Membentengi Ibu, Menyelamatkan Anak dari ”Stunting”
Anak kurang gizi menjadi problem mendasar kesehatan di negeri ini. Menjaga anak sejak dalam kandungan ibu menjadi penting dilakukan. Kesehatan, pengetahuan, dan kesadaran ibu mutlak diperlukan.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·4 menit baca
Peran ibu sangat penting dan menjadi kunci mencegah terjadinya masalah malnutrisi pada anak balita yang dapat berujung pada masalah stunting. Pengetahuan yang baik akan pentingnya menjaga asupan gizi sejak bayi dalam kandungan hingga paling tidak usia 1.000 hari pertama kehidupan, sangat dibutuhkan untuk melahirkan anak-anak yang sehat.
Membentengi ibu dengan menjaga kesehatannya saat mengandung bahkan ketika masih dalam proses mempersiapkan kehamilan sangat krusial untuk diperhatikan mengingat ibulah yang akan melahirkan generasi masa depan bangsa.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan generasi yang berkualitas, kesehatan ibu hamil harus benar-benar dijaga. Sebab, persoalan stunting yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan seluruh elemen masyarakat adalah muara dari persoalan pemenuhan gizi pada ibu mengandung dan pada fase awal tumbuh kembang anak.
Mulai dari saat di dalam kandungan ibu sampai pada anak usia dua tahun (baduta) merupakan periode emas perkembangan anak. Pada periode tersebut, otak anak tumbuh lebih cepat dibandingkan periode lainnya selama siklus hidup.
Oleh karena itu, pemenuhan nutrisi yang tepat pada periode tersebut menjadi investasi baik yang akan memengaruhi perkembangan seorang anak, bahkan akan berpengaruh selama kehidupannya.
Stunting begitu menjadi perhatian karena efek jangka panjangnya dapat menyebabkan anak tidak dapat mencapai kapasitas penuh dari pertumbuhannya.
Meski secara nasional, menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting terus mengalami penurunan, tetapi apabila dilihat dari jumlah kasusnya ternyata mengalami peningkatan. Peningkatan justru terjadi pada fase periode emas perkembangan anak tersebut.
Kelompok anak usia 0-11 bulan pada tahun 2021 yang berusia 12-23 bulan pada 2022 mengalami kenaikan kasus stunting hingga 73,1 persen. Artinya, ada persoalan pada asupan gizi saat usia 0-11 bulan yang berpotensi menimbulkan dampak domino jika tidak segera ditangani.
Persoalan lainnya yang bisa menjadi pemicu kasus stunting adalah bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yaitu bayi yang dilahirkan dengan berat badan kurang dari 2,5 kilogram tanpa memandang masa kehamilan pada saat dilahirkan. Kondisi bayi dengan BBLR disebabkan oleh kondisi ibu saat hamil, antara lain kehamilan remaja, malnutrisi, dan komplikasi kehamilan.
Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat bayi yang lahir dengan BBLR lebih berisiko mengalami stunting. Apalagi jika merujuk data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik 2020-2022.
Data tren persentase ibu yang melahirkan ALH (anak lahir hidup) dilahirkan dengan BBLR disebutkan cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir. Dari 11,37 persen tahun 2020 meningkat menjadi 12,27 persen pada 2021 dan pada tahun 2022 naik 0,31 persen menjadi 12,58 persen.
Jika ditelisik lebih dalam, persentase ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR di perdesaan (13,44 persen) lebih tinggi dibandingkan perkotaan (11,93 persen). Terpotret juga, hampir 15 persen ibu yang berpendidikan tamat SD/sederajat merupakan kelompok ibu dengan persentase BBLR tertinggi dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan lainnya.
Jika dilihat menurut kelompok umur, risiko ibu melahirkan dengan bayi BBLR tertinggi pada kelompok umur 15-19 tahun (17,84 persen) dan 45-49 tahun (16,93 persen). Data tersebut menunjukkan, ibu dengan usia yang tidak aman untuk melahirkan (kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun) dan mengalami kekurangan energi kronis (KEK) berisiko lebih besar melahirkan bayi dengan BBLR.
Sebagai faktor risiko terjadinya stunting, edukasi terkait pemenuhan gizi yang cukup saat hamil perlu digalakkan dan menyasar kelompok ibu-ibu dengan persentase melahirkan bayi dengan BBLR tinggi. Apalagi menurut data Kemenkes, penyebab kematian neonatal (usia bayi kurang dari 1 bulan/28 hari) terbanyak pada tahun 2021 adalah karena kondisi BBLR sebesar 34,5 persen.
Perkawinan anakBerdasarkan data tersebut, ibu melahirkan di usia 17-19 tahun rentan mengalami kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah yang akan berdampak pada kualitas anak.
Sementara di sisi lain, Indonesia sedang menghadapi problem perkawinan anak atau perkawinan di bawah usia 19 tahun yang kian mengkhawatirkan. Indonesia bahkan menduduki peringkat ke-8 perkawinan anak di dunia serta ke-2 di ASEAN.
Mengutip laman kemenpppa.go.id, dari data pengadilan agama atas permohonan dispensasi perkawinan usia anak, tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus dan tahun 2022 tercatat 55 ribu pengajuan.
Ironisnya, pengajuan permohonan menikah pada usia anak lebih banyak disebabkan oleh faktor pemohon perempuan sudah hamil terlebih dahulu. Artinya, banyak kehamilan remaja yang perlu diwaspadai menimbulkan risiko pada kesehatan anak.
Tercatat jumlah dispensasi perkawinan anak terbesar ada di peradilan tinggi agama (PTA) Jawa Timur di Surabaya, dengan wilayah paling tinggi di Malang. Selanjutnya, pengajuan juga banyak terjadi di PTA Semarang, PTA Bandung, dan PTA Makassar.
Tingginya angka perkawinan anak ini menjadi ancaman, tak hanya bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak, tetapi memberikan dampak secara fisik dan psikis, memperparah angka kemiskinan, memicu stunting, hingga ancaman kanker serviks/kanker rahim pada anak.
Kondisi menjadi semakin mengkhawatirkan karena perkawinan anak yang disebabkan faktor kehamilan tanpa kesiapan, baik fisik, psikis, maupun ekonomi, menjadi rentan terhadap risiko melahirkan dengan BBLR.
Perempuan yang masih remaja secara psikologis belum matang, serta belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar.
Perkawinan anak juga menjadi beban bagi pasangan muda yang belum memiliki penghasilan cukup sehingga kebutuhan gizi bagi ibu yang sedang mengandung ataupun anak yang dilahirkan tidak terpenuhi secara optimal. Oleh karena itu, tak berlebihan jika dikatakan perkawinan anak menjadi salah satu faktor penyebab masalah stunting.
Mengingat stunting menjadi ancaman kualitas tumbuh kembang anak, membentengi kesehatan ibu dengan pemenuhan gizi saat hamil, pemberian tablet tambah darah pada remaja putri untuk mencegah anemia yang berisiko saat hamil, termasuk mencegah perkawinan dini, akan menyelamatkan anak dari ancaman stunting. (LITBANG KOMPAS)