Fenomena relawan politik makin menggeliat jelang pemilu. Di satu sisi relawan adalah ekspresi dari partisipasi politik. Namun, di sisi yang lain ia menjadi kekuatan politik yang menjadi ”kompetitor” dari partai politik.
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
Kuatnya ekspresi relawan politik ini bisa kita lihat dari fenomena relawan Jokowi sepanjang hampir dua dekade terakhir ini. Jokowi, yang di satu sisi selalu dilabeli sebagai petugas partai, setidaknya oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), di sisi yang lain ia memiliki ”gerbong” politik sendiri dengan kekuatan massa relawannya.
Terakhir, Minggu (14/5/2023), pada puncak acara Musyawarah Rakyat Indonesia yang dilangsungkan di Istora Senayan, Jakarta, relawan Jokowi kembali menunjukkan kekuatan pendukungnya. Dalam pertemuan tersebut, Musra menyampaikan ada enam bakal capres dan cawapres yang diusulkan melalui musyawarah rakyat yang digelar kelompok relawan pendukung Jokowi di pilpres lalu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Musyawarah rakyat sendiri dilangsungkan sejak Agustus 2022 di 29 provinsi dan melibatkan 65.000 pemilih. Dalam pilihan-pilihan yang disodorkan kepada calon pemilih tersebut, beberapa nama tokoh muncul.
Selain Ganjar, Prabowo, dan Airlangga adalah Puan Maharani, Anies Baswedan, Erick Thohir, Mahfud MD, Moeldoko, Sandiaga Uno, dan Ridwan Kamil. Adapun nama-nama cawapres yang bisa dipilih antara lain Airlangga Hartarto, Arsyad Rasyid, Danny Pomanto, Erick Thohir, Ganjar Pranowo, dan Mahfud MD.
Dalam sambutannya, Presiden Jokowi mengatakan, musyawarah rakyat adalah upaya merawat demokrasi dengan menyerap aspirasi akar rumput bukan dari elite. Dengan demikian, bisa diketahui siapa yang diinginkan rakyat.
Meskipun demikian, Jokowi hanya memberi kode bahwa akan memilih dan menyampaikan masukan musyawarah rakyat tersebut kepada partai-partai politik. ”Karena yang bisa mencalonkan adalah partai atau gabungan partai, nanti bagian saya untuk memberikan bisikan kuat kepada partai-partai yang sekarang ini juga koalisinya belum selesai,” tutur Jokowi.
Di momentum pertemuan relawan ini, Jokowi memang tidak secara eksplisit menyebutkan siapa nama calon presiden yang didukungnya, tetapi ia hanya memberikan sinyal bahwa jangan terburu-buru untuk mendukung calon presiden.
Presiden Joko Widodo cenderung menahan diri, tidak ada satu pun nama calon presiden disebut dalam sambutannya tersebut. Boleh jadi ini tidak lepas dari sorotan sejumlah pihak akhir-akhir ini yang mempersoalkan netralitas presiden dalam upaya dukung mendukung capres.
Sebab, dalam sejumlah kesempatan sebelumnya, Jokowi memang cenderung menunjukkan sinyal dukungannya kepada sosok tertentu untuk menjadi calon presiden meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan nama.
Sebut saja pada 21 Mei 2022 saat menghadiri Rapat Kerja Nasional V Projo di Balai Ekonomi Desa Ngargogondo, Magelang, Jawa Tengah, presiden hadir didampingi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden menyatakan, ”Ojo kesusu, jangan tergesa-gesa. Jangan tergesa-gesa. Meskipun, meskipun, mungkin yang kita dukung ada di sini” ujar Presiden menyoal siapa calon presiden yang didukung Projo. Banyak pihak kemudian menangkap pesan tersebut sebagai sinyal dukungan Jokowi kepada Ganjar.
Akhir tahun lalu juga demikian. Saat menghadiri pertemuan relawan pendukung Jokowi bertajuk ”Nusantara Bersatu: Satu Komando untuk Indonesia” di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, 26 November 2022, Presiden Jokowi melemparkan kode ciri pemimpin yang memikirkan rakyat, yakni wajahnya yang penuh kerutan dan rambutnya yang memutih.
Sekali lagi, banyak pihak kemudian menilai pernyataan ini juga mengarah pada dukungan Jokowi kepada Ganjar yang memang ciri khasnya memiliki rambut putih.
Relawan politik sebenarnya fenomena relatif baru, tetapi bukanlah sesuatu yang asing dalam panggung politik nasional. Harus diakui fenomena politik kesukarelaan (political voluntarism) ini lahir dan hadir untuk menandingi kuatnya fenomena pragmatisme politik yang menjalar di tingkat elite.
Bukan hal asing lagi jika selama ini pamor partai politik tidak begitu baik di mata publik. Hasil survei berkala Litbang Kompas merekam, citra baik partai politik rata-rata masih di bawah 50 persen.
Tidak heran jika kemudian munculnya fenomena relawan politik sebagai bagian dari antitesa dari kuatnya partai politik mendominasi kontestasi politik. Maka, berkembangnya fenomena relawan politik tidak lepas dari upaya membangun definisi dan makna baru terhadap politik itu sendiri.
Momentum voluntarisme warga dalam politik sudah tampak dari kontestasi Pemilihan Presiden 2014. Munculnya sosok Jokowi kala itu dengan gaya berpolitik yang merakyat dan menyatu bersama rakyat di lapangan seakan makin menguatkan fenomena kekuatan relawan dibandingkan partai.
Tidak hanya itu, selain Jokowi yang saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla, pasangan pesaingnya, Prabowo-Hatta, juga mengklaim memiliki ribuan relawan yang membantu kampanye.
Bisa dikatakan Pemilu 2014 merupakan panggungnya konsep political voluntarism meskipun fenomena relawan politik ini sebenarnya sudah mulai muncul di era lahirnya sosok Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2004. Ketika itu sebutan yang banyak muncul adalah para fans club SBY.
Beberapa dari kekuatan tersebut juga mulai menyebut sebagai ”Relawan SBY” yang anggotanya terdiri dari orang nonpartisan meski beberapa di antaranya pengurus partai politik. Kelompok ini berada di luar tim kampanye Yudhoyono.
Meminjam analisis Jati (2016), munculnya relawan politik ini juga tidak lepas sebagai respon emosional publik terhadap kondisi politik. Voluntarisme politik juga dipandang sebagai gerakan keikutsertaan dalam politik yang mendorong realitas perubahan sosial politik melalui tahapan politik ekstra parliamentarianisme.
Hal ini tidak lepas dari upaya untuk membangun daya tawar dengan kekuatan politik partai yang memang secara institusi menjadi kelembangaan yang resmi dan sah dari demokrasi.
Tentu, analisis ini tidak lepas dari sejumlah momen dimana antara relawan Jokowi, misalnya, terjadi perbedaan pandangan dengan sejumlah elite politik partai, khususnya PDI-P yang menjadi partai politik di mana Jokowi diusung dalam konstelasi politik elite.
Dalam kasus pertemuan Nusantara Bersatu: Satu Komando untuk Indonesia yang diselenggarakan relawan pendukung Presiden Joko Widodo di Pemilu Presiden 2014 dan 2019, misalnya, agenda tersebut dinilai elite PDI-P dapat menurunkan citra Jokowi di tengah berbagai prestasi selama menjabat.
Relawan pun diingatkan agar tidak menyeret Presiden untuk turut serta dalam manuver-manuver jelang Pilpres 2024. Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto yang menyesalkan sikap elite relawan yang dekat dengan kekuasaan kemudian memanfaatkan kebaikan Presiden Joko Widodo. Menurut Hasto, sikap tersebut dapat menurunkan citra presiden (Kompas, 27/11/2022).
Dalam konteks inilah kemudian semestinya fenomena voluntarisme politik menjadi momentum bagi partai politik untuk terus melakukan otokritik dan berupaya terus memperkuat kelembagaannya. Bagaimanapun partai politik menjadi saluran resmi bagi institusi demokrasi. Tidak ada yang lebih sah selain partai sebagai pilar demokrasi.
Meskipun juga harus diakui keberadaan relawan politik juga bagian dari partisipasi publik yang juga sah dalam demokrasi. Apalagi mereka yang selama ini berkecimpung dalam voluntarisme politik juga menjadi bagian dari pemilih partai, termasuk para relawan Jokowi yang di sejumlah hasil survei disebutkan sebagian besar dari mereka lebih dekat sebagai pemilih PDI-P.
Maka, dengan kehadiran fenomena relawan politik lebih kurang sepuluh tahun terakhir ini, semestinya menjadi modal bagi partai politik untuk terus menguatkan diri dan citranya di mata publik. Kehadiran relawan politik semestinya menjadi pelecut untuk terus menguatkan fungsi dan peran partai politik untuk terus turun di tengah-tengah rakyat, mengerti apa yang diinginkan rakyat.
Ke depan, relasi antara relawan politik dan partai politik harus terus disinergikan agar tidak saling menegasikan. Partai politik hadir sebagai kekuatan sekaligus pilar demokrasi, sementara relawan politik hadir sebagai ekspresi partisipasi politik publik. Keduanya bisa saling menguatkan, tidak melemahkan.
Fenomena relawan Jokowi bisa jadi akan melahirkan relawan-relawan politik lainnya yang tidak mudah dihapuskan dari sejarah politik Indonesia. Pada akhirnya, kehadiran gerakan voluntarisme politik ini harus terus ditujukan untuk mendukung penguatan kelembagaan partai politik, menuju partai politik yang lebih modern dan bercitra baik di mata publik. (LITBANG KOMPAS)