu undang-undang yang dikeluarkan dari Perppu No 2/2022 ialah UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang sebelumnya masuk Bab VI dalam UU No 11/2020. Dikeluarkannya undang-undang tersebut membuat perppu berkurang enam halaman.
Kontroversi
Pasal-pasal yang menjadi kontroversi pada Perppu No 2/2022 tetap pada kluster mengenai ketenagakerjaan (Bab IV), terutama Pasal 81 yang mengubah ketentuan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Terdapat setidaknya 28 pasal dalam UU No 13/2003 yang dihapus. Sebagian besar pasal pun diubah bunyinya.
Beberapa hal yang memicu penolakan buruh ialah soal dihapusnya cuti panjang dua bulan bagi pekerja dengan masa kerja lebih dari enam tahun. Juga ketentuan istirahat mingguan selama dua hari untuk kerja lima hari dalam seminggu. Perppu hanya mengatur ketentuan istirahat satu hari untuk enam hari kerja dalam seminggu.
Pasal 161-172 dari UU Ketenagakerjaan yang dihapus dari perppu dinilai berpotensi menghilangkan hak-hak pekerja terkait pemutusan hubungan kerja. Pasal 90 yang melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum juga dihapus. Hal terkait upah yang juga mendapat perhatian ialah penambahan variabel indeks tertentu selain pertumbuhan ekonomi dan inflasi dalam merumuskan upah minimum.
Selain itu, tak ada batas waktu yang jelas dalam peraturan terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang sebelumnya ditetapkan maksimal tiga tahun dalam UU Ketenagakerjaan. (LITBANG KOMPAS)