Mahfud MD, Cendekiawan dan Praktisi Tiga Pilar Demokrasi Indonesia
Dengan segudang pengalaman karier di bidang akademisi, pemerintahan, dan juga politik, Mahfud MD kini diberi amanah untuk maju berkontestasi mendampingi Ganjar Pranowo.
Koalisi PDI-P mengajukan Menko Polhukam Mahfud MD sebagai cawapres Ganjar Pranowo. Seperti apa sosok dan kiprah Mahfud MD selama ini?
Setelah menunggu beberapa bulan, penantian bakal calon presiden Ganjar Pranowo untuk mendapatkan pendamping akhirnya usai. Pada Rabu (18/10/2023) siang, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menetapkan Mahfud MD sebagai bakal calon wakil presiden. Ada sejumlah alasan kuat yang membuat PDI-P percaya mengembankan amanah pencalonan itu kepada Mahfud MD.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Di dalam lingkungan politik dan pemerintahan Republik Indonesia, Mahfud MD bukanlah nama yang asing didengar. Jejak langkahnya dalam urusan pemerintahan negara dapat diikuti hingga 20 tahun ke belakang. Dapat dibilang, ia adalah salah satu tokoh politik negara ini yang telah melakoni peran strategis di semua tiga pilar kenegaraan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pengalamannya di dunia praktisi yang begitu kaya itu dilandasinya dengan pengetahuan akan ilmu hukum dan ketatanegaraan yang sangat matang. Pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, ini telah membangun kepakarannya di bidang hukum sejak masih belia.
Di usianya yang baru menginjak 17 tahun, Mahfud telah terpikat untuk mendalami ilmu hukum dengan masuk ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. Melansir dari Kompaspedia, sekolah kejuruan milik Departemen Agama itu didirikan KH Wahid Hasyim untuk memenuhi kebutuhan hakim agama, khususnya Islam.
Minatnya pada ilmu hukum lantas mendorongnya mengejar gelar sarjana hukum di Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 1977. Setelah enam tahun bergelut di bangku kuliah, Mahfud kemudian mengabdi kepada almamaternya sebagai dosen.
Meski sudah berstatus sebagai pengajar, Mahfud tidak berpuas diri. Di tengah kesibukannya membagikan ilmu pada mahasiswa, ia menekuni pendidikan lanjut di Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dan meraih gelar magister ilmu politik pada 1989.
Baca juga: Survei Litbang ”Kompas”: Ganjar-Mahfud MD atau Ganjar-Ridwan Kamil?
Setelah menamatkan jenjang magister, Mahfud kembali memperdalam keilmuannya di bidang hukum. Empat tahun berselang, tepatnya pada 1993, dirinya berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul ”Perkembangan Politik Hukum, Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum di Indonesia”.
Dalam disertasinya itu, Mahfud mengamati produk hukum pada tiga periode masa pemerintahan, yakni Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, dan Orde Baru. Simpulan yang dihasilkannya adalah konfigurasi politik demokratis dan non-otoriter melahirkan hukum-hukum yang cenderung responsif/populistik. Sementara konfigurasi politik otoriter dan non-demokratis akan melahirkan hukum-hukum yang cenderung ortodoks/konservatif (Kompas, 28/6/1993).
Pakar hukum
Berbekal ilmu yang begitu mendalam, tak heran Mahfud diminta mengajar di sejumlah universitas. Ia tercatat pernah menjadi dosen di STIE Widya Wiwaha Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UGM Yogyakarta, Universitas Indonesia, dan UII Yogyakarta. Setahun setelah meraih gelar doktor, dirinya didapuk menjadi Pembantu Rektor I UII Yogyakarta dan pada 1996 diangkat menjadi Direktur/Guru Besar Fakultas Hukum UII. Kelak, Mahfud bahkan sempat menjadi Rektor Universitas Islam Kadiri, Kediri, tahun 2003-2006.
Perlahan tapi pasti, kepakarannya di bidang hukum mulai mendapat perhatian publik. Apalagi, Mahfud tak segan untuk melancarkan kritik terhadap rezim Orde Baru yang kala itu mulai goyah. Ia merupakan salah satu pengurus Keluarga Alumni UGM (Kagama) yang secara terbuka menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Mahfud juga secara terang-terangan mengkritik salah satu bentuk indoktrinasi Orde Baru di perguruan tinggi, yakni Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4), sebagai sesuatu yang ”tidak banyak manfaatnya dan hanya sebagai pemenuhan formal semata” (Kompas, 2/6/1998).
Sebagai seorang pakar di bidang hukum, Mahfud juga mulai kerap dimintai penjelasan terkait sejumlah kasus dan polemik hukum. Beberapa di antaranya adalah kasus penggunaan dana Jamsostek dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan hingga polemik penentuan Gubernur DIY.
Baca juga: Elektabilitas Cawapres Vs Calon ”Kuda Hitam”
Reformasi 1998 yang merombak susunan dan tata negara Indonesia tanpa disengaja ternyata semakin memberikan panggung dan lampu sorot bagi dirinya. Ia merupakan salah satu sosok yang cukup keras dalam mengawasi dan mengkritik kinerja Presiden BJ Habibie dalam mengemban amanat Tap MPR No XI/MPR/1998, terutama dalam hal pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Selain itu, dirinya juga lantang menyuarakan penataan sistem pemerintahan agar lebih demokratis, khususnya demi penegakan hukum hak asasi manusia. Tak heran, dengan keberanian dan ilmu yang mumpuni, dirinya pernah diajukan pemerintah sebagai calon hakim agung pada tahun 2000. Namun, ia lantas batal diajukan karena usianya waktu itu belum mencapai 50 tahun (Kompas, 29/3/2000).
Menteri Pertahanan
Meski demikian, pembatalan tersebut rupanya malah membuka kesempatan dirinya untuk terjun langsung ke ranah eksekutif. Posisi yang didapatkannya pun tidak tanggung-tanggung. Presiden Abdurrahman Wahid, yang menggantikan Habibie, menunjuk dirinya sebagai Menteri Pertahanan RI dalam perombakan kabinet pada Agustus 2000.
Mahfud mengaku sangat terkejut dengan keputusan itu. Pasalnya, ia menyadari tak punya latar belakang ilmu pertahanan atau militer apa pun. Namun, rupanya Gus Dur membutuhkan dirinya di posisi strategis tersebut untuk membantu menempatkan kembali TNI ke dalam ketatanegaraan Indonesia secara tepat, efektif, dan profesional (Kompas, 24/8/2000). Melihat bahwa agenda itu memang sesuai dengan kepakarannya, ia yang mulanya berniat mengundurkan diri kemudian berusaha mencoba melakoni peran penting tersebut.
Meski usia jabatannya hanya berlangsung satu tahun, tantangan yang dihadapinya tidaklah mudah. Setidaknya ada dua krisis keamanan nasional yang menuntut perhatiannya, yakni separatisme Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan krisis pengungsi di Atambua imbas gejolak di Timor Leste yang baru saja merdeka. Tak hanya itu, salah satu konflik antaretnis terbesar Indonesia, yakni Tragedi Sampit, pun terjadi pada masa jabatannya.
Selain dituntut menyelesaikan persoalan keamanan dan pertahanan negara, Mahfud ternyata juga mengemban peran sebagai ”tangan kanan” Gus Dur dalam menghadapi kemelut politik. Hal ini tampak ketika ia masuk sebagai anggota Tim Tujuh, yakni tim bentukan presiden yang beranggotakan enam menteri dan seorang jaksa agung untuk mencari solusi atas kebuntuan politik antara Gus Dur dengan wakilnya, Megawati Soekarnoputri (Kompas, 15/5/2001).
Baca juga: Mahfud Dinilai Intelektual Mumpuni, Berpengalaman, dan ”Pendekar” Hukum
Keterampilan politiknya semakin diasah ketika Mahfud terlibat dalam kesibukan melobi para ketua umum partai politik. Lobi itu dilancarkannya bersama sejumlah menteri terkait pelaksanaan Sidang Istimewa (SI) MPR. Mereka berusaha mencari jalan tengah terbaik supaya kemelut politik antara presiden dengan MPR tidak berujung pada pemakzulan/impeachment presiden.
Namun, pada akhirnya sejarah mengatakan hasil SI MPR adalah menuntut mundurnya Gus Dur sebagai presiden dan digantikan oleh wakilnya, Megawati. Dengan demikian, Mahfud pun turut menanggalkan jabatannya yang kala itu telah bergeser menjadi Menteri Kehakiman dan HAM.
Lepas dari bidang eksekutif, Mahfud lalu berfokus membangun karier di ranah politik praktis. Tak butuh waktu lama bagi dirinya mendapat kepercayaan mengisi posisi strategis. Dalam Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Mahfud didaulat menjadi Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz. Ia bertugas mendampingi Alwi Shihab, Ketua Umum Dewan Tanfidz yang terpilih sekaligus rekannya sesama menteri di masa pemerintahan Gus Dur (Kompas, 21/1/2002).
Mahfud rupanya tak berlama-lama berpuas dengan posisi strategis di partai politik. Ia lantas mencoba peruntungannya dalam laga Pemilu Legislatif 2004 sebagai calon anggota legislatif dari PKB. Medan tempurnya waktu itu adalah Daerah Pemilihan Jawa Timur X yang mencakup area Lamongan dan Gresik. Caleg dengan nomor urut 1 itu pun kemudian mampu meraih 75.418 suara dan terpilih menjadi anggota DPR 2004-2009.
Komisi penugasannya pun sempat berubah-ubah. Mahfud mengawali kariernya di Senayan dengan menempati Komisi III DPR RI. Namun, pada 2006, ia berpindah tempat duduk ke Komisi I. Setahun berikutnya, pada 2007, Mahfud kembali bergeser ke Komisi III.
Tahun itu rupanya juga menjadi momen perpotongan antara Mahfud dan Ganjar untuk pertama kalinya. Mereka sama-sama menjadi rekan kerja dalam Badan Legislasi DPR RI, di mana Mahfud menjadi wakil ketua, sedangkan Ganjar menjadi anggota.
Hakim konstitusi
Namun, masa kerja bersama antara Mahfud dan Ganjar tidak berlangsung lama. Pasalnya, pada 2008, Mahfud terpilih menjadi hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi dengan mengantongi 38 suara anggota Komisi III DPR RI. Dengan demikian, dimulailah masanya menjajaki ranah yudikatif Indonesia.
Dalam proses seleksi, Mahfud menyatakan 10 pantangan jika terpilih menjadi hakim MK. Beberapa di antaranya adalah tidak boleh mengomentari kasus yang sedang berlangsung, tidak boleh berpolitik atau menjadi penengah pertengkaran antara pimpinan lembaga, dan tidak boleh beropini tentang UUD (Kompas, 13/3/2008). Pantangan ini pun ia taati, salah satunya dengan mengundurkan diri dari jabatannya di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB.
Sekali lagi, jalan karier Mahfud seakan dibukakan oleh semesta. Berselang hanya lima bulan, Mahfud terpilih menjadi Ketua MK periode 2008-2011. Hal ini tentu cukup istimewa, mengingat pesaingnya kala itu adalah Jimly Asshiddiqie yang telah menjabat Ketua MK selama dua periode. Kelak, sama seperti Jimly, Mahfud juga akan mengemban amanat sebagai Ketua MK di periode berikutnya, yakni 2011-2013.
Baca juga: Mahfud MD Sudah Berkirim Surat ke Presiden Terkait Pencalonan Cawapres
Dalam kiprahnya sebagai pucuk pimpinan MK, Mahfud melakukan sejumlah terobosan besar. Salah satu yang kerap dielu-elukan sebagai tonggak sejarah baru penegakan hukum di Indonesia adalah pemutaran bukti rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dalam sidang uji materi terhadap Pasal 32 Ayat 1c UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemutaran rekaman dalam sidang terbuka tersebut rupanya mampu membantu penyingkapan kasus dugaan kriminalisasi dua pimpinan KPK, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Sebagai Ketua MK, Mahfud dengan lugas melaporkan dugaan gratifikasi yang diduga diberikan oleh Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal MK Janedri Gaffar (Kompas, 25/5/2011). Tak hanya itu, pada Juni 2011, ia juga tak segan membongkar kasus pemalsuan dan penggelapan surat putusan MK dalam Pemilu 2009 yang diduga melibatkan pegawai serta hakim MK dan mantan anggota KPU Andi Nurpati (Kompas, 10/6/2011).
Setelah purnatugas di ranah yudikatif, Mahfud dengan jujur menyatakan kemungkinan dirinya turut serta dalam laga Pemilu 2014 sebagai calon presiden (Kompas, 2/4/2013). Namun, tampaknya nasib Mahfud dalam kontestasi penentuan pemimpin eksekutif tidak semulus ketika berkecimpung di ranah yudikatif dan legislatif.
Setelah santer diterpa isu dirinya akan dicalonkan oleh PKB, ternyata partainya lebih memilih mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ia pun memilih untuk berpaling ke kubu Prabowo-Hatta Rajasa sebagai Ketua Tim Sukses. Pada laga Pemilu 2019, apa yang dialaminya lebih mengecewakan. Hanya dalam hitungan jam, keputusan bahwa dirinya akan mendampingi Joko Widodo sebagai calon wakil presiden berubah begitu saja.
Sejak saat itu, ia pun memilih menghindari pembicaraan tentang pencalonan dirinya. Ia juga tak mau repot-repot membentuk tim khusus atau mempromosikan dirinya lewat baliho dan medium apa pun (Kompas.id, 19/10/2023).
Namun, sekalipun demikian, niatnya untuk mengabdikan diri untuk negara terus dijaga. Pada 23 Oktober 2019, dirinya menyanggupi ketika ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di Kabinet Indonesia Maju 2019-2024.
Beberapa peran penting yang dijalaninya dalam melakukan tugas ini adalah menjadi Ketua Pengarah Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Ketua Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Kasus Tragedi Kanjuruhan.
Mahfud pun beberapa kali diminta Presiden Jokowi mengisi peran menteri yang kosong, seperti menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ad interim pada 2022 dan Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Komunikasi dan Informatika pada 2023.
Di samping itu, Mahfud juga beberapa kali mendapat sorotan publik karena sejumlah pernyataan yang dilontarkannya. Ia pernah menyampaikan bahwa ada transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun dari kurun 2009-2023 (Kompas, 30/3/2023).
Kemudian, baru-baru ini, ia menyebutkan bahwa mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi di Kementerian Pertanian. Padahal, KPK pada waktu itu belum mengumumkan tersangka dugaan kasus korupsi yang menjeratnya (Kompas, 5/10/2023).
Popularitas
Menariknya, meski Mahfud lebih mengutamakan kinerjanya sebagai menteri ketimbang mendulang popularitas di tengah masyarakat, namanya tetap hangat dibicarakan dalam bursa calon wakil presiden. Berdasarkan survei periodik Litbang Kompas pada Agustus 2023, Mahfud memiliki tingkat elektabilitas 3,7 persen.
Jumlah itu secara kasat mata memang tidak setinggi kandidat lain. Namun, bila dipasangkan dengan Ganjar Pranowo, rupanya keterpilihan pasangan ini tidak banyak berbeda dibandingkan kandidat cawapres lain yang memiliki elektabilitas lebih tinggi. Ini berarti, Mahfud tetap memiliki potensi yang cukup signifikan untuk mendulang dukungan bagi Ganjar (Kompas.id, 14/9/2023).
Baca juga: Jalan Mulus Mahfud MD Menuju Panggung Pilpres 2024
Ketika ditelusuri alasan memilih, sebagian besar responden menjawab bahwa daya tarik Mahfud adalah ketegasan yang dimilikinya. Tak kurang dari 39,5 persen responden yang memilihnya memegang alasan tersebut. Faktor lain yang cukup besar lainnya adalah pendidikan dan intelektualitas sebesar 20,3 persen, dan kemudian nilai integritas sebanyak 13 persen.
Lantas, apabila dilihat dari asal daerah pemilih, Mahfud terlihat cukup populer di Jawa Timur. Setidaknya 18,8 persen pendukungnya berasal dari provinsi kelahirannya tersebut. Provinsi dengan pendukung terbesar berikutnya adalah Jawa Tengah yang sebesar 14,9 persen. Untuk wilayah Jawa Barat relatif minim dukungannya, yakni hanya 6,8 persen.
Kini, tampaknya nasib baik yang selama ini menyertai Mahfud di ranah yudikatif dan legislatif kembali menghampirinya. Menyadari potensi elektoral yang cukup baik, dilengkapi dengan segudang pengalaman dan keahlian, Megawati dan ketua umum parpol lain dengan yakin memilih Mahfud sebagai cawapres usungan mereka. Hal ini dapat dilihat bagaimana jalan penetapan Mahfud sebagai cawapres relatif mulus dan tanpa manuver penjegalan yang berarti (Kompas.id, 19/10/2023).
Dengan karier akademisi, pemerintahan, dan politik yang dibangunnya selama dua dekade ini, penetapan Mahfud MD sebagai bakal calon wakil presiden dari PDI-P diakui oleh Megawati bukanlah suatu hal yang berlebihan. Mahfud memiliki intelektual yang mumpuni dengan belasan publikasi tentang hukum yang bisa dibaca oleh siapa pun. Tinggal sekarang bagaimana Mahfud membuktikan kepada calon pemilihnya, seberapa layak sebutan ”pendekar” hukum yang berani membela wong cilik dapat tersemat kepadanya. (LITBANG KOMPAS)