Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Utamakan Aspek HAM di Kasus Rempang
Keberlangsungan investasi di Rempang dinilai penting. Namun, publik juga menyoroti pentingnya mengedepankan aspek hak asasi manusia tanpa ada kekerasan dalam penyelesaian konflik di sana.
Belum tuntasnya penyelesaian konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang mendapat perhatian masyarakat. Di satu sisi, publik tetap memandang pentingnya aspek keberlangsungan investasi.
Namun, publik juga menyoroti pentingnya mengedepankan aspek hak asasi manusia dan menghindari unsur kekerasan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Satu bulan lalu, konflik pecah antara aparat dan warga lokal di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Konflik ini bersumber dari rencana pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Pada tahap pertama proyek Rempang Eco City, akan dibangun industri kaca. Proyek ini bagian dari program hilirisasi nasional untuk bahan pasir kuarsa dan silika.
Proyek ini rencananya akan dibangun di lahan seluas sekitar 8.000 hektar dari total 17.000 hektar luas Pulau Rempang. Sisa lahan merupakan kawasan hutan lindung. Di dalam area yang dibangun tersebut, terdapat 16 kampung tua yang berisikan lebih kurang 700 keluarga.
Pada awalnya gesekan antara aparat dan warga bermula saat pihak pemerintah datang untuk melakukan pengukuran dan pematokan yang akan digunakan untuk pembangunan proyek. Namun, kedatangan pemerintah ini diartikan oleh warga sebagai langkah untuk melakukan relokasi.
Masyarakat yang menolak direlokasi melakukan perlawanan terhadap aparat keamanan. Tak ayal, bentrokan pada Kamis (7/9/2023) antara aparat keamanan dan warga pun tak dapat dihindarkan. Meski kini sudah relatif mereda, belum ada kejelasan bagaimana ujung dari penyelesaian konflik ini.
Menanggapi kasus ini, Litbang Kompas menyelenggarakan jajak pendapat yang dilaksanakan pada 18 hingga 20 September 2023. Hasilnya, sebagian besar masyarakat berharap kasus ini bisa diselesaikan secara baik-baik, dengan tidak melibatkan aksi represif aparat serta mengedepankan aspek perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Di satu sisi, relokasi menjadi salah satu solusi yang dirasa publik sesuai dalam konteks konflik di Rempang. Hasil jajak pendapat menunjukkan, sebanyak 56,8 persen responden sepakat jika warga yang tinggal di kawasan proyek yang hendak didirikan di Rempang perlu direlokasi.
Bagi responden yang berpendapat akan perlunya relokasi, aspek kepastian hukum menjadi pertimbangan utama. Bagi mereka, meskipun sudah lama menetap di lokasi tersebut, warga yang berkonflik di Rempang belum secara sah memiliki hak atas tempat tinggalnya. Maka, dalam konteks ini, opsi pemindahan menjadi paling realistis dan kuat argumentasinya.
Namun, tidak sedikit juga yang berpendapat sebaliknya. Setidaknya, 29 persen responden survei menyatakan bahwa warga yang tinggal di sekitar lokasi proyek di Rempang tidak perlu dipindah. Mereka memandang, meski tak memiliki surat, warga lokal tersebut sudah lama tinggal dan bahkan telah turun-temurun bermukim di area ini.
Walau terdapat dua perspektif yang berbeda soal relokasi, publik cenderung satu suara soal kompensasi bagi warga yang terdampak di Rempang.
Publik menyoroti pentingnya mengedepankan aspek hak asasi manusia dan menghindari unsur kekerasan dalam menyelesaikan konflik Rempang.
Mayoritas responden (93 persen) menyatakan, masyarakat di sekitar lokasi pembangunan proyek di Rempang perlu diberi kompensasi yang layak, bahkan sebagian di antaranya berpendapat masyarakat Rempang berhak diberi kompensasi sebesar-besarnya.
Pandangan publik ini perlu dijadikan penanda bahwa pemerintah perlu ekstra hati-hati dalam menyelesaikan konflik Rempang. Walau pada akhirnya relokasi tetap dipilih menjadi jalan keluar, eksekusinya harus dilakukan dengan cara yang tidak kasar. Jika tidak, perkara yang sudah menyita perhatian publik ini akan terus berlarut dan akan meninggalkan preseden buruk di benak masyarakat.
Baca juga : Proyek Kejar Tayang di Rempang
Pendekatan HAM
Selain soal kompensasi, masyarakat secara umum juga sepakat pemerintah mesti tetap mengedepankan aspek hak asasi manusia dalam penyelesaian kasus ini. Lebih dari 91 persen responden jajak pendapat menyetujui jika aparat keamanan sebisa mungkin menghindari penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik dengan warga di Rempang.
Secara umum, mengedepankan aspek HAM memang menjadi harapan publik kepada pemerintah ketika menghadapi perkara agraria. Hasil jajak pendapat menunjukkan, sebagian besar responden memandang penting bagi pemerintah untuk mengedepankan sudut pandang HAM ketika mengatasi konflik agraria, bahkan sepertiga bagian responden lainnya berpendapat sudut pandang ini sangat penting.
Tak heran, pendekatan pemerintah yang cenderung represif terhadap penolakan warga Rempang ini mendapat perhatian masyarakat. Kekerasan yang dilakukan aparat menambah deretan kasus konflik agraria lain yang didekati dengan cara serupa. Tak ayal, di mata publik, meski secara geografis terpisah ribuan kilometer, kasus Rempang ini identik dengan konflik agraria lain seperti daerah lainnya, seperti Wadas dan Kendeng.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 212 konflik agraria yang terjadi pada 2022. Jumlah tersebut sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2021 dengan 207 konflik. Kasus konflik agraria tertinggi pada 2022 berasal dari sektor perkebunan, infrastruktur, properti, pertambangan, dan kehutanan.
Dengan segala kompleksitasnya, memang tidak mudah bagi pemerintah untuk bisa mencari jalan tengah bagi semua pihak. Di sisi lain, pemerintah juga perlu menunjukkan kepastian hukum bagi para investor. Karena tanpa adanya aspek ini, pemodal pun akan ragu untuk menyuntikkan dananya ke Indonesia.
Terlebih lagi, masuknya modal asing ke Indonesia tengah mengalami momentum positif. Data dari Bappenas menunjukkan, realisasi penanaman modal asing (PMA) tumbuh sebesar 14,2 persen secara tahunan (year on year) pada triwulan II-2023.
Kontribusi dari PMA pun cukup besar di angka Rp 186,3 triliun atau setara dengan 53,3 persen dari total penanaman modal yang ada di Indonesia dalam periode waktu yang sama. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang berada di kisaran Rp 163,4 triliun.
Pentingnya kepastian hukum dan investasi ini pun disadari penuh oleh masyarakat. Berdasarkan hasil jajak pendapat, mayoritas responden (94 persen) sepakat jika kepastian hukum menjadi bagian yang penting dari kelangsungan investasi di Indonesia.
Bahkan, tak kurang dari 40,4 persen yang menyatakan bahwa aspek ini sangat penting untuk jalannya penanaman modal. Namun, tentu pemerintah tidak boleh sampai abai dengan aspek kemanusiaan ketika urusan investasi ini berhadapan dengan kepentingan warga yang terdampak.
Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi, yang didorong oleh masuknya modal asing, memang penting untuk dijaga. Namun, jangan sampai juga pada akhirnya justru mengorbankan nasib warga-warga lokal.
Bagaimanapun juga masuknya investasi ini harus bisa membawa kebermanfaatan bagi semua, terlebih untuk mereka yang berada di lokasi-lokasi proyek investasi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Rempang, Proyek Strategis Nasional, dan Luka Sosial