Alih Fungsi Lahan Mengancam Produksi Padi Nasional
Perlu upaya menyejahterakan petani agar lahan tidak berubah fungsi sehingga lahan tetap lestari memproduksi padi.
Alih fungsi lahan menjadi ancaman serius dalam usaha peningkatan produksi padi di Indonesia. Perlu upaya untuk menyejahterakan petani agar lahan tidak berubah fungsi sehingga lahan tetap lestari memproduksi padi.
Di tengah ancaman perubahan iklim, faktor non-alam masih terus menghantui sektor pertanian padi di Indonesia. Salah satunya adalah alih fungsi lahan sawah yang hingga saat ini terus terjadi.
Merujuk data analisis Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2019, rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah di Indonesia mencapai 100.000 hektar per tahun. Sementara itu, rata-rata kemampuan mencetak sawah hanya 60.000 hektar setahun. Artinya, terjadi selisih alih fungsi lahan sawah sekitar 40.000 hektar per tahunnya. Lebih luas daripada total area Kota Surabaya.
Padahal, lahan menjadi salah satu faktor penting tercapainya target produksi padi di Indonesia. Hasil pengolahan regresi data panel yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan, setiap penambahan seribu hektar area lahan sawah akan mendorong peningkatan produksi padi sekitar 4.370 ton. Jadi, dengan alih fungsi lahan sawah di Indonesia saat ini, diperkirakan menurunkan produksi padi sekitar 174.800 ton setahun.
Dari analisis regresi data panel, sejumlah provinsi di Kalimantan memiliki konstanta bernotasi negatif lebih besar daripada konstanta yang dihasilkan dari model persamaan ekonometrika penelitian ini. Artinya, terjadi tren penurunan produksi padi di beberapa wilayah Kalimantan yang disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya lahan. Daerah yang diperkirakan memiliki tren penurunan produksi padi terbesar secara nasional ini adalah Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Baca juga: Alih Fungsi Jadi Perumahan, Areal Persawahan di Padang Terus Menyusut
Dengan fenomena yang hingga saat ini tak terbendung tersebut, target produksi padi 62 juta ton di tahun ini dan 65,4 juta ton pada tahun depan agaknya tidak mudah dicapai. Pasalnya, capaian sebelumnya pun meleset dari target yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional pada kurun 2019-2022 berkisar 54,4-54,7 juta ton. Padahal, targetnya 55,16 juta ton hingga 58 juta ton.
Jajak pendapat harian Kompas pada 18-20 September 2023 menemukan hal serupa. Sepertiga responden berpendapat bahwa alih fungsi sawah menjadi lahan terbangun menjadi salah satu penyebab turunnya produksi padi di Indonesia, selain faktor iklim.
Perlindungan lahan
Salah satu penyebab turunnya produksi padi itu adalah alih fungsi lahan seiring pesatnya kemajuan perekonomian daerah. Kemajuan itu akan memicu hadirnya kawasan permukiman, pendidikan, kesehatan, perbelanjaan, dan ruang hiburan. Namun, idealnya disesuaikan dengan peraturan yang ada sehingga tidak memengaruhi tata guna lahan.
”Kalau dikaitkan dengan pembangunan, seharusnya ada relokasi. Berdasarkan Undang- Undang Perlindungan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), setiap lahan pertanian yang dialihfungsikan untuk pembangunan harus ada relokasi baru. Tapi, dalam praktiknya (di Kalimantan Selatan), itu tidak terjadi, otomatis lahan tersebut berkurang,” ungkap Dwi Putra Kurniawan, Ketua Serikat Petani Indonesia wilayah Kalimantan Selatan, saat ditemui di Banjarbaru, Minggu (1/10/2023).
Aturan tersebut tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan LP2B. Untuk lahan irigasi, lahan pengganti yang harus disiapkan sebesar minimal tiga kali luas lahan yang dialihfungsikan bagi kepentingan umum. Sementara untuk lahan rawa dan lahan nonirigasi, minimal dua kali dan satu kali dari luasan yang dialihfungsikan.
UU tersebut ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi LP2B. Pemerintah pusat kemudian menginstruksikan pemerintah daerah untuk menyusun peraturan tersebut di level provinsi hingga kabupaten/kota dalam peraturan daerah (perda) rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Sayangnya, belum semua daerah melaksanakan amanat tersebut. Setidaknya hingga tahun 2019 baru 255 kabupaten/kota (44,29 persen) yang menetapkan LP2B dalam perda tentang RTRW. Selama ini, sejumlah pemerintah daerah beralasan enggan menetapkan aturan tentang LP2B karena dianggap ada potensi mengganggu investasi dan hilangnya fleksibilitas suatu kawasan. Apalagi, investasi yang masuk dinilai mampu menyumbang pendapatan asli daerah yang lebih besar.
Baca juga: Urgensi Pengembangan Lumbung Pangan
Ditambah lagi kewajiban daerah dalam pengembangan kawasan dan LP2B dinilai cukup memberatkan. Adapun bentuk pengembangan tersebut antara lain peningkatan kesuburan tanah dan kualitas bibit, pengembangan irigasi, serta pemanfaatan teknologi.
Pelaksana Harian Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kalsel Imam Subarkah menyatakan, penetapan LP2B tidak mudah bagi suatu daerah. ”LP2B itu cukup berat. Daerah harus benar-benar memberikan insentif, bantuan, dan memastikan lahan tersebut tetap terjaga. Sementara itu, mulai tahun 2021, anggaran yang diturunkan dari pusat berkurang cukup banyak. Dulu, porsinya 30 persen untuk pusat dan 70 persen untuk daerah, sekarang kebalikannya,” kata Imam, Senin (9/10). Karena itu, dari 13 kabupaten/kota, baru delapan kabupaten/kota di Kalsel yang menetapkan LP2B.
Jika demikian, alih fungsi lahan sawah pun kian tak mudah dibendung. Hal ini menjadi ironi lantaran kebutuhan lahan sawah diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan padi sebagai bahan pangan pokok. Berdasarkan data BPS, lahan baku sawah saat ini seluas 7,4 juta hektar. Turun sekitar 7 persen dibandingkan dengan lima tahun lalu. Diperkirakan ketersediaan lahan pada tahun 2035 hanya tersisa 6,2 juta hektar.
Perkebunan
Selain dorongan kemajuan ekonomi daerah, degradasi lahan sawah juga dapat tergerus dari daya tarik subsektor pertanian lainnya, seperti perkebunan. Di tengah kian menyusutnya lahan sawah, area perkebunan kian meluas.
Peningkatan cukup drastis tampak pada perkebunan kelapa sawit. Sepuluh dekade silam, luas perkebunan besar kelapa sawit baru sekitar 5,1 juta hektar. Namun, kini telah meluas menjadi 8,5 juta hektar. Bahkan, pada kelas perkebunan rakyat pun sudah mencapai 6,1 juta hektar, hampir dua kali lipat dari tahun 2010 yang saat itu baru sekitar 3,3 juta hektar.
Baca juga: Sektor Pertanian Berisiko Tinggi akibat Perubahan Iklim
Peralihan ini lebih sering terjadi di luar Pulau Jawa. Dwi Andreas Santoso, Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University, mengungkapkan, salah satunya terjadi di Sumatera. ”Di Sumatera banyak sawah yang dikonversi ke kelapa sawit. Kepemilikannya tetap, tapi lahannya ditanami kelapa sawit,” ujarnya, Jumat (29/9/2023).
Fenomena tersebut juga banyak terjadi di Kalimantan Tengah lantaran adanya sejumlah aturan budidaya pertanian padi di lahan gambut. Seperti diakui Stefanus dan semua petani lainnya di Desa Kantan Atas, Kecamatan Pulang Pisau. ”Dulu ada larangan membakar jerami sisa panen skala besar. Padahal, di lahan gambut salah satu cara bisa menanam padi, ya, dibakar jeraminya untuk pupuk dasar tanaman,” kenangnya.
Pendatang asal Jawa itu juga mengungkapkan bahwa secara ekonomi menanam kelapa sawit lebih menjanjikan. ”Banyak di sini yang bekerja di perusahaan sawit. Melihat hasilnya yang menjanjikan dan adanya larangan itu, kami beralih ke sawit,” imbuhnya.
Tak heran peralihan dari petani padi menjadi pekebun kelapa sawit masif terjadi. Pasalnya, nilai tukar petani (NTP) tanaman perkebunan terpaut jauh di atas NTP tanaman pangan. Tahun ini, misalnya, NTP perkebunan tak pernah di bawah angka indeks 120. Sementara itu, NTP tanaman pangan di kisaran 103-106. Tampak bahwa kesejahteraan petani pun menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan pemerintah agar alih fungsi lahan dapat diredam. Tingginya daya tarik sektor perkebunan inilah yang disinyalir menjadi salah satu faktor akan mereduksi luasan lahan sawah pertanian di wilayah Kalimantan secara umum. (LITBANG KOMPAS)