Warisan Lukisan-lukisan Spiritual Djoko Pekik
Lukisan bukan hanya sekadar menggurat kanvas. Di tangan Djoko Pekik, lukisan dapat menjelma penuh makna spiritualitas tentang kehidupan dan kritik sosial yang berkualitas.
Djoko Pekik dikenal sebagai pelukis kondang dan laris. Seniman lukis Yogyakarta ini dijuluki ”Pelukis Rp 1 miliar” setelah lukisannya, ”Berburu Celeng”, yang dibuatnya tahun 1998 laku dibeli Rp 1 miliar. Djoko Pekik menampilkan celeng sebagai binatang yang dianggapnya rakus dan tamak.
Menurut budayawan Sindhunata, lukisan tersebut cukup kontekstual di masa lengsernya Presiden Soeharto. Lukisan ”Berburu ”Celeng memuat pesan moral tentang keserakahan penguasa pada masa itu yang kemudian ditumbangkan oleh rakyatnya.
Karya-karya Djoko Pekik memang lekat dengan makna kehidupan sekaligus menjadi ilustrasi aktualitas yang terjadi di masyarakat. Tidak jarang, Djoko Pekik menyerap kehidupan di sekitarnya sebagai tema lukisan, termasuk menyuarakan nasib masyarakat kelas bawah.
Arsip Kompas sejak 1987 merekam gagasan dan pergulatan Djoko Pekik dalam melukis. ”Pikiran saya, dan yang saya ketahui lebih banyak hanya sekitar rakyat kecil,” kata Djoko Pekik tentang tema lukisannya.
Baca juga: Konsistensi Djoko Pekik yang Melintasi Zaman
Pilihan-pilihan obyek dan idenya itu, antara lain, tertuang dalam lukisan pencari kerikil di sungai, penjaga malam bersarung, penjual mainan tradisional, buruh perempuan, tukang becak yang bekerja sambil mengasuh anak, pengamen yang sedang beristirahat, kakek veteran pejuang, anak penjual warung nasi, abdi dalem, petani, hingga sinden yang sedang menyusui bayi.
Apa yang dilukis Djoko Pekik tersebut tidak jauh berbeda dengan kisah hidup yang pernah dilalui pelukis kelahiran Purworejo tersebut. Sempat dipenjara akibat peristiwa politik 1965, Djoko Pekik sempat bekerja serabutan untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Ia pernah pula menjadi penjahit pakaian di Yogyakarta.
Selain lekat dengan topik seputar wong cilik, lukisan Djoko Pekik juga banyak menampilkan peristiwa aktual yang dialami masyarakat. Salah satu lukisannya yang cukup menyentuh ialah ”Kawulo Gonjang Ganjing” yang mengambil latar belakang peristiwa wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Mangkatnya Raja Keraton Yogyakarta pada 1988 ini diantar ratusan ribu rakyatnya yang melayat sepanjang jalan menuju pemakaman.
Aktualitas lain ditampilkan Djoko Pekik saat musim kering dan cuaca panas terik seperti sekarang ini. Djoko Pekik menggambarkan suasana kekeringan yang dialami warga di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Obyek lukisan itu bersumber dari kehidupan nyata yang ditemui Djoko Pekik saat pergi ke Gunungkidul pada Oktober 1993.
Djoko Pekik menuturkan, ia juga terbiasa melukis langsung di lokasi. Mereka menemukan telaga di Desa Jrakah yang menyisakan air keruh. Para penduduk, baik laki-laki maupun perempuan, berganti mencuci pakaian atau mandi di telaga itu. Ada pula warga yang menimba air dengan pikulan kaleng dan petani yang menggiring ternak sapi mereka untuk mencari mata air.
Ada pula rekaman bencana gempa dalam lukisan ”Manten Gempa”. Djoko Pekik melukis peristiwa gempa besar yang melanda wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah pada 2006. Lukisan ”Manten Gempa” menggambarkan sepasang warga melangsungkan pernikahan di antara puing gempa yang menelan korban jiwa hingga 5.782 orang itu.
Ada pula momen kebersamaan rakyat saat merayakan kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus. Djoko Pekik membuat lukisan ”Holobis Kuntul Baris” yang mengambil obyek kemeriahan perayaan kemerdekaan di Alun-alun Keraton Yogyakarta. Ada tarian jatilan, balap bakiak berkelompok, panjat pinang, dan perayaan khas rakyat lainnya dalam rangka peringatan HUT kemerdekaan Indonesia (Kompas, 16/8/2017).
Daya gugah
Tidak mudah dijumpai lukisan-lukisan yang merekam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masyarakat sekaligus membawa pesan moralnya bagi kemanusiaan. Nilai inilah yang menjadi spirit lukisan Djoko Pekik dalam karya-karyanya, seperti telihat dari lukisan ”Keretaku Tak Berhenti Lama”. Dalam lukisan itu digambarkan penumpang yang penuh sesak sedang menunggu kereta. Di sisi lain, tampak jalan layang yang penuh dengan mobil.
Lukisan terlihat menampilkan dua sisi kehidupan yang kontras, antara nasib warga kaya yang nyaman di kendaraan pribadi dan nasib rakyat kecil, seperti buruh, yang harus bersusah payah menunggu kereta yang penuh sesak. Namun, bagi Djoko Pekik, pilihan lukisannya itu sebenarnya membawa pesan solidaritas.
Djoko Pekik menguraikan, kereta pi dijalankan masinis yang juga seorang buruh. Suatu ketika masinis menjumpai buruh-buruh lain yang hendak pulang, tetapi kesulitan mendapat angkutan. Masinis menghentikan kereta supaya buruh-buruh itu bisa menumpang meski kereta tidak bisa berhenti lama (Kompas, 6/3/2022).
Baca juga: Djoko Pekik: Saya Terus Melukis ”Sak Kuate”!
Lewat lukisan, Djoko Pekik menggaungkan kembali solidaritas dan gotong royong antarwarga sesuai nilai-nilai luhur Pancasila. Bagi Djoko Pekik, budaya gotong royong dan solidaritas yang dimiliki bangsa Indonesia akan hilang jika tidak dipupuk.
Solidaritas ini semakin nyata dirasakan kala pandemi Covid-19, terutama bagi seniman dan rakyat kebanyakan sebagai dampak pandemi. Nelangsa warga akibat pandemi dan menguatnya solidaritas ini tak luput dari pantauan Djoko Pekik. Melalui lukisan berjudul ”Corona”, Djoko Pekik melukis sebuah mobil bertuliskan Corona dengan bak terbuka yang mengangkut tumpukan bahan makanan pokok yang telah dinantikan orang banyak.
Lukisan tersebut terinspirasi dari peristiwa yang dilihat Djoko Pekik saat pandemi Covid-19. Di tengah Kota Yogyakarta, Djoko Pekik melihat ada orang kaya dengan menggunakan mobil pikap membagikan banyak bahan makanan pokok kepada masyarakat.
Dalam karyanya yang lain, Djoko Pekik melukis seekor buaya raksasa yang mengeluarkan lidah api melingkar di sisi kiri lukisannya. Karya lukis penuh kritik sosial tersebut diberi judul ”Go To Hell Crocodile” yang ditampilkan dalam ART|JOG tahun 2014. Di sisi kanan dan belakang buaya itu, ribuan orang berkumpul sambil membawa satu bambu runcing panjang. Menurut Djoko, lukisannya menggambarkan kondisi bangsa Indonesia yang tercabik-cabik dan dikuasai kapitalis asing.
Sebelumnya, Djoko Pekik juga pernah melukiskan bahaya laten korupsi melalui lukisannya berjudul ”Percakapan Pagi” yang dibuat pada 2005. Dalam lukisan tersebut digambarkan tiga perempuan yang asyik bercengkerama. Di belakangnya tampak beberapa tempat nasi (bakul) yang sudah tidak ada isinya lagi. Tempat nasi tersebut terlihat terguling dan keluar sejumlah tikus. Menurut Sindhunata, lukisan ”Percakapan Pagi: Negeri Maling, Kendhil Ngguling” ini serasa mengingatkan tentang rakyat yang kelaparan, sampai bakul nasinya pun sekarang hanya menjadi tempat tikus-tikus.
Dalam sebuah kesempatan wawancara, Djoko Pekik mengungkapkan spirit dasar yang menjadi landasan dalam membuat lukisan. ”Melukis itu bicara kepada orang lain, bicara kepada siapa saja, bicara kepada publik,” ujarnya (Kompas, 6/3/2022).
Dari situlah Djoko Pekik menebar semangat optimistis dan penyadaran bagi masyarakat luas. Tidak jarang, penyadaran dari pesan-pesan lukisan Djoko Pekik berbuah menjadi daya gugah bagi masyarakat untuk membangun kesadaran akan Indonesia yang lebih baik.
Penyadaran-penyadaran tersebut diakui Djoko Pekik menjadi sikap dan watak lukisannya. Banyaknya pameran lukisan yang tidak berbicara apa-apa menjadi keresahan bagi Djoko Pekik sekaligus tantangan bagi dunia seni dan budaya Indonesia untuk dapat memunculkan sosok-sosok pelukis berkarakter selepas wafatnya Djoko Pekik. (LITBANG KOMPAS)