Partai Golongan Karya masih menguasai perolehan suara pada pemilu legislatif di Sulawesi Selatan. Namun, pamor kemenangan Golkar kian meredup seiring makin dinamis dan terbukanya persaingan politik di Sulsel.
Oleh
BUDIAWAN SIDIK A
·5 menit baca
Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang relatif masih setia pada Partai Golkar hingga saat ini. Pada masa awal reformasi, Golkar tetap menjadi pilihan partai politik masyarakat Sulsel secara mayoritas. Padahal, partai berlambang pohon beringin ini identik dengan partai penguasa Orde Baru yang akhirnya ditumbangkan oleh kekuatan reformasi. Meskipun di sejumlah daerah Partai Golkar cenderung dihindari, di Sulsel, Golkar tetap menjadi parpol pilihan mayoritas masyarakat sejak Pemilu 1999.
Hanya saja, dominasi Golkar di Sulsel sejak pascareformasi tersebut tidak berjalan konsisten hingga saat ini. Justru sebaliknya, pamor Golkar kian meredup dan semakin surut dalam mendulang suara. Pada Pemilu 2004, perolehan suara Golkar untuk memilih calon anggota DPR RI mendominasi di hampir seluruh wilayah Sulsel. Saat itu, terkumpul sekitar 43 persen suara. Dengan angka sebesar itu, Sulsel melambung di kancah nasional sebagai salah satu lumbung penting bagi kemenangan suara Golkar.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Prestasi tersebut kian susut pada pemilu berikutnya. Pada Pemilu 2009, perolehan suara Golkar menurun tujuh persen dibandingkan pemilu sebelumnya sehingga hanya mengumpulkan kisaran 38 persen suara. Pada pemilu berikutnya, dukungan suara untuk Golkar turun cukup signifikan hingga hanya mengantongi 20,09 persen suara pada Pemilu 2014. Surutnya dukungan terhadap Golkar itu ternyata masih terus berjalan hingga Pemilu 2019 lalu. Perolehan suara Golkar menurun lagi 2,2 persen sehingga pada Pemilu 2019 tinggal tersisa 17,89 persen.
Kekuatan elite lokal
Walaupun kian menipis, hingga saat ini partai berlambang pohon beringin itu tetap menjadi parpol pemenang dalam kontestasi pemilu legislatif DPR RI di wilayah Sulsel. Ada sejumlah alasan yang melandasi terjadinya fenomena tersebut. Muchid Albintani dalam tulisannya yang berjudul ”Budaya Demokrasi di Sulawesi Selatan: Perspektif Strukturasi” (Jurnal Nakhoda, 2016), menunjukkan tentang masih dominannya konservatisme masyarakat Sulsel.
Kekuatan Golkar di Sulsel dipengaruhi elite lokal. Kekuatan para tokoh itu tampak pada Pemilu 2004 dengan Golkar mengandalkan elite politik seperti Jusuf Kalla, Marwah Daud Ibrahim, Nurdin Halid, dan Amir Syamsuddin. Tampilnya Jusuf Kalla sebagai calon presiden pada konvensi Partai Golkar membawa pengaruh besar bagi kemenangan Golkar pada tahun 2004 di Sulsel. Soliditas besarnya dukungan masyarakat Sulsel bagi Golkar juga tampak pada Pemilu 1999, yang pada saat itu muncul nama BJ Habibie sebagai calon presiden.
Ketokohan elite politik yang berhasil memengaruhi pilihan parpol tidak hanya terjadi pada Golkar semata, tetapi juga sejumlah parpol lainnya. Hal ini memicu munculnya ajang kompetisi antarelite politik yang menurunkan daya tarik Golkar di mata masyarakat Sulsel. Apalagi, dalam sejarahnya, di tubuh elite Golkar di Provinsi Sulsel juga muncul sejumlah persaingan yang menjadi celah bagi kompetitornya untuk mendulang suara.
Patron-klien
Titin Purwaningsih dalam ”Politik Kekerabatan dan Kualitas Kandidat di Sulawesi Selatan” (Jurnal Politik: Vol. 1, 2022) menjelaskan tentang sejumlah hal tentang pola perpolitikan di wilayah Sulsel. Di antaranya terkait latar belakang sejarah Sulsel yang merupakan bekas wilayah kerajaan Gowa-Tallo, Bone, Wajo, dan Soppeng. Di bekas kerajaan-kerajaan itu pola budaya masyarakat yang berdasarkan hubungan patron-klien masih berkembang sampai saat ini.
Penokohan dan figur pemimpin menjadi sangat penting dalam budaya seperti itu. Selain itu, di Sulsel juga terdapat fenomena politik kekerabatan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang berasal dari beberapa keluarga. Di antaranya dari keluarga Syahrul Yasin Limpo, keluarga Ilham Arif Sirajuddin, keluarga Qahhar Muzzakar, keluarga Amin Syam, keluarga Padjalangi, keluarga Nurdin Halid, dan keluarga Andi Idris Galigo.
Dengan tipikal seperti itu, pemilu bukan lagi sebagai ajang kompetisi antarparpol semata, tetapi juga antarelite politik yang sebagian berasal dari garis bangsawan, dinasti politik, ataupun tokoh-tokoh lainnya. Semakin banyak tokoh masyarakat yang hadir membuat pilihan politik masyarakat Sulsel bergerak kian dinamis. Lambat-laun suara Golkar menyurut dan terdistribusi ke parpol-parpol lainnya.
Kian surutnya suara Golkar berjalan seiring dengan kian mengecilnya pengaruh Golkar di seluruh wilayah Sulsel. Sejumlah kabupaten/kota kian berkembang dinamis pilihan parpolnya. Dari 24 kabupaten/kota di seluruh Provinsi Sulsel, hanya tiga daerah saja yang masih tetap memenangkan Golkar dalam Pemilu DPRD Kabupaten/kota. Sisanya, 21 daerah lainnya berubah-ubah pemenang parpolnya.
Mayoritas berubah
Ketiga daerah yang masih konsisten memenangkan Golkar sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019 itu adalah Kabupaten Takalar, Bone, dan Luwu Timur. Daerah lainnya mulai berubah dari Golkar ke partai-partai nasionalis pesaingnya, seperti Demokrat, Nasdem, Gerindra, dan PDI-P, serta beralih ke partai berbasis massa Islam seperti PAN dan PPP. Hanya saja, dari lima pemilu pascareformasi itu, sangat minim daerah di Sulsel yang perubahan parpolnya konsisten.
Hanya dua daerah yang perubahannya relatif konsisten, yakni Kabupaten Bantaeng dari Golkar ke Gerindra dan Kabupaten Enrekang dari Golkar ke PAN. Masih minim daerah yang memiliki pola perubahan politik yang konsisten sehingga mayoritas daerah di Sulsel menjadi ajang terbuka bagi parpol untuk meraih simpati publik. Tentu saja hal ini menjadi semangat yang positif bagi partai-partai politik untuk berupaya memenangkan kontestasi politik di Sulsel.
Sebaliknya, perubahan lanskap politik lokal itu merupakan kemunduran bagi Golkar yang kian ditinggalkan konstituennya. Pada Pemilu 1999, seluruh wilayah Sulsel memenangkan Golkar pada Pemilu DPRD kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Pinrang yang memenangkan PPP. Pada Pemilu 2004, seratus persen wilayah Sulsel dimenangkan oleh Golkar. Pada pemilu selanjutnya, kemenangan mutlak pada pemilu 2004 memudar sehingga Golkar hanya mampu mempertahankan kemenangan di 18 daerah saja saat Pemilu 2009. Empat daerah lainnya direbut oleh Demokrat dan satu daerah lainnya lagi oleh Partai Damai Sejahtera (PDS).
Pada pemilu 2014 dan 2019, suara Golkar kian susut, sedangkan suara partai-partai lainnya kian variatif. Pada Pemilu 2014, daerah kemenangan Golkar turun signifikan karena hanya memenangkan tujuh daerah. Lima tahun berikutnya pada Pemilu 2019, suara Golkar sedikit beranjak naik sehingga berhasil merebut kemenangan lagi di sembilan daerah. Untuk 15 daerah lainnya lagi kian dinamis dan berwarna. Pada Pemilu 2019, partai kompetitor Golkar yang tampak menguat di Sulsel ada empat. Secara berurutan adalah Nasdem yang mengusai enam daerah, Gerindra dengan tiga daerah, PAN menguasai dua daerah, dan PDI-P dengan satu daerah.
Kian berwarnanya konstelasi politik di Sulsel itu menjadi tantangan berat bagi Golkar untuk mengembalikan kekuatan ”Pohon Beringin” seperti sedia kala. Perlu soliditas para elite partai di kancah lokal agar partai ini tetap menjadi panutan yang menyatukan suara masyarakat. Semakin dinamisnya peta perpolitikan di Sulsel juga menuntut para elite setempat mampu berkompetisi secara sehat sehingga masyarakat Sulsel memiliki sosok panutan yang dapat menyatukan kemajemukan sosial-ekonomi-budaya di Sulsel.