Kantor Gubernur, Tanah Adat, dan Konflik Agraria di Wamena
Pembangunan infrastruktur tanpa kajian riset dan pendekatan kultural akan berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.
Rencana pembangunan kantor gubernur Provinsi Papua Pegunungan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, menimbulkan potensi konflik di tataran masyarakat asli Papua. Proyek pembangunan infrastruktur tetap berjalan meski permasalahan adat antarsuku yang belum terselesaikan.
Provinsi Papua Pegunungan memiliki anugerah lanskap wilayah yang indah dan berlimpah sumber daya alam. Kesuburan tanahnya terlihat di seluruh bentang alam Pegunungan Jayawijaya yang wilayahnya teraliri Sungai Baliem (Sungai Vriendschaps). Berkah alam ini memberi kehidupan ke perkampungan-perkampungan suku asli yang sudah lama menetap sebelum NKRI berdiri. Dalam perkampungan-perkampungan adat itulah kekayaan budaya dilestarikan dan diturunkan hingga saat ini.
Dalam khazanah itulah, masuknya hal-hal yang berbau modernisasi kerap dipandang sebagai ancaman keluhuran nilai-nilai hukum adat. Sejak Juli lalu, masyarakat Baduy melakukan aksi penolakan terhadap masuknya sinyal internet ke wilayah mereka. Kasus ini hampir serupa dengan Wamena, tetapi perkaranya bukan karena jaringan internet, melainkan ancaman direnggutnya tanah dan air yang selama ini berperan sebagai ibu yang memberi kehidupan bagi masyarakat asli Papua.
Pemerintah melalui Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetipo memiliki rencana untuk membangun kantor gubernur Papua Pegunungan di sejumlah lokasi. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022, Kemendagri diserahkan kewenangan untuk bekerja sama dengan para bupati di provinsi baru melalui Kelompok Kerja III Satgas Pengawalan Daerah Otonomi Baru. Tugasnya untuk mengatur anggaran, dana hibah, hingga lokasi kantor administrasi pemerintahan.
Baca juga: Persoalan Kronis Otonomi Daerah
Masyarakat asli Papua pun sebagian mendukung dan menolak rencana pembangunan itu karena lokasi proyek tersebut masih berstatus tanah adat yang didiami oleh perkampungan asli beserta perkebunan warga setempat. Padahal, di kota Wamena, yang persisnya di wilayah Lembah Baliem, masih menyisakan cukup lahan untuk kepentingan administratif pemerintahan.
Masyarakat asli Papua tidak antimodernitas atau antipemerintah, sebaliknya mereka menyambut hangat kehadiran negara dengan kebijakan daerah otonomi baru (DOB). Sebagian dari mereka hanya menggugat rencana pembangunan kantor gubernur yang mengokupasi tanah adat. Rencana proyek ini tanpa disertai persetujuan secara menyeluruh, bahkan sosialisasi dengan masyarakat lokal, khususnya di Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya.
Wamendagri dan pihak pendukung
Polemik rencana pembangunan kantor gubernur ini sudah bergulir sejak Juni 2022. Setelah meninjau sejumlah lokasi, pada Februari 2023 akhirnya Wamendagri Wempi Wetipo menunjuk lokasi seluas 75 hektar di Distrik Welesi. Mengutip berita Antara (7/2/2023), Pelaksana Tugas Sekda Pemprov Papua Pegunungan Sumule Tumbo mengakui bahwa lahan seluas 108,8 hektar untuk pembangunan perkantoran pemprov (termasuk kantor gubernur) telah diserahkan oleh warga Welesi tanpa meminta ganti rugi.
Sebagai timbal balik, katanya, warga Welesi meminta agar Pemprov Papua Pegunungan merekrut anak-anak asli Welesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) tiap tahunnya. Adapun penyerahan lahan tersebut dilakukan oleh Kepala Suku Wilayah Adat Welesi Yohanes Yelipele beserta perwakilan lima suku besar lainnya (suku Yelipele, suku Yelipele-Elopere, suku Lanni-Matuan, suku Lanni-Wetapo, dan suku Asso-Yelipele). Menurut rencana, pembangunan akan dimulai pada 2024 dengan menggunakan anggaran DOB tahun ini.
Kemudian pada pertengahan Mei 2023, Wamendagri Wempi Wetimpo, Penjabat Gubernur Nikolas Kondomo, beserta jajarannya kembali meninjau lokasi di Distrik Welesi. Namun, kedatangan mereka mendapat penolakan dari masyarakat setempat dengan memalang jalan utama di depan kantor Distrik Welesi. Maksud pencegatan itu sebenarnya untuk mendorong adanya mediasi lanjut, tetapi kondisi tidak kondusif sehingga akhirnya rombongan pemerintah pun bertolak kembali ke pusat kota.
Baca juga: Pembangunan Papua Tak Hanya Bisa Andalkan Pemekaran
Hampir sebulan setelah itu, tepatnya 10 Juni 2023, perwakilan dari lima kepala suku wilayah adat dan sejumlah tokoh masyarakat berkumpul di kantor Distrik Welesi. Pertemuan ke-17 tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Tim Peduli Pembangunan Wilayah Adat Welesi Ismail Wetapo dan Kepala Wilayah Adat Welesi Yohanes Yelipele. Mereka kembali mengumumkan bahwa lahan seluas 108,8 hektar telah diserahkan ke Kemendagri sesuai keputusan pada Februari 2023.
Artinya, keputusan sudah final dan lokasi pembangunan klaster kantor pemerintahan tidak akan berpindah ke wilayah lain. Menurut rencana, mereka akan menunggu Wakil Presiden Ma’ruf Amin untuk meletakkan batu pertama sebagai tanda pembangunan dimulai. Diharapkan, pembangunan kantor gubernur Provinsi Papua Pegunungan dapat segera dimulai dan menjadi tonggak awal bagi kemajuan dan pelayanan publik di wilayah adat Welesi.
Pihak kontra
Keputusan di atas masih menyisakan kejanggalan dan konflik bagi masyarakat yang belum sepakat terhadap rencana pembangunan kantor administrasi Provinsi Papua Pegunungan. Sebenarnya dari lima suku besar di Distrik Welesi itu terpecah menjadi dua kubu (pro dan kontra). Tudingan dari pihak kontra, selama ini utusan Kemendagri hanya melakukan pertemuan dengan pihak pro yang difasilitasi oleh Tim Pembangunan Wilayah Adat Welesi, tanpa melibatkan pihak yang tidak mendukung.
Jangankan 108,8 hektar, lahan adat seluas 75 hektar yang muncul di awal wacana pembangunan pun sebenarnya belum menemui titik temu. ”Sejak awal, mereka (Kemendagri dan pemerintah daerah) hanya menemui pihak yang pro tanpa berusaha negosiasi dan sosialisasi dengan pihak yang belum setuju,” ungkap tokoh pemuda Welesi, Bonny Lanny Senin (12/6/2023). Menurut dia, justru pihak yang belum setuju inilah yang paling terdampak karena di lahan yang diserahkan masih berdiri sejumlah rumah warga lokal dan perkebunan rakyat.
Argumen dari pihak kontra, lahan yang diserahkan Tim Pembangunan Wilayah Adat Welesi ke pemerintah sebenarnya dari dulu hingga sekarang merupakan tanah adat yang masih berkonflik. Sejak 1980-an, dua suku (Mokoko dan Welesi) hingga kini masih proses negosiasi untuk menentukan status lahan adat tersebut. Di lahan itulah secara tiba-tiba diambil alih oleh Wamendagri untuk pembangunan kantor gubernur.
Di atas lahan itulah selama ini telah berdiri perkampungan masyarakat dan perkebunan umbi-umbian yang menjadi sumber pangan dan komoditas yang dibarter di pasar rakyat. Dengan adanya pembangunan kantor administrasi pemerintahan, warga yang bermukim di sana akan tergusur dan hasil bumi tidak lagi dapat diperoleh.
Baca juga: Tiga Penjabat Gubernur Papua Diminta Persiapkan Pemilu Serentak 2024
Ketika ditanya soal ganti rugi lahan adat oleh pemerintah, Bonny mengakui bahwa pembicaraan terkait itu pun belum pernah terjadi di kampungnya. Penyerahan dari pihak pendukung hanya terjadi secara sepihak dan tidak peduli terhadap nasib warga yang terdampak langsung. Pihak yang belum setuju pun sudah mencoba berbagai usaha menyampaikan pendapat hingga aksi demonstrasi ke kantor gubernur Papua di Jayapura. Namun, mereka tetap gagal menemui perwakilan pemerintah daerah guna mendapatkan solusi dari persoalan itu.
Sebagai jawaban, pemerintah justru cenderung menurunkan kekuatan militer melalui Dandim 1702/Jayawijaya ketika melakukan pematokan lahan di lokasi tersebut. Begitu juga dengan pembongkaran lahan perkebunan yang dilakukan pada awal Juni ini. Tindakan ini justru mendatangkan persepsi ancaman bagi masyarakat adat karena personel militer yang turun dilengkapi dengan persenjataan lengkap.
”Sekarang alat berat sudah masuk ke wilayah perkampungan Welesi. Katanya itu untuk bangun jalan, tetapi kami tidak percaya sepenuhnya,” kata Bonny. Menurut dia, hingga kini pun kelompoknya belum menemukan masterplan pembangunan yang seharusnya sudah ada sejak awal wacana. Sebagai usaha lanjutan, Bonny Lanny sebagai perwakilan masyarakat adat Aliansi Welesi, Wouma, dan Assolokobal melakukan pengaduan ke Komnas HAM di Jakarta pada Jumat, 9 Juni 2023.
Riset dan potensi konflik
Wacana pembangunan yang dilontarkan sejak Juni 2022 oleh Wamendagri secara bergulir membentuk konflik horizontal antarsuku karena terbagi antara yang mendukung dan menentang. Dari aspek legalitas, tanah sengketa adat yang masih belum jelas kepemilikan sukunya adalah milik negara. Dengan dasar itulah tampaknya menjadi argumen dasar bagi Wamendagri dan jajarannya untuk menetapkan lokasi pembangunan kantor gubernur di Distrik Welesi dibandingkan di lokasi lahan adat lainnya di Papua Pegunungan.
Namun, pendekatan sosial-kultural menjadi aspek yang dikesampingkan dalam rencana pembangunan tersebut. Dengan mempertimbangkan historisitas dan tradisi, pemerintah setempat seharusnya melakukan dialog intensif terhadap seluruh masyarakat yang terdampak, bukan hanya menjaring kelompok masyarakat yang sedari awal mendukung rencana pembangunan.
Pengakuan dari pihak kontra bahwa tidak adanya sosialisasi hingga pembicaraan terkait ganti rugi lahan adat mengindikasikan rapuhnya perencanaan pembangunan itu. Idealnya, penetapan lokasi hingga mulainya pembongkaran lahan dilakukan setelah dicapai kesepakatan bersama dengan seluruh masyarakat adat terutama mereka yang secara langsung terdampak proyek pembangunan itu.
Artinya, selain perencanaan yang tidak matang, tampaknya tidak ada riset terlebih dahulu untuk meninjau persoalan penerimaan masyarakat (sentimen), luas lahan yang diperlukan, hingga dampak pembangunan bagi kehidupan sekitar. Tidak adanya tinjauan inilah yang akhirnya mendatangkan berbagai dugaan mulai dari upaya melemahkan masyarakat lokal, pengambilan sumber daya alam, hingga adanya politik transaksional di balik semua ini. Apalagi, kasus ini terjadi di tanah Papua yang kekayaan alamnya sangat berlimpah dan memiliki potensi nilai ekonomi sangat besar.
Baca juga: Tiga DOB di Papua Dikawal hingga 2024
Selain pendekatan sosial-kultural, akhirnya pemerintah dalam konflik agraria ini perlu turut mempertimbangkan aspek humanis. Masyarakat adat lahir, diasuh, dan menyejarah di atas tanah yang dipandang luhur. Tanah bukan sekadar persoalan kepemilikan (properti) seperti yang tertuang dalam teori konsep hukum ekonomi klasik.
Keputusan tergesa-gesa dari pemerintah dapat menjadi blunder kesatuan NKRI di tanah Papua. Berdirinya kompleks kantor pemerintahan justru berpotensi menjadi ancaman, alih-alih sebagai representasi kehadiran negara di sana. Sekali lagi, masyarakat adat Welesi tidak antimodernisasi dan antipemerintah, justru mereka berharap terlibat dalam kemajuan daerah dengan adanya kebijakan DOB.
Kini, konflik masih terus bergulir dan masyarakat terdampak di Welesi hanya dapat menonton kendaraan berat berlalu lalang. Jika mediasi tidak segera diupayakan secara menyeluruh, potensi bentrokan antara warga dan aparat tidak dapat terhindarkan. Jangan sampai masyarakat asli menjadi terasing di tanah kelahirannya sendiri. (LITBANG KOMPAS)