Keniscayaan Jakarta Bertransformasi Menjadi Kota Berstandar Dunia
Di tengah kepungan masalah laten seperti kemacetan dan polusi, Jakarta terus bertransformasi menjadi salah satu kota berstandar dunia.
Di tengah kepungan masalah laten seperti kemacetan dan polusi, Jakarta terus bertransformasi menjadi salah satu kota berstandar dunia. Selain fasilitas berstandar global, atribut ini juga akan membuat Jakarta menghadirkan kenyamanan dan kesejahteraan bagi segenap warganya.
Pada Juni 2023, Jakarta merayakan hari jadinya yang ke-496. Tema yang diusung dalam rangkaian HUT Ibu Kota adalah ”Jadi Karya untuk Nusantara”. Sebuah harapan yang besar dari Jakarta untuk menjadi bagian penting dalam pembangunan nasional. Tema tersebut juga merupakan amplifikasi dari slogan ”Sukses Jakarta untuk Indonesia”.
Dalam konteks pembangunan nasional, peran Jakarta sangatlah penting. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, pada triwulan II-2022, kontribusi perekonomian Jakarta bagi kemajuan Indonesia mencapai 16,7 persen. Sejumlah kemajuan Jakarta, khususnya dari pembangunan infrastruktur dan penyediaan layanan sosial, menjadi kiblat bagi daerah lain untuk mereplikasi.
Rencana perpindahan ibu kota negara pada tahun 2024 dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur, mendorong Jakarta bertransformasi sebagai kota berstandar global. Status ini menunjukkan peran luas sebuah kota dalam hal konektivitas dan pembangunan yang berpengaruh secara regional ataupun internasional.
Kota global memainkan peran penting dalam menjawab berbagai permasalahan, seperti perubahan iklim, mobilitas warga, dan inovasi teknologi. Selain itu, kota global juga menjadi tolok ukur kemajuan ekonomi, inklusivitas, dan pembangunan infrastruktur.
Perkembangan kemajuan kota global berperan penting sebagai barometer proyeksi dunia pada masa kini dan masa mendatang. Perannya sangat penting bukan hanya bagi penduduk kota, melainkan juga bagi semua warga dunia.
Hanya saja, untuk mencapai standar kota global tidaklah mudah. Penuh rintangan dalam upaya mewujudkannya.
Kearney, lembaga konsultan independen yang berpusat di Amerika Serikat, dan berada di 40 negara lain, merilis sebuah laporan tentang Indeks Kota Global pada tahun 2022. Sebanyak 156 kota di seluruh dunia dinilai dalam lima dimensi utama, yaitu aktivitas bisnis, sumber daya manusia, pertukaran informasi, pengalaman budaya, dan keterlibatan politik.
Baca juga: Transisi Ibu Kota Negara Menjadi Kota Global, Siapkah Jakarta?
Jakarta sebagai kota terbesar dan paling berkembang di Indonesia menempati peringkat ke-69 dalam Indeks Kota Global. Dalam indeks itu, peringkat lima besar ditempati secara berurutan oleh kota New York, London, Paris, Tokyo, dan Beijing.
Untuk kawasan Asia Tenggara, kota Singapura menempati posisi tertinggi, yaitu peringkat ke-9 secara global. Ibu kota Thailand, Bangkok, berada di posisi ke-43 dan Kuala Lumpur, Malaysia, di posisi ke-64.
Posisi dalam Indeks Kota Global tersebut mengindikasikan perlunya transformasi secara masif bagi Jakarta untuk terus membenahi kotanya. Apalagi menjelang pemindahan ibu kota negara, jangan sampai Jakarta kehilangan identitasnya sebagai episentrum peradaban modern di Indonesia.
Dalam pemberitaan Kompas 9 Juni 2023, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyebutkan tiga poin utama tumpuan Jakarta dalam bertransformasi. Pertama, tumpuan dari sisi aksesibilitas, liveability, perbaikan lingkungan, dan budaya. Kedua, pengembangan teknologi dan inovasi. Yang terakhir ialah toleransi dan internasionalisme.
Ia meyakini bahwa Jakarta merupakan kota modern yang memenuhi syarat kota global tersebut.
Dalam berproses mencapai statusnya sebagai kota global, Jakarta saat ini tengah dihadapkan pada salah satu masalah pelik perkotaan, terutama terkait polusi udara. Bahkan, beberapa kali Jakarta menempati posisi sebagai kota paling polutif di dunia berdasarkan pengukuran Indeks Kualitas Udara. Situasi ini harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah karena polusi udara sangat merugikan penduduk kota, baik secara ekonomi maupun kesehatan.
Khusus wilayah Jakarta, perhitungan IQAir menunjukkan bahwa polusi udara diperkirakan menyebabkan kematian hingga 4.700 orang dalam setahun. Sementara itu, kerugian ekonomi ditaksir mencapai 1,2 miliar dollar AS setahun. Estimasi kematian dan kerugian ekonomi ini diprediksi akan terus bertambah seiring dengan belum optimalnya penanganan polusi udara di kawasan Ibu Kota.
Selama sebulan terakhir, persoalan polusi udara masih ramai dibicarakan warganet di media sosial. Sejumlah narasi kontra muncul dari kalangan masyarakat melihat respons pemerintah daerah dan pusat yang dinilai kurang cepat menangani persoalan ini. Respons itu mulai dari perumusan pajak pencemaran lingkungan, penggunaan kendaraan listrik, kebijakan bekerja dari rumah (WFH), hingga uji emisi.
Masalah laten
Polusi udara adalah salah satu masalah laten lingkungan di Jakarta. Persoalan lain adalah mulai dari kemacetan, banjir, permukiman, kriminalitas, hingga jaminan sosial. Namun, belum semua persoalan tersebut tertangani sehingga berpotensi mengurangi kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Jakarta.
Ketidakpuasan publik terhadap peran pemerintah dalam penanganan masalah perkotaan di Jakarta terekam dalam Survei Teropong Jakarta yang dilakukan Litbang Kompas pada Oktober 2022. Dari survei tersebut terkonfirmasi masalah apa saja yang paling mendesak untuk ditangani.
Baca juga: Jakarta Menuju Kota Global
Sebanyak 85,5 persen responden mengatakan, lima masalah utama di Jakarta adalah banjir; transportasi, termasuk kemacetan dan transportasi massal; masalah sosial, seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan; kriminalitas; serta polusi udara. Jika dikelompokkan, tiga sektor utama yang menjadi biang masalah sulitnya hidup di Jakarta adalah lingkungan, sosial-ekonomi, dan infrastruktur.
Ketiga sektor tersebut idealnya menjadi kiblat pemerintah dalam menyusun agenda prioritas untuk mencapai standar kota global.
Ditarik lima tahun ke belakang, Jakarta pernah menempati urutan ke-56 sebagai kota global. Namun, posisi tersebut makin menurun seiring dengan lemahnya respons pemerintah dalam menangani masalah laten perkotaan.
Lemahnya respons pemerintah itu terkonfirmasi dari tingginya ketidakpuasan publik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama dalam menangani banjir, kemacetan, dan polusi. Sebanyak 36,1 persen responden mengaku tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan banjir. Kejadian banjir selalu berulang setiap tahun dan tampaknya cenderung kian pelik untuk diselesaikan.
Lebih parah lagi, ketidakpuasan publik makin memuncak perihal kinerja pemerintah dalam pengendalian polusi udara. Lebih dari separuh responden (55,4 persen) menyatakan tidak puas terhadap respons pemerintah daerah terkait polusi.
Hal itu sepertinya terbukti saat ini di kala polusi pekat menyelimuti Jakarta. Alih-alih mengambil keputusan agresif, pemerintah terkesan saling tuding dan lempar tanggung jawab.
Ketidakpuasan publik berikutnya terkait penanganan kemacetan. Bahkan, persoalan ini menjadi puncak ketidaksukaan karena 67,1 persen menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintah daerah dalam mengatasi kemacetan yang tak kunjung terurai. Jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat setiap saat membuat masalah kemacetan menjadi persoalan yang sulit tertangani.
Tahun 2021, jumlah mobil berpelat B mencapai 4,1 juta unit. Berselang dua tahun, pada 2023, jumlah kendaraan bertambah sekitar 6 juta unit.
Jumlah sepeda motor melonjak lebih banyak lagi. Pada tahun 2021 jumlahnya 16,5 juta unit dan tahun 2023 meningkat hingga 20 juta unit. Kondisi tersebut belum termasuk kendaraan dari luar kota yang berlalu lalang setiap saat di jalanan Ibu Kota.
Kemacetan di wilayah Jakarta tampaknya kian bertambah parah dan semakin panjang. Polda Metro Jaya menyebutkan, hingga pertengahan 2023, indeks kemacetan sudah mencapai 53 persen. Padahal, untuk kenyamanan pengguna jalan, indeks kemacetan seharusnya tidak melebihi 50 persen.
Membangun kota global
Target mencapai kota global sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil bagi Jakarta. Kawasan Ibu Kota telah memiliki infrastruktur memadai, seperti layanan keuangan internasional, kantor pusat institusi, kantor pusat korporasi multinasional, dan pengaruh dalam pengambilan keputusan.
Pembangunan Jakarta sebagai kota modern selama ini menjadi keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, untuk meraih target kota global, masalah paling mendesak seputar kemacetan, banjir, polusi, dan kriminalitas perlu segera diatasi. Jika persoalan tersebut tertangani, upaya membangun kota global dapat dilakukan dengan lebih akseleratif.
Baca juga: Jaga Jakarta sebagai Barometer Nasional
Mempertimbangkan karakteristik Jakarta, setidaknya ada empat prinsip yang dapat digunakan untuk mencapai standar kota global. Empat prinsip tersebut adalah resiliensi, efisiensi sumber daya, keberlanjutan, dan inklusivitas sosial.
Resiliensi membahas tentang membangun ketahanan masyarakat dari sisi ekonomi dan bencana. Prinsip ini dimulai dari diversifikasi sektor ekonomi dan membangun infrastruktur yang adaptif terhadap bencana, khususnya dampak krisis iklim.
Selanjutnya, prinsip efisiensi sumber daya terkait erat dengan pola ekonomi sirkular, manajemen air dan energi, serta menguatkan hubungan antara Jakarta dan wilayah penyangganya. Sementara itu, prinsip keberlanjutan berorientasi pada ketahanan iklim, yaitu pembangunan rendah karbon dan energi hijau.
Terakhir, prinsip inklusivitas sosial, yaitu pemberdayaan kelompok rentan, seperti pekerja informal dan migran. Dengan menerapkan keempat prinsip tersebut, bukan mustahil standar kota global yang ingin dicapai Jakarta dapat segera terwujud. (LITBANG KOMPAS)