Meningkatnya Kasus Anak Berkonflik Hukum, Alarm bagi Masyarakat dan Negara
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan bahwa tindak kekerasan fisik dan kekerasan seksual adalah dua jenis tindak kriminal yang paling banyak dilakukan oleh anak.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·5 menit baca
Semakin meningkatnya kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak dengan beragam kasus yang menyertainya menjadi keprihatinan dan pekerjaan rumah bersama untuk mengatasinya.
Kasus anak yang berkonflik dengan hukum, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana.
Anak-anak yang menjalani masa tahanan ditempatkan pada beragam fasilitas pemasyarakatan. Saat ini tahanan anak ditampung di lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) sebanyak 1190. Ada juga yang bertempat di lembaga pemasyarakatan (lapas) 234 orang, rumah tahanan negara (rutan) 53 orang, dan lembaga pemasyarakatan perempuan (LPP) sejumlah 7 orang. Tahun 2023 masih menyisakan empat bulan hingga akhir tahun, artinya angka tersebut kemungkinan masih akan bergerak naik.
Apabila dibandingkan dengan data tiga tahun yang lalu, jumlah anak yang terjerat hukum belum pernah menembus angka 2.000. Menilik keadaan pada 2020 dan 2021, angka anak tersandung kasus hukum 1.700-an orang. Kemudian meningkat di tahun berikutnya menjadi 1800-an anak. Tren yang cenderung meningkat menjadi alarm bahwa anak-anak Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan cenderung menuju pada kondisi yang problematis.
Merujuk dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 bahwa kelompok usia yang digolongkan sebagai anak dalam ranah perkara hukum yaitu berusia 12-17 tahun. Kemudian kategori anak yang bersinggungan dengan proses hukum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu anak berhadapan dengan hukum dan anak berkonflik dengan hukum.
Mengacu pada perundang-undangan yang sama, pada Pasal 1 Ayat 2 disebutkan bahwa ”Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”. Sementara itu, pada Ayat 3 dari pasal yang sama menjelaskan bahwa anak berkonflik dengan hukum adalah anak yang diduga melakukan tindak pidana.
Mirisnya, dari rekap data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), didapati bahwa tindak kekerasan fisik dan kekerasan seksual adalah dua jenis tindak kriminal yang paling banyak dilakukan oleh anak. Pada 2020, proporsi tindak kekerasan fisik mencakup 29,2 persen dari total tindak pidana, sementara kekerasan seksual berada di angka 22,1 persen.
Fenomena tawuran atau bentrok antarkelompok yang melibatkan anak menjadi hal yang kerap ditemukan di berbagai media. Selain tawuran, kasus penganiayaan dan perkelahian juga banyak dilaporkan. Tindak kekerasan jalanan seperti pembacokan yang menyebabkan korban terluka juga termasuk di antaranya. Namun, jika pembacokan sampai menewaskan korbannya, akan masuk dalam tindak pembunuhan.
Sementara itu, tindak kekerasan seksual acapkali ditemui pada kasus hubungan seksual di luar nikah oleh anak (di bawah 18 tahun). Baik itu kasus dengan pemaksaan maupun tanpa pemaksaan dapat dilaporkan sebagai tindak kekerasan seksual. Biasanya kasus ini mencuat dari laporan orangtua dari pihak anak perempuan selaku korban kekerasan seksual.
Ragam tindak kriminal lainnya yang juga dicatat oleh KPAI pada periode 2020 antara lain tindak pencurian (11,1 persen), kasus kecelakaan lalu lintas (10,6 persen), kekerasan psikis seperti ancaman dan intimidasi (5,5 persen), tindak sodomi atau pedofilia (5,5 persen), pemilikan senjata tajam (5,5 persen), terjerat kasus aborsi (5 persen), serta kasus pembunuhan (4 persen).
Skema diversi
Tidak pidana yang dilakukan oleh anak tentu mendapat perlakuan yang berbeda dengan pelaku tindak pidana usia dewasa. Hal ini sudah diatur dalam perundang-undangan bahwa anak harus dipisahkan dari orang dewasa, baik dari segi proses hukumnya yang dirancang khusus, serta lokasi pembinaannya yang dikhususkan bagi anak. Pemisahan antara tahanan serta narapidana anak dengan dewasa merupakan hak yang diperoleh anak.
Diatur pula pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 bahwa keutamaan dari proses hukum bagi anak yaitu melalui pendekatan keadilan restoratif (Pasal 5 ayat 1). Artinya, lembaga peradilan harus mengupayakan pemulihan relasi antara pelaku dan korban serta fungsi sosial pelaku semaksimal mungkin supaya dapat dikembalikan ke masyarakat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Pendekatan restoratif diupayakan melalui skema diversi yaitu prosedur pengalihan penyelesaian perkara pidana dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pelaksanaan diversi meliputi tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri melalui musyawarah yang melibatkan anak yang berkonflik dengan hukum, pembimbing kemasyarakatan, serta pekerja sosial profesional. Namun, syarat seorang anak dapat diproses secara diversi apabila ancaman pidana yang disangkakan kurang dari 7 tahun. Apabila lebih dari itu, tersangka harus diproses hukum dengan pendekatan reguler.
Pada laporan bertajuk ”Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak 2020” yang berisi kompilasi laporan dari delapan kementerian dan lima lembaga negara, didapati rekap data penanganan kasus pidana anak melalui skema diversi. Salah satunya dilaporkan oleh Polri, dalam periode 2017-2020 pihak kepolisian telah menerima 29.228 laporan terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Terdapat 4.126 kasus yang penyidikannya dihentikan dan kasus diselesaikan secara diversi. Artinya, jika dilihat proporsinya, dalam kurun empat tahun, terdapat 14,1 persen kasus yang ditutup melalui skema diversi.
Jika dilihat datanya, penerima skema diversi masih terbilang sedikit. Tidak diketahui apakah penyebabnya karena ancaman hukuman pidananya lebih dari 7 tahun atau karena hal lain. Adapun data dari Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham mengindikasikan bahwa pada tahun 2023 mayoritas anak berkonflik hukum dijatuhi hukuman lebih dari 1 tahun penjara. Kelompok narapidana tersebut termasuk dalam jenis golongan B I yang berjumlah 1.089 per 25 Agustus 2023.
Populasi narapidana golongan B I mencapai 72,3 persen dari total narapidana anak. Golongan lainnya yakni B II A dengan masa hukuman 3 bulan hingga 1 tahun sebanyak 25,8 persen. Selanjutnya narapidana yang harus mendekam di penjara sampai dengan 3 bulan (golongan B II b) sebesar 1,9 persen saja. Tentu durasi hukuman yang dijatuhkan mengacu pada seberapa berat tindak pidana yang dilakukan oleh tiap anak berkonflik hukum.
Tindak kriminalitas oleh anak yang menyebabkan anak berkonflik dengan hukum tidak dapat dihilangkan sama sekali, tetapi dapat diupayakan untuk ditekan. Tugas semua elemen masyarakat dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak saat menghadapi tantangan dalam masa tumbuh kembangnya. Karena sejatinya tempat terbaik anak adalah dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang aman, bukan di tahanan. (LITBANG KOMPAS)