Target Percepatan Penurunan ”Stunting” Kian Tinggi
Kian akseleratifnya penuntasan tengkes, terutama pada empat tahun terakhir ini, tidak terlepas dari tingginya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap isu ”stunting” di Indonesia.
Pemerintah terus meningkatkan anggaran alokasi penanganan stunting seiring dengan tingginya target percepatan penurunan tengkes dalam dua tahun ke depan. Pemerintah daerah yang menerima alokasi anggaran itu benar-benar diandalkan sebagai ujung tombak dalam merealisasikan target tersebut.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia pada periode 2019-2022, tren angka stunting di Indonesia menurun. Pada tahun 2022, angka stunting turun menjadi 21,6 persen dari tahun sebelumnya 24,4 persen. Angka ini susut cukup jauh dari kondisi tahun 2019 yang 27,7 persen. Bila di rata-rata pada kurun 2019-2022, angka stunting di Indonesia menurun 2,03 persen per tahun.
Capaian itu jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Merujuk pada data Riskesdas, pada 2007 angka stunting di Indonesia masih 36,8 persen. Sebelas tahun berselang, yakni pada 2018, angka tengkes turun menjadi 30,8 persen. Bila di rata-rata, penurunan angka tengkes pada rentang 2007-2018 berkisar 0,56 persen setahun. Besaran ini jauh lebih kecil dari rata-rata penurunan angka stunting pada kurun 2019-2022.
Kian akseleratifnya penuntasan angka tengkes di Indonesia, terutama pada empat tahun terakhir itu, tidak terlepas dari tingginya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap isu stunting. Keresahan terhadap fenomena tengkes yang ditemukan oleh masyarakat, penggiat isu kesehatan dan sosial, laporan media massa, serta temuan-temuan dari pemerintah membuat perhatian publik terhadap kasus ini kian tinggi. Hal ini kemudian disikapi pemerintah dengan menetapkan sejumlah regulasi beserta alokasi pendanaan yang relatif besar guna mempercepat penanganan stunting di Indonesia.
Baca juga: Membentengi Ibu, Menyelamatkan Anak dari ”Stunting”
Keseriusan itu salah satunya tecermin dari penetapan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Peraturan ini mencakup Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting. Salah satu tujuannya adalah menurunkan prevalensi stunting sesuai dengan target di RPJMN, yakni 14 persen pada 2024.
Mengingat stunting menjadi permasalahan laten yang harus diselesaikan dan membutuhkan sumber daya yang besar, maka pemerintah pusat menganggarkan dana khusus guna percepatan penurunan tengkes itu. Pendanaan ini sudah dilakukan sejak tahun 2018 dan bersumber dari APBN.
Pada 2022, alokasi anggarannya mencapai Rp 51 triliun. Anggaran ini terbagi ke dalam tiga alokasi, yaitu anggaran kementerian/lembaga Rp 34 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 12 triliun, dan Dana Desa Rp 6 triliun. Alokasi dana tersebut digunakan untuk kegiatan penyelenggaraan, monitoring, dan evaluasi program terkait dengan penanganan stunting.
Pendanaan
Nilai anggaran tahun 2022 itu cenderung meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di kementerian/lembaga misalnya, pada 2019 pendanaan stunting diberikan Rp 29,3 triliun. Nominalnya tersebut meningkat pada tahun-tahun berikutnya, yakni Rp 27,5 triliun pada 2020, Rp 35,3 triliun tahun 2021, dan Rp 34,2 triliun pada 2022.
Hal serupa juga terjadi pada anggaran DAK, yakni meningkat dari Rp 4,3 triliun pada 2020 menjadi Rp 6,8 triliun pada 2021. Pada tahun 2022, pendanaan stunting melonjak signifikan menjadi Rp 12,4 triliun.
Peningkatan berbagai alokasi pendanaan itu bertujuan untuk mendukung program-program akseleratif pengentasan stunting. Penambahan anggaran itu seiring dengan tingginya target pengentasan angka stunting di tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan proyeksi tahun 2023, angka stunting diharapkan turun menjadi 17,8 persen. Proyeksi ini menjadi landasan untuk mencapai target angka tengkes pada 2024 yang susut menjadi 14 persen.
Dengan proyeksi tersebut, maka pemerintah harus berhasil menurunkan angka tengkes pada kurun 2022-2024 sebesar 3,8 persen per tahun. Laju penurunan angka stunting itu lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang 0,56 persen setahun pada periode 2007-2019 dan 2,03 persen per tahun pada periode 2019-2022.
Baca juga: Peliknya Permasalahan "Stunting" di Perkotaan
Peningkatan laju penurunan angka tengkes itu disikapi pemerintah dengan menambah anggaran dana dan perluasan cakupan program. Harapannya lebih banyak daerah serta anak dan ibu yang menerima manfaat dari program-program tersebut.
Bertambah luasnya cakupan program itu terlihat dari meningkatnya jumlah daerah yang mendapat alokasi DAK stunting selama 2020-2021. Pada 2020, hanya 260 kabupaten/kota yang dialokasikan mendapat DAK stunting itu. Selanjutnya, pada kurun 2021-2022, jumlah daerah yang menerima alokasi DAK stunting meningkat menjadi 360 kabupaten/kota dan 514 kabupaten/kota.
Penambahan jumlah daerah yang menjadi sasaran alokasi DAK itu menjadi alasan di balik meningkatnya besaran anggaran DAK pada periode tersebut. Di sisi lain, peningkatan DAK dan penambahan jumlah daerah ini dapat dimaknai bahwa pemerintah daerah menjadi tumpuan penting dari kebijakan percepatan penurunan stunting secara nasional.
Pemerintah daerah
Saat ini, 514 bupati/wali kota sudah menandatangani komitmen bersama untuk melakukan upaya percepatan penanganan stunting di daerahnya. Wujud dari komitmen itu salah satunya adalah menjamin ketersediaan alokasi anggaran baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun daerah untuk setiap intervensi yang dibutuhkan dalam upaya penurunan stunting. Termasuk mengoptimalkan anggaran untuk program-program yang sesuai kebijakan dan sasaran strategi nasional guna percepatan penurunan stunting di Indonesia.
Menurut paparan data dalam acara Sosialisasi Arah Kebijakan DAK Stunting 2023, total alokasi APBD kabupaten/kota untuk stunting pada 2021 mencapai Rp 59,8 triliun. Selanjutnya, pada 2022, nilainya meningkat menjadi Rp 60,8 triliun.
Hingga tahun 2022, porsi pembiayaan stunting di daerah didominasi dari dana transfer daerah termasuk DAK. Besarannya mencapai 69 persen atau sekitar Rp 42 triliun, sedangkan alokasi dana nontransfer atau yang berasal dari daerah sendiri hanya 31 persen atau Rp 18 triliun. Pendanaan stunting di daerah itu belum termasuk anggaran Dana Desa yang juga sebagian dananya diarahkan untuk penanganan tengkes di desa-desa.
Sayangnya, pemanfaatan anggaran stunting di daerah-daerah masih belum optimal. Dalam webinar Sosialisasi Arah Kebijakan DAK Stunting 2023 disebutkan, masih banyak kendala yang dihadapi pemerintah daerah dalam mengelola dana tersebut.
Baca juga: Fenomena Anak "Stunting" di Perkotaan, Dekat dengan Keseharian
Salah satunya adalah adanya celah perbedaan antara desa prioritas stunting yang diusulkan pemerintah daerah dan desa yang diusulkan mendapat DAK air minum dan sanitasi. Desa prioritas yang seharusnya mendapat bantuan DAK untuk penyediaan air minum dan sanitasi belum sepenuhnya mendapat bantuan tersebut. Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi menyebutkan, desa prioritas yang seharusnya mendapatkan intervensi program stunting pada tahun 2022 berupa sanitasi baru 22 persen dan untuk air minum hanya 14,4 persen.
Selain itu, terdapat pemahaman yang belum merata atas kebijakan DAK penurunan stunting di daerah. Salah satunya ditandai dengan belum mengusulkan program intervensi penurunan stunting melalui DAK. Berdasarkan data Bappenas, hanya 69 persen pemda yang baru mengetahui tentang hal itu.
Kendala lainnya adalah pemanfaatan pendanaan stunting belum tepat sasaran. Presiden Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Internal 2023 di kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jakarta, Rabu (14/6/2023), menyinggung penganggaran stunting dari APBD yang kurang tepat sasaran. Anggaran lebih banyak dialokasikan untuk perjalanan dinas, rapat, dan pengembangan, sedangkan anggaran untuk kebutuhan pangan dan peningkatan gizi nilainya lebih sedikit.
Mengingat situasi stunting di Indonesia masih genting, pemerintah daerah sebagai garda terdepan yang menangani persoalan stunting di daerah masing-masing diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada. Pendanaan baik dari pusat maupun daerah seharusnya dapat dialokasikan sesuai dengan program yang menyasar langsung ke desa-desa yang benar-benar membutuhkan. Komitmen daerah untuk mencapai masyarakat bebas stunting juga perlu diwujudkan dalam alokasi anggaran daerah yang sepadan dalam menanggulangi tengkes tersebut.
Di sisi lain, peran pemerintah pusat juga dibutuhkan dalam memastikan pemahaman, pengelolaan, dan evaluasi pemanfaatan dana stunting di daerah-daerah. Hal ini menjadi dasar pengelolaan dana stunting yang tepat sasaran mengingat masih banyak daerah yang belum memahami mekanismenya. Pada akhirnya, percepatan penurunan stunting di Indonesia membutuhkan komitmen dan keseriusan bersama baik dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah guna merealisasikan capaian target penanggulangan yang kian tinggi. (LITBANGKOMPAS)